Orang-Orang yang Melampaui Zamannya

0
7
Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Hampir semua gagasan Kiai Dahlan di awal berdiri ’melampaui’ zamannya. Ini risiko mujadid sekaligus jawaban kenapa kemudian ia diburu, dimusuhi, ditahdzir, tapi dibenarkan di belakang hari—pikiran majunya mengonstruksi corak pergerakan Islam hingga abad ini.

Orang-orang besar itu ’melampaui’ zamannya. Sebut saja Ki Bagus Hadikoesoemo yang menulis buku tipis dalam bahasa Jawa yang sangat apik: Tasawuf Ihsan. Dan kerelaannya menghapus tujuh kata pada sila pertama Pancasila.

Siapa sangka Jenderal Besar Soedirman adalah aktivis Hizbul Wathan (HW) kepanduan Muhammadiyah mirip semacam pramuka, dan seorang guru dengan tubuh ringkih ini adalah pemikir cemerlang dan peletak dasar ABRI modern.

Soekarno penggagas weltstanchaungphilosophsche groundslaach. Pancasila sebagai perjanjian luhur. Pengaruhnya meluas hingga Asia dan Afrika—simbol perlawanan dunia ketiga adalah santri ngintil Kiai Dahlan dan pengurus majelis pendidikan di Ende, dan ketahuan ’pacaran’ dengan Fatmawati salah satu aktivis Aisyiyah putri pasangan Buya Hasan Dien dan Ibu Khadijah konsul Muhammadiyah Bengkulu.

Pesan Prof Haedar Nashir agar mengembangkan berpikir dan berkomunikasi ’melampaui’ sarat makna. Di Persyarikatan ini banyak orang macam ini. Dengan risiko berat. Dimusuhi bahkan dikucilkan atau risiko tidak diakui sebagai anggota karena berpikir beda.

Soekarno memohon-mohon agar tidak dipecat dari Muhammadiyah, dan memohon pula agar nomor keanggotaannya tidak dicabut—perbedaan tajam terjadi antara dirinya dengan pengurus PP bersangkut soal ideologi dan politik. Pro kontra dan silang sengkarut. Merenggang dan menjauh sedikit.

Tapi kemudian ditutup Soekarno dengan pidato menarik: ”Makin lama makin tijnta kepada Muhammadijah”. Adalah ilustrasi semacam ’epik’ kisah kebatinan, hubungan pasang surut seorang jemaat terhadap Persyarikatan yang dicintainya.

Pun dengan Soeharto yang berani dan memelas menyebut dirinya sebagai ’bibit Muhammadiyah yang disemaikan’ dalam Muktamar Aceh meski tak pernah diakui sebagai kader—mencintai Muhammadiyah dalam diam. Ada banyak kebijakan yang diam-diam dirasakan Muhammadiyah hingga membuat teman NU ’ngiri’.

Surat Pak Abdul Razaq Fakhruddin (Pak AR) kepada Pak Harto saat akan membangun sebuah universitas dan surat cintanya kepada Sri Paus Paulus Yohanes II, sudahlah cukup untuk mengindikasikan bahwa orang ini memang beda.

Pikiran-pikiran Prof Amien Rais tentang politik dan kebangsaan ’melampaui’ zamannya. Gagasannya tentang negara federal dibantah, tapi diam-diam diterapkan—pun dengan reformasi demokrasi, suksesi kepemimpinan nasional, dan KKN sangat berpengaruh terhadap dinamika politik dan demokrasi Indonesia modern.

Konsistensi Buya Syafii Maarif cukup mencengangkan. Di usia sepuhnya masih istiqamah menjadi penasihat dan redaksi senior majalah Suara Muhammadiyah, dan terus membangun infrastruktur berpikir cemerlang lewat tulisannya berserak di berbagai media, sempat dipertanyakan mengapa mendirikan Maarif Institute satu lembaga tempat para kader dan cendekiawan muda Muhammadiyah mengolah nalar dan riset, dan semangatnya melampaui usianya menjadi ketua panitia renovasi Mu’alimin Jogja.

Dengan tidak bermaksud berbangga diri, masih banyak orang-orang yang berpikir ’melampaui’ zamannya. Mohammad Djazman Al Kindy rektor UMS Surakarta dan peletak dasar-dasar perguruan tinggi Muhammadiyah modern, Prof Malik Fadjar penggagas kampus terpadu UMM Malang yang fenomenal, H Bisri Ilyas Gresik tipikal saudagar dan penggerak dakwah Persyarikatan seperti generasi awal, dan banyak puluhan lainnya yang tak bisa disebut satu-satu.

Muhammadiyah bukan hanya menyiapkan, tapi juga memberi uswah membangun infrastruktur intelektual—berpikir maju. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini