23 Oktober 2024
Surabaya, Indonesia
Berita

Pakar Pendidikan UM Surabaya Soroti Nasib Kurikulum Merdeka di Era Prabowo-Gibran

Pakar Pendidikan UM Surabaya Achmad Hidayatullah PhD

KLIKMU.CO – Pemerintahan Prabowo-Gibran resmi memecah Kementerian Pendidikan menjadi tiga. Yaitu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), dan Kementerian Kebudayaan.

Lantas, bagaimana kelanjutan Merdeka Belajar yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. Apakah perlu dilanjutkan atau tidak?

Pakar Pendidikan UM Surabaya Achmad Hidayatullah PhD menilai, penerapan Kurikulum Merdeka ini perlu mendapatkan evaluasi yang serius. Menurut Dayat, secara umum Kurikulum Merdeka yang telah diterapkan ini justru tidak membuat Merdeka.

Pasalnya, guru dan dosen hanya merdeka seolah-olah. Kenyataannya, kurikulum ini membuat dosen dan guru lebih berat dan sibuk dengan masalah administrasi.

“Dosen dan guru lebih sibuk karena beban administrasi yang mengancam kepangkatan daripada meningkatkan kualitas diri dan siswa,” ujar Dayat, Selasa (22/10/2024).

Menurut Dayat, persoalan Merdeka Belajar juga berkaitan dengan biaya kuliah di pendidikan tinggi yang semakin mahal. Sehingga membuat mereka yang berasal dari kalangan miskin tetap sulit mengakses pendidikan tinggi.

“Memang, pemerintah telah berupaya memberikan akses yang luas untuk memberikan akses pendidikan tinggi bagi semua orang, dengan dukungan KIPK bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Namun, rakyat tidak benar-benar merdeka untuk mengakses pendidikan tinggi karena biaya kuliah semakin tinggi,” tegasnya.

Bahkan, menurut Dayat, saat ini perguruan tinggi dibuat sebebas-bebasnya berkompetisi satu sama lain seperti dalam pasar bebas. Dampaknya, perguruan tinggi semakin mahal dan kualitasnya semakin terpinggirkan karena mereka lebih mementingkan aspek ekonomi dengan menerima mahasiswa seluas-luasnya dengan biaya yang mahal.

Selanjutnya, ia menambahkan, beberapa kebijakan dalam kurikulum perlu dievaluasi dengan serius. Misalnya, program IISMA yang memberikan beasiswa pengalaman belajar di luar negeri.

Menurut Dayat, program tersebut sangat pendek dan tidak memiliki pola seleksi yang jelas dan tidak pro keadilan sosial, khususnya bagi mereka yang berasal dari ekonomi yang lemah. Bahkan program ini menelan biaya besar.

“Akan lebih baik jika program ini dihapus dan biayanya dialihkan untuk memperkuat program KIPK dan menaikkan besaran beasiswa mereka yang kuliah di luar negeri. Karena di tengah kondisi global yang semakin kritis, biaya hidup di luar negeri mahal, beasiswa yang diterima mahasiswa Indonesia tidak cukup untuk membuat mahasiswa hidup layak selama belajar,” imbuhnya.

Dayat menegaskan, kurikulum ini memang berupaya membentuk karakter siswa seperti membentuk belajar yang mandiri, memiki attitude, motivasi, mampu berpikir kritis dan lain-lain.

Namun, beberapa kewajiban yang diterapkan kepada guru seperti mengisi e-kinerja di platform-platform Merdeka Belajar justru membuat guru tidak punya waktu untuk meningkatkan kreativitas.

“Bahkan dengan dorongan penggunaan PMM dan e-kinerja ini semakin membuat gap antara sekolah daerah dan perkotaan karena infrastruktur yang tidak mendukung,” pungkasnya. 

(Uswatun/AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *