Oleh: Robby Karman
KLIKMU.CO
Salah satu cabang ilmu filsafat adalah etika. Etika secara sederhana adalah filsafat akhlak. Etika berusaha menjawab apakah suatu perbuatan itu berakhlak atau tidak.
Etika melampaui soal hukum yang berusaha menjawab apakah sesuatu boleh atau tidak. Melainkan lebih mendalam lagi, apakah pantas atau tidak.
Pertanyaan pantaskah seorang agamawan kaya raya muncul dari kasus-kasus yang muncul akhir-akhir ini. Dari mulai Yusuf Mansur sampai dengan lembaga kemanusiaan. Maka, jawaban dari pertanyaan tersebut menarik untuk dikupas.
Pantaskah seorang agamawan kaya raya?
Harus diakui ajaran agama dalam bentuk aslinya cenderung merupakan lawan dari hal-hal yang sifatnya duniawi. Misalnya uang adalah sumber kejahatan. Dunia adalah penjara bagi orang mukmin.
Dalam ajaran Islam sendiri ditekankan bahwa akhirat lebih baik dari dunia. Hisabnya orang kaya lebih lama dibanding orang miskin. Jadilah di dunia seperti orang asing, atau pengembara yang hanya mampir.
Hal ini memunculkan mindset bahwa seorang agamawan mesti berlaku sederhana, bahkan kekurangan pun tak mengapa. Kesederhanaan bahkan kekurangan menjadi cerminan ketaatan dengan nilai agama.
Bahkan dalam agama Katolik, jika ingin mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan, sebagai biarawan atau biarawati, maka seseorang wajib mentaati 3 kaul. Yakni kaul kemiskinan, kaul kemurnian (selibat) dan kaul ketaatan. Kemiskinan jadi syarat menjadi biarawan.
Namun, di sisi lain kita menemukan fakta bahwa ada nabi yang kaya raya. Misalnya Nabi Sulaiman. Ada juga sabda nabi yang mengatakan bahwa sebaik-baik harta adalah yang berada di tangan orang saleh.
Jika kita melihat dari sisi ini, maka menjadi kaya sebenarnya tidaklah terlarang. Lantas bagaimana dengan Rasulullah SAW?
Menurut Dr Syafii Antonio, Rasulullah itu sebenarnya kaya raya, dari hasil perdagangan dan ghanimah serta pemasukan lainnya. Namun, kedermawanan Rasulullah sangat luar biasa. Iala tidak kuat ketika melihat orang kesusahan. Maka harta yang ada padanya dengan segera disedekahkan.
Akhirnya walau Rasulullah kaya, namun kekayaannya hanya mampir sebentar di dirinya. Dengan segera beliau sedekahkan. Akhirnya beliau terlihat miskin. Rasulullah pun hidup dengan sangat sederhana, tidak seperti raja Romawi atau Persia pada waktu itu.
Artinya, Rasulullah itu kaya, tapi tidak menumpuk harta, dan tetap hidup sederhana. Mungkin inilah bentuk paling ideal dari seorang agamawan.
Satu lagi hal yang paling penting bagi seorang agamawan adalah, dia memperhatikan dari mana sumber kekayaannya. Dan juga dia amanah dalam mengelola harta orang lain yang dititipkan.
Ini justru poin paling pentingnya. Seorang agamawan sudah pasti tidak mau memakan harta yang haram. Dan jika dia dititipi harta untuk disalurkan, dia salurkan. Tidak dimakan sendiri. Idealnya sih begini. Realitasnya saya tidak tahu. (*)