Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Wartawan senior, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang

Dalam lembar sejarah umat manusia, pemimpin adalah cermin peradaban. Bila pemimpinnya jujur, adil, amanah, dan takut kepada Allah, maka rakyat pun akan merasakan kedamaian dan keadilan. Namun, bila pemimpinnya berdusta, lalim, memperalat agama, dan memelihara para penjilat, maka kehancuran umat hanya tinggal menunggu waktu.
Kalimat, “Seorang pemimpin pembohong akan dibela para pendusta, dikelilingi para penjilat, disanjung para pengkhianat, dan didoakan para munafik,” bukan sekadar sindiran, tetapi potret buram kepemimpinan akhir zaman yang pernah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr, Rasulullah bersabda:
“Apabila penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada lagi kebaikan pada kalian. Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang, mereka tidak peduli siapa yang mengkhianati mereka, hingga datangnya Hari Kiamat.”
(HR. Tirmidzi, no. 2192)


Keburukan seorang pemimpin bukan hanya soal akhlaknya, tetapi ia menular, menyebar, dan membusukkan seisi istana serta segenap kaum yang membelanya. Ketika seorang pembohong naik ke tampuk kekuasaan, ia memerlukan orang-orang yang bersedia menjaga kebohongannya.
Maka para pendusta pun berkumpul. Ia membutuhkan sanjungan palsu untuk menjaga reputasinya. Maka para penjilat pun berduyun. Ia memerlukan legitimasi atas pengkhianatannya terhadap rakyat. Maka para pengkhianat pun menjadi pembisik dan penasihat. Ia membutuhkan pembenaran agama atas kezalimannya. Maka para munafik pun berdoa atas namanya.
Al-Qur’an telah menjelaskan betapa bahayanya kebohongan dan pengkhianatan dalam kepemimpinan. Allah berfirman:
وَلا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا
“Dan janganlah kamu membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 107)
Apa yang bisa diharapkan dari seorang pembohong yang menepikan kebenaran demi kuasa? Bila lidahnya saja tak bisa dipercaya, bagaimana mungkin janji dan sumpahnya bisa dijadikan sandaran rakyat? Rasulullah memberi tanda kehancuran sebuah umat justru dari perilaku pemimpinnya:
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran (Hari Kiamat).”
(HR. Bukhari, no. 6496)
Seseorang yang menipu dan berdusta di hadapan rakyatnya, lalu memanipulasi agama untuk menutupi kelicikan, telah menyulut murka langit. Imam Al-Ghazali pernah berkata dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, “Rusaknya rakyat karena rusaknya pemimpin. Dan rusaknya pemimpin karena ulama yang diam atau turut membenarkan kezaliman.”
Kebohongan yang dibalut simbol agama, diiringi doa-doa para munafik, bukanlah keberkahan, melainkan kutukan. Allah memberi ancaman keras dalam firman-Nya:
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri tanpa mereka sadari.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 9)
Para penjilat akan terus melafalkan pujian untuk si pembohong, seolah dialah pemimpin suci, padahal lidah mereka hanya mengais dunia, bukan menyuarakan kebenaran. Mereka kehilangan rasa malu. Mereka kehilangan tanggung jawab akhirat. Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.”
(HR. Bukhari, no. 3483)
Apa yang lebih mengerikan dari seorang pemimpin yang mengaku membela rakyat, tetapi membiarkan rakyatnya kelaparan? Apa yang lebih tragis dari pemimpin yang mengaku religius, namun mendustakan hak rakyat, menindas lawan, dan memelihara para pengkhianat? Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga atasnya.”
(HR. Bukhari, no. 6731)
Munafik bukan hanya soal keyakinan tersembunyi. Munafik juga tentang keberpihakan batin yang berpura-pura. Mereka mendukung kebatilan sambil berdoa seolah-olah membela kebenaran. Allah berfirman:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ‘Kami telah beriman.’ Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (pemimpin) mereka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok saja.'”
(QS. Al-Baqarah [2]: 14)
Wahai saudaraku, kita bukan hanya butuh pemimpin yang shalat, tetapi pemimpin yang takut kepada Allah dalam setiap keputusannya. Kita butuh pemimpin yang tidak sekadar menyebut nama Allah di bibir, tetapi menegakkan keadilan sebagai perintah-Nya. Kita butuh ulama yang berani menegur penguasa, bukan mencium tangan para penguasa yang zalim.
Mari kita menjadi rakyat yang tidak sekadar menonton, tetapi menyuarakan kebenaran, meski kita sendiri tak memiliki kekuasaan. Karena Rasulullah berpesan:
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Dawud, no. 4344)
Pemimpin yang jujur akan disandingkan bersama para nabi, syuhada, dan orang-orang shalih. Sebaliknya, pemimpin pembohong, pendusta, dan zalim akan diseret bersama para penipu di akhirat kelak. Mari jaga lisan dan hati kita dari membela kebohongan. Mari arahkan doa-doa kita untuk kebaikan, bukan untuk mempertahankan kemunafikan.
Karena sejarah telah mengajarkan, setiap kebohongan yang diorganisir akan tumbang oleh satu kebenaran yang lahir dari hati yang ikhlas dan bersih. Dan saat itu tiba, rakyat akan kembali bersujud dengan tenang — bukan karena takut, tetapi karena cinta kepada pemimpin yang takut kepada Allah.
Wallāhu a‘lam. (*)