Pemimpin yang Menjabat atau Merakyat?

0
125
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Hal lumrah bagi siapapun yang berkehendak untuk mendapatkan sebuah jabatan, apalagi dari jabatan tersebut ada nilai tambah materi dan immateri. Dari jabatan yang didapatkan sudah dipastikan akan meningkatkan prestise lebih, selain pujian dan apresiasi dari saudara, kolega, dan masyarakat luas.

Rebutan jabatan pun sudah sering menghiasi dalam pemerintahan melalui lelang jabatan atau open biding dari jabatan di bawah naik ke atas, seperti eselon 1 menuju ke eselon 2 dan seterusnya sesuai tingkat jabatan tertinggi. Atau dalam dunia perusahaan, pun tak kalah menarik hal ihwal rebutan jabatan berkarir dari cleaning service hingga CEO.

Wajar dan memang harus direbut jabatan itu jika untuk kebaikan. Dapat dipastikan tidak mungkin jabatan diberikan begitu saja tanpa ada proses yang normal, kecuali perpindahan jabatan perusahaan dari orang tua ke anak itu dapat terjadi. Sementara dalam pemerintahan tidak berlaku peralihan dari orang tua kepada anak kandung biologis atau sejenisnya.

Menjabat banyak diidam-idamkan orang, selain menambah uang saku makin tebal dan rekening penuh juga menambah nilai lain yang mampu mendatangkan penghargaan dan penghormatan dan bargaining position personal secara sosial. Hal itu pada umumnya terjadi dan datang kepada siapapun yang beranjak usianya masuk pada usia mendekati usia dewasa lanjut, dalam bahasa familiar disebut usia produktif yang masanya mendapatkan kenaikan jabatan dalam dunia kerja.

Hal lain hampir berlaku sama dalam dunia sosial politik. Jabatan lebih dipahami substansinya suatu bentuk kekuasaan yang mampu mengendalikan institusi, atau bagian penting yang strategis dalam pengambilan kebijakan dalam sebuah institusi organisasi. Dan biasanya untuk mendapatkan posisi itu selalu dilakukan dengan cara akselerasi dan suksesi permusyawaratan sesuai tingkat dan level struktur yang dianut.

Di balik hal ihwal yang berkenaan dengan jabatan, otomatis akan selalu identik dengan istilah atasan dan bawahan jikalau dalam dunia kerja, majikan dan buruh dalam dunia industri, dan juga ada pejabat dan rakyat di pemerintahan. Artinya, manakala ada istilah menjabat yang identik dengan majikan atau atasan yang berfungsi dan berperan menjadi pemimpin, yang selalu memberikan arahan dan bimbingan hingga mengorganisir institusi organisasi untuk mencapai tujuan yang disepakati. Dan konsekuensinya, ada yang diarahkan dan ada yang dilayani sesuai kebutuhan untuk kemajuan organisasi atau institusi dalam komunitas yaitu bawahan atau rakyat, bersama untuk menuju tujuan yang hendak akan dicapai.

Sementara merakyat pun sangat diidam-idamkan juga, berharap siapapun mereka yang sudah didaulat menjadi seorang pejabat mewakili rakyat atau bawahanya seharusnya bersikap menjadi seseorang yang tetap memiliki kepekaan dan kepedulian penuh empati dan simpati. Menunjukkan keberpihakan pada kebenaran yang konstitusional, baik sesuai dengan ajaran agama maupun peraturan perundang-undangan berlaku.

Sikap merakyat bukan pencitraan penuh tipudaya, bukan pula sekedar basa-basi sesuka hati tanpa arti. Sikap merakyat senantiasa membela yang benar, mengadvokasi yang lemah, memberdayakan orang yang belum sejahtera dan berusaha menjauhi sikap-sikap yang bernunansa menindas pada sesama. Perbuatan merakyat, sebuah tuntunan sikap bagi siapapun yang menjadi pimpinan atau atasan, dan berlaku juga bagi para pejabat atau birokrat pemerintahan di manapun level jabatannya.

Antara menjabat dan merakyat pada faktanya jauh dari bumi ke langit, sikap dan perilaku pejabat yang merasa diri seorang pejabat cenderung angkuh dan sombong, dengan pasang muka jutek dan sok pejabat karena seolah berkuasa. Malahan kesehariannya dilayani oleh para bawahannya, baik pembantu atau karyawan tingkat paling bawah.

Merakyat sikap seseorang yang diberi amanah sebuah jabatan bukan sesuatu yang wah dan mewah, melainkan beban berat yang harus dipikul penuh tanggung jawab, bahkan kadang dianggap suatu musibah. Sehingga dalam perbuatannya semaksimal mungkin menempatkan diri menjadi pelayan baik yang senantiasa kapan saja melayani bawahanya atau rakyatnya penuh ketulusan dan ikhlas.

Perlu dicatat, fakta sosial hari ini dalam sebuah institusi apapun jabatan sudah menjadi magnet setiap individu orang untuk mengambil posisi tersebut. Hal itu dikarenakan menjadikan dirinya sangat berharga dan terhormat, sehingga dijual harga mahal baik senyumanya, maupun sikap dan tindakannya dibuat mahal. Tidak aneh, untuk sebuah tanda tangan saja bagaimana harus bernilai nominal angka, atau butuh proses panjang melalui meja satu ke meja lainya hingga berapa lama dokumen dapat masuk ke meja pejabat paling tinggi. Setelah itu, kembali lagi ke meja-meja sebelumnya.

Masyaallah, luar biasa mahalnya proses birokrasi yang selama ini dirasakan hampir semua orang, padahal hanya sebuah tanda tangan mesti harus menempuh berhari-hari, berminggu-minggu dan seterusnya. Lebih parah, dokumen yang akan ditandatangi hilang entah ke mana? Begitulah kisah cerita antara pejabat dan rakyat.

Pada akhirnya, sikap pada kasus cerita diatas menjadi tradisi dan budaya pejabat di negeri antah berantah. Itu terjadi kabarnya di sebuah instiusi pemerintahan dan institusi yang banyak bersentuhan dengan anggaran pendanaan. Tanpa dirasa, budaya tersebut menetes dan merembet pada institusi sosial dan entitas nirlaba lainnya. Yang lebih parah lagi, pola dan prilaku tersebut untuk mempercepat proses ujung-ujungnya jadi ada nilai tukar rupiah, wani piro? Hal itu sudah menjadi rahasia umum yang lumrah dilingkungan institusi apapun.

Begitulah mahal dan berharganya menjabat, dan juga murah dan dhu’afanya merakyat atau sebaliknya! Saat ini orang berlomba-lomba mendapatkan jabatan, tidak peduli berapapun harganya yang penting dapat terbeli karena dalam benaknya suatu saat akan aku jual semahal mungkin demi margin yang besar dan banyak. Innalillahi…

Semoga hal tersebut tidak diwariskan pada generasi, walaupun berat untuk menolak budaya dan tradisi yang banyak menyakiti hati. Orang Sunda punya falsafah, “Disipuh ku karipuh, diasah ku kanyaah, tur dituntun ku santun. Kudu inget kapurwadaksi.” Semoga sahabat, kolega, dan kerabat yang menjabat kembali pada hakikat sebenarnya. Bahwa jabatan hanya sementara, kapan pun akan ada akhirnya. Pertanggungjawabanmu akan diminta sekalipun selamat didepan rakyat, di depan Hakim Maha Adil akan ada keadilan yang Super Adil. Wallahu’alam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini