Penjahat Disanjung vs Pahlawan Dihina: Pertarungan Heroik Palguno-Palgunadi

0
85
Penjahat Disanjung vs Pahlawan Dihina: Pertarungan Heroik Palguno-Palguna. (foto: wayang.files.wordpress.com)

Oleh: Abidullah alias Gus Doel
Mantan Jurnalis, dai Muhammadiyah Sawahan

KLIKMU.CO

Sikap dan keberpihakan terhadap nilai-nlai kebenaran, rupanya, sering menjadi problem. Tak jarang, terjadi jungkir balik cara pandang terhadap nilai-nilai luhur. Seringkali, yang salah dianggap benar, yang benar disalahkan. Pecundang disebut pahlawan, sebalikya, pahlawan justru dihinakan.

Entah disadiri atau tidak, kerap kali, kita hanya bisa berpangku tangan, tak satu pun dapat diperbuat. Alhasil, keanehan fenomana ganjil menjadi lumrah, seolah lazim dan wajar. Haq dan bathil berada di ruang buram, yang sulit dibedakan identitasnya.

Sikap “absurd” terhadap nilai kebaikan-keburukan, kejujuran-kebohongan, kepahlawanan-kejahatan, rupanya, menjadi problem peradaban sepanjang masa. Kita ambil contoh, Rasulullah telah mengingatkan, suatu saat akan datang “zaman kacau balau”.

Pada masa itu, orang jujur dianggap  pembohong. Sebaliknya, pembohong dipercaya. Pemegang amanah dituduh pengkhianat, sebaliknya pengkhianat diberi kepercayaan. Yang lebih menyedihkan, jungkir balik nalar begitu kuatnya, hingga sulit dicari jalan, ke arah yang semestinya.

Menarik sekali diperhatikan, sepenggal kisah pewayangan, “Palguno-Palgunadi”. Setiap kali lakon itu dipentaskan, tampak “potret utuh” dari problem yang merisaukan itu. Bukan hanya jalan ceritanya, tetapi juga sikap masyarakat penonton yang tak sadar, berada di simpang jalan.

Setiap kali pementasan, penonton bersikap acuh terhadap nilai-nilai luhur. Betapa tidak, decak kagum dan tepuk tangan ditujukan kepada tokoh, yang dalam kasus ini, “Penjahat”. Sebaliknya, penuntut keadilan menjadi korban tertawaan dan hinaan.

Sadar atau tidak, Arjuna menjadi tokoh kultus membabi buta. Keberadaannya harus selalu dibela. Bagi masyarakat banyak, tidak penting, apakah kesatria pendawa itu berbuat keliru, bahkan melukai hati nurani. Sebaliknya, Bambang Ekalaya justru dibenci dan disalahkan. Padahal, yang dilakukan mempertahankan harkat-martabat, anak manusia.

Dalam lakon yang sangat menarik itu, dikisahkan pertarungan sengit antara dua orang laki-laki. Arjuna disebut Palguno, sedangkan Bambang Ekalaya berjuluk Palgunadi. Pertarungan dahsyat, berlangsung panjang dan berliku.

Pada babak pertarungan krusial, Arjuna berhasil ditekuk dan dilipat, menelan kekalahan telak. Kesatria pandawa itu tak sanggup melanjutkan pertarungan. Murid terbaik resi Durna pun terkapar tumbang. Pada babak pertarungan satu lawan satu, Palgunadi tampil sebagai pemenang, secara meyakinkan.

Babak berikutnya, terjadi perubahan tak terduga. Campur tangan Krishna mengubah jalan cerita. Putra Dewachi itu turut ambil bagian dalam kemelut situasi. Pada saat genting, dia datang dengan segala otoritasnya. Arjuna yang sudah jatuh terkapar kembali bangkit dalam keadaan bugar.

Raja Duwarawati, menggunakan kedigdayaannya, menolong Palguno. Peristiwa yang sulit diterima akal sehat, harus terjadi pula. Status kematian Arjuna batal dalam waktu sekejap. Pertarungan fair yang sudah selesai, kembali dilanjutkan. Kemenangan Palgunadi pun dianulir.

Perkelahian hebat itu dipicu kemarahan Palgunadi. Bambang Ekalaya mencapai puncak amarah, menyangkut harga diri seorang laki-laki. Harga diri yang melekat pada kesatria, yang menjunjung tinggi kehormatan. Istrinya diganggu seorang laki-laki, dari wangsa Kuruw yang bernama Arjuna. Dewi Anggraini, wanita cantik jelita, memyertai suaminya dengan penuh kesetiaan. Istri Palgunadi, ikut dalam pengembaraan suaminya di tengah hutan, demi cita-cita luhur.

Palgunadi alias Bambang Ekalaya adalah kesatria muda, putra mahkota kerajaan  Nishada. Dalam pewayangan jawa, disebut Paranggelung. Sebagamana namanya, “Ekalaya”, dalam bahasa sansakerta, bermakna “Orang yang menyatukan tekad dalam keilmuan”. Sebelum bertahta, dia berupaya menyempurnakan diri sebagai kesatria agung. Dengan penuh keteguhan, hendak menggapai puncak keilmuan paripurna.

Demi ambisinya, Palgunadi hendak berguru kepada Maha Guru Durna. Sang guru besar, seorang resi kerajaan Hastinapura. Di samping itu, juga guru dari para pangeran Pandawa dan Kurawa. Kepadanya, para pangeran muda belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Sang resi dikenal sangat mumpuni dan berpengetahuan dalam, lagi luas. Ilmu agama, kesenian, nilai moral, kanuragan, juga seni perang. Durna Carya, pemegang puncaknya kesempurnaan ilmu memanah, yang dikenal dengan “Danurwenda”. Dari semua muridnya, hanya Arjuna yang berhsil mencapai kesempuraan, dalam ilmu memanah. Tidak salah,  bila penengah Pandawa itu menjadi murid kesayangan sang resi.

Sial bagi Palgunadi, ditolak sebagai murid. Bambang Ekalaya hanya bangsawan dari kerajaan kecil, yang tak diperhitungkan sejarah. Apalagi, Durna sudah terikat janji, hanya Arjuna yang berhak sebagai pewaris “Danurwenda”. Pangeran dari Nishada itu, pantang surut tak patah arang.

Tekad bulat yang kuat membuatnya tidak kehabisan asa. Dicarinya jalan apa pun, demi merengkuh seluruh ilmu, dari sang guru idola. Palgunadi masuk hutan, menantang buasnya belantara. Terus masuk ke dalam, demi menemukan keheningan batin, beningnya hati dan perasaan.

Berbeda dengan para pangeran di istana. Putra Pandawa dan Kurawa, belajar di tempat nyaman dan mewah. Tersedia lengkap segala buku dan bacaan. Mereka belajar, langsung di bawah bimbingan resi pilihan. Palgunadi belajar dalam gua yang sunyi. Keteguhan hatinya tak pernah  kendur. Melalui kedalaman batin, buku-buku bacaan seolah terbuka, di alam bawah sadar.

Guru Dorna seakan datang dalam imaginasi nyata. Bayangan sang guru, masuk ke dalam ruang rohaniah yang jernih. Melalui jalan kontenplasi, seluruh ilmu kesempurnaan dari sang guru,   terserap tuntas.  Danurwunda bukan hanya, milik murid kesayangan Durna. Murid yang belajar melalui proses pengalaman sufistik pun, dapat menguasai secara paripurna.

Datanglah ujian pertama. Tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing dari kejauhan. Suara itu memecah kedamaian belantara. Diambilnya anak panah, dipasang pada tali kendewa. Palgunadi masuk ke dalam pikiran jernihnya. Ditariknya  tali busur, sampai ke dalam relung batin yang paling dalam. Anak panah pun melesat menuju  sasaran tepat. Lolongan anjing pun berhenti seketika, bagai ditelan kesunyian malam.

Anjing berlari kencang menuju perkemahan, tempat istirahat para Pendawa. Mereka sedang berpesiar di hutan. Kesatria wangsa kuruw itu terheran, tak habis fikir. Ada sembilan anak panah menancap satu titik, tepat di mulut anjing. Selama ini, tak satu pun dapat melakukannya, kecuali Arjuna.

Pertanyaannya, siapa pelakunya? Pertanyaan pun terjawab sudah. Pemanah ulung datang dengan segala keluguannya. Ketika ditanya, darimana ilmu keahlian memanah? Dijawabnya, sebagai murid Durna Caria. Pengeran pandawa pun semakin terheran, dengan pengakuan seorang laki-laki lugu,  Bambang Ekalaya.

Kejadian di hutan itu disampaikan kepada sang guru besar.  Berita pun disambut dengan murka yang membara. Sang resi merasa, tidak pernah mempunyai murid, selain putra Pandawa dan Kurawa. Kesempurnaan ilmu memanah, hanya diturunkan kepada Arjuna. Sang maha guru ingat, pernah ada seseorang dari Nishada ingin berguru kepadanya. Permintaannya sudah ditolak mentah-mentah. Resi kerajaan pun larut dalam pikiran, penuh keheranan, tanpa ketemu jawabannya.

Palgunadi dianggap melakukan kesalahan besar. Tanpa ijin, pengeran dari Nishada mengaku sebagai murid. Sudah tentu harus menerima kensekunsinya, sebagai hukuman. Alasan itu dipergunakan Durna dalam berbuat curang. Kecurangan demi membantu murid kesayangan, dalam pertarungan bergengsi. Pemangku ilmu keagamaan itu, rela melakukan tipu daya. Atas asistensi Krishna, diketahui titik lemah Palgunadi. Kekuatannya, terletak pada ibu jari tangan kanannya. Di situ terdapat pusaka Mustika Ampal,  berupa cincin yang menyatu dalam ibu jari.

Durna datang menuntut tanggung jawab. Palgunadi pun tersimpuh tawadhuk, di hadapan sosok yang dianggap sebagai gurunya. Dengan tulus ikhlas, mengakui kesalahannya. Semua dilakukan agar diakui sebagai murid, serta bisa menimba ilmu kesempuraan hidup. Penuh kelicikan, sang maha guru menawarkan jalan damai. Bisa dimaafkan, bahkan diterima sebagai murid yang syah dengan satu syarat, mempersembahkan tanda terima kasih. Dalam tradisi India kuno, murid mempersembahkan Gurudaksina, sebagai ungkapan terima kasih, setelah lulus menuntut ilmu.

Alasan itu digunakan sebagai kesempatan, untuk berbuat curang. Kelicikan dilakukan, untuk memuluskan jalan bagi Arjuna, memenangkan pertarungan besar. Sang resi  meminta Palgunadi menyerahkan cincin yang melingkar pada ibu jarinya.  Itu berarti, Ekalaya harus rela kehilangan kedigjayaannya.

Dengan lepasnya cincin Mustika Ampal, berarti tanggal ibu Jari, tempat bersemayam seluruh ilmu kanuragan, yang melekat di dalam dirinya. Alhasil, Palgunadi jatuh dalam kekalahan, tanpa pembelaan seorang guru. Dia baru sadar, sang resi telah menjerumuskannya. Palguno memenangkan pertarungan, setelah melalui serangkaian kecurangan dan tipu daya.

Pementasan pun berakhir. Masyarakat penonton beranjak pulang, membawa perasaan lega. Mereka gembira dan bangga dengan kemenangan Arjuna, sang idola. Tanpa disadari, terdapat kontroversi memilukan, di dalamnya.

Seandainya, setiap habis pentas perang bintang itu, masing-masing bertanya:

Bila mengalami peristiwa sebagaimana Palgunadi?

Apa yang diperbuat, apabila istri dan keluarganya diusik?

Sayang, pertanyaan seperti itu tak pernah terlintas.

Ada keganjilan, tetapi dianggap wajar. Betapa pun, sang pelaku sang idola.

Wallahu A’lam Bishawab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini