8 April 2025
Surabaya, Indonesia
Opini Politik, Sosial & Ekonomi

Perang Dunia Ketiga, Bagaimana Seharusnya Sikap Indonesia?

Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Peperangan antarnegara terus berlangsung nyaris tanpa jeda. Jiwa dan raga dalam situasi perang tak ada harganya. Kita tengok ke belakang dalam perjalanan sejarah, baik itu Perang Dunia Pertama maupun Kedua, tampaknya telah menjadi catatan kelam kehidupan manusia dalam dinamika dunia. Hal itu dilatarbelakangi hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan.

Begitu pun Perang Dunia Ketiga saat ini sedang berlangsung, baik perang dingin maupun perang terbuka dengan bersembunyi di balik kepentingan yang dimiliki masing-masing negara yang terlibat. Negara yang terlibat perang terbuka menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya mampu melawan dan melindungi bangsa dan negaranya dari aneksasi negara lain.

Namun, dalam perang jenis apa pun bukan sekadar menjaga dan melindungi bangsa, negara, dan rakyatnya, melainkan demi sebuah kepentingan pragmatis kekuasaan yang tidak disadari oleh pihak-pihak tertentu.

Perang Dunia Ketiga secara terbuka dan terang-terangan, pada dasarnya, tidak jauh dari unsur-unsur kepentingan kekuasaan global. Hasrat hawa nafsu pada manusia mutlak menjadi dasar utama kepentingannya. Begitu pun dalam konteks kebangsaan dalam skala nasional maupun internasional akan selalu dilatarbelakangi kepentingan kekuasaan bersifat pragmatis.

Hal tersebut tidak akan pernah hilang dalam dinamika kehidupan manusia di dunia. Pasalnya, manusia pada sisi tertentu ada kebutuhan pokok pragmatis bersifat material. Maka dalam konstelasi politik global yang terjadi, sekalipun atas nama negara dan bangsa, itu hanya media perantara untuk menunjang dan memperkuat jejaring untuk menjangkau skala lebih besar.

Hasrat kekuasaan dan materi saat menjadi tujuan, manakala tercapai akan menjadi dewa dan Tuhannya sehingga apa pun akan dilakukan demi sebuah kelanggengan. Begitulah syahwat nafsu manusia selama hidup tidak ada batasnya, kecuali memiliki kekuatan untuk membatasi diri atau dibatasi oleh kekuatan norma-norma. Bahkan, nafsunya manusia jikalau kekuasaan dan materi sudah ada dalam cengkeraman dengan jumlah nominal “no limit” bukan saja harta kekayaan menjadi Tuhannya, melainkan dirinya merasa sudah menjadi Tuhan. Sehingga apa pun yang diharapkan dan diminta harus terpenuhi dengan cara apa pun.

Peperangan terbuka akan terus terjadi. Hal itu dimulai sejak terjadinya pengembangan alutsista di setiap negara dan itu merupakan pertanda secara tidak disadari bukan hanya mempersiapkan diri semata tanpa ada latar belakang bersifat emosional. Melainkan ada hawa nafsu yang membuat kondisi psikologis saat dirinya terancam dari berbagai jenis dan macam teror dari perilaku arogan negara-negara tetangga atau negara-negara yang memiliki tabiat imperalis dan kolonialis.

Abad digital akibat disrupsi banyak perubahan, termasuk alutsista dunia kemiliteran. Bagaimana negara-negara imperialis mengembangkan pertahanan udara, darat, dan laut dengan menggunakan sistem teknologi digital seperti Iron Dome dan sejenisnya. Drone-drone bunuh diri penghancur sasaran tanpa awak dikendalikan secara digital hingga bermanuver sesuai kebutuhan perang.

Pesawat tanpa awak tersebut lebih efisien dan efektif untuk penghancuran lokasi sasaran musuh tanpa biaya mahal secara materiil maupun imateriil. Sekian banyak negara memproduksi alutsista dengan pendekatan teknologi digital yang ramah anggaran, namun efektif nilai bobot penghancuran lawan atau musuh.

Perang tidak akan berakhir, sekalipun berhenti hanya sesaat karena gencatan senjata bersifat sementara atas dasar kepentingan. Kecuali kepentingan utama salah satu pihak akan pengakuan kalah atau pengakuan kemerdekaan. Selama belum terpenuhi kepentingannya, maka akan terus berlanjut hingga pada titik pengibaran bendera putih tanda menyerah di antara salah satu pihak yang berperang.

Dalam perang nyaris tidak ada pertimbangan humanisme sosial, kepedulian mereka menang atau kalah, mati atau merdeka dan juga sangat mungkin saat berperang ada sebagian orang menggunakan pendekatan terma nuansa teologi, yaitu doktrin “hidup mulia atau mati syahid”. Sehingga kontak senjata sudah pasti terjadi karena masing-masing negara memiliki alutsista, baik itu dapat beli atau memproduksi sendiri secara mandiri.

Terlebih untuk kedaulatan negara dan bangsa dan harga dirinya, pantang untuk tunduk dan takluk sebelum sampai habis titik darah penghabisan. Berbagai cara pasti melawan, bila perlu berkoalisi dan berkolaborasi satu negara dengan negara lain yang memiliki tujuan sama dan atau memiliki relasi kepentingan ikatan janji sebuah materi.

Diakui atau tidak, Perang Dunia Ketiga sudah berlangsung dalam skala yang masih dianggap kecil. Apa yang terjadi masih rentang masa waktu yang dikategorikan sebagai perang pengantar atau pendahuluan yang bertujuan melihat situasi dan kondisi medan pertempuran dan respons konstelasi politik global negara-negara di dunia. Minimal saat perang pendahuluan tersebut menjadi ruang dan kesempatan menguji akurasi dan daya jangkau alutsista yang dimiliki terhadap target dan sasaran.

Ada pertanyaan, sejauh mana batasan nilai-nilai humanisme terhadap dampaknya yang menelan korban jiiwa, korban luka permanen, korban ringan, dan luka-luka lainnya. Sepertinya hal tersebut hanya dalam catatan komentar, sementara pertanggungjawaban kemanusiaan di dunia maupun di akhirat cenderung dikesampingkan.

Bahkan, belum lama ini ditemukan kuburan massal penduduk sipil yang terindikasi genosida pembunuhan secara massal di Kota Gaza. Dunia hanya bengong seolah “percaya tidak percaya” melihat fakta dan realitas di depan mata. Relawan kemanusiaan dunia pun tak luput dari sergapan peluncuran rudal Zionis Israel menewaskan hingga tak tersisa satu pun.

Banyak cerita dan kisah nyata perjalanan manusia, dari generasi ke generasi silih berganti dalam rangka mengisi dan memenuhi ruang-ruang kosong tak bertuan, sesekali saling berebut lahan untuk kepentingan hidupnya. Hal itu berjalan dan terjadi di mana pun manusia hidup, di belahan peta dunia dari barat hingga timur dan dari utara hingga selatan. Berkoloni dan berkelompok sifat dasar manusia.

Begitu pun saat memperebutkan hak wilayah kekuasaannya dalam satu bangsa dan negara, satu bahasa dan satu cita-cita. Risiko dan konsekuensi ditanggung renteng secara bersama-sama, pahit dan manis dirasakan dengan adil dan berkeadilan. Awal mula untuk bersama, saling jaga dan pelihara dalam situasi apa pun.

Lama-lama sifat dasar manusia berselisih karena syahwat nafsu serakah salah seorang di antara mereka muncul tiba-tiba merasa dirinya paling kuat  akhirnya ada dominasi dan intervensi lebih. Begitu pun saat ini dalam dua dekade, suku bangsa tertentu yang bertabiat imperialis penjajah senantiasa bersyahwat besar untuk menguasai dan menganeksasi di antara para musuh, baik dengan cara apa pun bisa. Seperti Zionis Israel menyerang Gaza Palestina, Amerika menyerang Irak, dan juga Suriah.

Termasuk ditambah perang di wilayah Eropa, Rusia versus Ukraina yang hingga kini belum berhenti. Ribuan warga negara, baik anggota militer maupun masyarakat sipil. Korea Utara versus Korea Selatan terus menegang, termasuk Cina Tiongkok dengan Taiwan mereka diam-diam menaruh saling curiga hingga berdampak pada pengembangan alutsista di antara mereka.

Apa pun alasannya, negara mengembangkan alutsista secara besar-besaran dengan anggaran negara yang signifikan tiada lain untuk berperang dan bisnis alusista dengan negara-negara yang berkonflik dan kelompok sipil militer yang bertikai dalam satu negara.

Terlepas dari itu semua, perang tidak menyelesaikan masalah, melainkan meningkatkan permasalahan kebangsaan dan meninggalkan sekaligus mewariskan budaya konflik yang tak berkesudahan. Sebenarnya, Perang Dunia Pertama, Kedua, atau Ketiga merupakan stigma yang disengaja menjadi salah satu bagian dari rekayasa “by design” yang dirancang oleh pihak-pihak yang berkepentingan berorientasi pada pragmatis material.

Indikatornya sangat sederhana, selain terus-terusan mengembangkan alutsista juga menjebak negara-negara miskin penuh konflik hingga kelanggengan konfliknya terus berlanjut. Dalam waktu bersamaan negara produsen alutsista berbisnis dengan dalih membantu melawan dan memberantas musuhnya dan juga berlaku untuk negara berkembang sebagai pasar terbuka.

Artinya, peperangan di dunia tidak akan berhenti yang berbarengan dengan nafsu syahwat negara adidaya. Terlebih Zionis Israel, tindakannya lebih dari negara adidaya bahkan seruan-seruan seluruh bangsa di dunia suaranya tidak pernah didengar. Sidang di meja Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mengalami deadlock karena negara besar masih mendukung tindakan Zionis Israel. Sikap demikian adalah bentuk kesengajaan mendorong untuk terus berlanjutnya perang lebih besar dan membesar hingga dapat dianggap Perang Dunia Ketiga.

Akhirnya, siapa yang diuntungkan dalam perang tersebut kalau bukan negara adidaya sebagai produsen alutsista karena produknya laku terjual dengan dalih membantu negara sekutu. Hal itu terlihat bagaimana Amerika dan Inggris terus-menerus memasok persenjataan kepada Zionis Israel tanpa henti sekalipun dihadang oleh Houthi Yaman. Justru ikut terlibat menyerang kembali Houthi dengan dalih membalas, padahal itu memancing perang kawasan lebih besar lagi.

Dari peta peperangan saat ini, telah membukakan mata dan telinga siapa yang peduli kepada kemanusiaan dan khususnya kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. Begitu pun negara Arab hanya menonton genosida di Gaza Palestina, justru yang miris dan ironis bagi negara-negara Arab para pemimpinnya cenderung mencari aman dari politik global (safety player).

Dalam konteks politik global, politik bebas aktif bangsa dan negara Indonesia semoga tetap konsisten mendukung kemerdekaan Palestina tak tergoyahkan, bahkan sangat diperlukan menjadi pelopor perlawanan diplomatik negara yang pro-kemerdekaan Palestina. Pasalnya, Indonesia salah satu di antara negara yang memobilisasi tidak ikut blok barat dan timur, sekaligus sebagai negara penggagas non-blok. Kenapa tidak, kepemimpinan baru yang baru terpilih dengan latar belakang militer mampu menegosiasikan dan sekaligus menjadi lokomotif sebagai pendamping kemerdekaan Palestina yang memobilisasi negara-negara yang mendukung kemerdekaan Palestina secara penuh.

Perang akan hanya menyisakan arang dan debu, baik aset jasad manusia maupun seluruh aset bangunan milik rakyat maupun milik negara. Peperangan hakikatnya sedini mungkin dihindari selama masih dapat dinegosiasikan. Sebagaimana Rasulullah SAW sebelum peperangan terjadi selalu ada negosiasi menghindari perang. Sikap bijaksana dan humanis beliau telah menanamkan fondasi nilai-nilai hak asasi manusia di dunia. Wallahu’alam.

1 Comment

  • Kamaludin 5 Mei 2024

    Semoga dengan kebersamaan kita mendapatkan yang terbaik. Aamiin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *