13 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Opini

Perginya Sang Guru Bangsa

Nurbani Yusuf, dosen Universitas Muhammadiyah Malang. (Dok Pribadi)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Kemerdekaan manusia yang sejati adalah kemerdekaan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada sesama. Tanpa diskriminasi ras, agama, dan latar belakang sejarah. -Ahmad Syafii Maarif

Sebagian orang Muhammadiyah boleh tak bersetuju dengan sosok Buya Syafii Maarif yang digurubangsakan oleh banyak kalangan dan elemen masyarakat Indonesia. Orang Minang juga boleh mengambil gelar Buya pada nama depannya. Sebagian kecil pemuda Muhammadiyah juga boleh bilang bahwa Buya adalah sosok liberal pro-penista agama. Atau sebutan lainnya yang disuka. Buya tetaplah guru bangsa.

Dihormati di banyak elemen bangsa karena kesantunan, intergritas, dan istiqamah. Tanpa Muhammadiyah pun, Buya sudah diakui sebagai guru bangsa oleh banyak elemen masyarakat di tanah air, itu yang tak bisa ditampik.

Aku malu sebagai orang Muhammadiyah. Jika tak hormat pada para sesepuh, para guru, para senior, dan pendahulu. Meski tak pernah berkirim doa atau sekadar barakah Al Fatihah, setidaknya berkata santun dan berkhusnudzan sudahlah cukup. Kalau bukan kita yang menghormati, lantas siapa lagi. Dan ironisnya Buya mendapatkan itu semua bukan dari kita.

Kita juga boleh mengatakan apapun tentang Buya sesuka hati tak ada larangan, bahkan menyebutnya kafir sekalipun Buya tak keberatan. Dan Buya tetap konsisten di jalan kebenaran yang diyakini: jalan kemanusiaan, kebhinekaan, dan keadaban.

Kemerdekaan manusia yang sejati adalah kemerdekaan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada sesama. Tanpa diskriminasi ras, agama, dan latar belakang sejarah. Demikian Buya berujar.

Islam adalah agama humanis. Keteladanan yang diberikan oleh sang pembawa risalah cukuplah jelas. Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Tata laku sebagai poin dasar peradaban kemanusiaan. Ahklaq nabi saw adalah Al-Quran. Jika kalian berhati keras lagi kasar pasti mereka akan menjauh darimu. Dakwahmu bakal gagal.

Buya seakan sendirian melawan radikalisasi agama, benteng terakhir kemanusiaan dan kebhinekaan. Dia bukan saja dihujat, tapi juga direndahkan “kaumnya” yang gagal paham dengan berbagai fitnah dan sebutan. Buya terus istiqamah mengingatkan betapa bahayanya memperalat Tuhan untuk tujuan politik praktis. Bangsa ini harus dijaga dari syahwat sektarian dan budaya Arab jahiliyah yang diagamakan.

Terlalu mahal bila masa depan bangsa dipertaruhkan oleh kepentingan para pemimpin agama yang tak bisa menahan diri dari syahwat berkuasa. Sebagai guru, Buya terus memberi nasihat dan mengingatkan. Dan kita tahu bagaimana reaksi yang diingatkan tanpa menyebut nama.

Yang harus dipahami adalah bahwa Buya bukan saja milik orang Minang meski lahir dan besar di Sumpur Kudus. Bukan hanya milik orang Muhammadiyah meski pernah menjadi Ketua PP atau milik jamaah Masjid Nogotirto tempat Buya selalu berjamaah shalat dan hadir lima menit sebelum azan berkumandang. Buya milik semua orang yang punya komitmen luhur tentang kemanusiaan, kebhinekaan, dan akhlaqul karimah, siapapun itu.

Buya telah melampaui ruang dan waktu. Berkunjung dan berbagi kabar pada sesama agamawan yang dirundung musibah. Bukan kunjungannya yang di soal, tapi kecemasannya tentang konflik antaragama yang menjadi ancaman stabilitas, itu yang dipikirkan.

Tak urung presiden pun harus menuntun dan memapah orang sepuh ini menuruni tangga, sebagai tanda takzim. Dan menjadikannya salah satu saksi pada pernikahan putrinya. Para politisi dan negarawan datang dan hadir meminta nasihat. Panglima, Kapolri, ketua parlemen, anggota kabinet, Ketua PP Ustadz Haedar Nashir pun berkali sowan, para saudagar kaya, gubernur dan cagub. Bahkan uskup, dan bantey, bertakzim dan meminta nasihat kepada orang yang dianggapnya sebagai guru.

Graha Suara Muhamadiyah pun ramai mendapatkan berkahnya. Jadi jujukan negarawan dan politisi elite yang sekadar ingin berjabat tangan dan mendapat dua atau tiga patah petuah gurunya. Sebuah kebiasaan di luar kelaziman dan tradisi Muhammadiyah yang biasa egaliter dan abai pada senior.

Guru bangsa itu tetap saja bersahaja. Terus produktif berkarya dan menulis setiap hari di berbagai media nasional. Buya tidak minta pengawalan karena takut diteror dan tetap jalan kaki saat ke masjid atau ke pasar. Naik kereta dan antre di rumah sakit sesuai nomor urut. Tak punya sekretaris apalagi bodyguard. Mudah ditemui di masjid ketimbang di rumahnya. Ngopi, mbakmi atau beli gorengan bersama tetangga dan jamaahnya. Dan banyak yang mengaku betah berlama-lama ngobrol dengan Buya. Semoga Karamah, Maunah .. keberkahan, Ampunan dan ridha… (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *