21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Perkaderan Muhammadiyah: Menjaga Eksistensi Persyarikatan

Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Dengan kekuatan jamaahnya, Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam telah membuktikan diri secara nyata. Berbagi peran dalam menjalankan langkah-langkah tahapan untuk menuju tujuan tertentu yang direncanakan, baik dalam waktu jangka pendek atau waktu yang ditentukan. Satu per satu program nyata dan bermanfaat untuk umat menjelma di tengah-tengah lingkungan kehidupan masyarakat.

Perlu dicatat dan diperhatikan bahwa untuk menjaga sustainabilitas program nyata tersebut, harus ada yang menjaga dan memelihara sebaik-baiknya. Hasil jerih payah dengan bercucuran keringat menjelmakan sebuah gerakan nyata dalam bidang pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan, bukan sekadar ada, melainkan benar-benar bermanfaat untuk umat, bangsa, dan negara. Nilai material tak terhitung jumlahnya dalam hitungan jari, dengan ketulusan dan keikhlasan para pejuang persyarikatan menunjukkan bahwa Muhammadiyah peduli dan peka terhadap kehidupan masyarakat.

Tidak ada orientasi duniawiyah semata, melainkan menjalankan syariat Islam sebagai tanggung jawab seorang khalifah fil ardl yang tidak dibatasi ruang dan waktu dalam bentangan alam semesta. Begitu pun siapa saja yang menyadari bahwa persyarikatan akan tetap tegak dan kokoh berdiri manakala ada yang menjaga dan memelihara dari para penggeraknya.

Di mana pun Muhammadiyah berdiri, tanggung jawab sebagai warga persyarikatan menghidupkannya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dari tujuan saat awal berdiri untuk tetap menjaga dan memelihara dari segala eksistensinya. Sebuah tuntutan yang tidak boleh abai, apalagi hanya sekadar ada, harus berusaha kuat penuh dedikasi tinggi dalam menjalankan amanah dari Ilahi Rabbi. Menggerakkan, bukan sekadar tercatat berpartisipasi dalam kepengurusan, melainkan menghidupkan eksistensi institusi dalam gerak laju organisasi sesuai program kegiatan yang telah direncanakan.

Ketercapaian tujuan dari setiap gerakan dari kegiatan tergantung pada jenis dan bentuk program yang dijalankan. Hal tersebut menjadi alat ukur nilai kebermanfaatan apakah lebih banyak atau justru kecenderungan dekat dengan kemubaziran yang penuh sia-sia belaka tak begitu berguna. Tuntutan memenuhi kebutuhan masyarakat kian hari semakin kritis sikapnya walaupun kadang tidak rasional dan objektif, sehingga konsekuensi dampak dari langkah-langkah yang ditempuh mengalami turbulensi yang cukup serius.

Perkaderan sebuah istilah dalam pembinaan pada organisasi masyarakat dari berbagai jenis dan bentuk entitasnya. Begitu pun Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam memiliki sistem perkaderan yang sistematis dan terstruktur, termasuk organ-organ otonom yang terdapat di lingkungan persyarikatan secara resmi sesuai dengan rumah tangganya masing-masing.

Baitul Arqam dan Darul Arqam istilah yang dipakai dalam perkaderan di persyarikatan Muhammadiyah secara keseluruhan. Namun, pola dan model yang dikembangkan disesuaikan dengan tingkatan dan kebutuhan pada ruang lingkupnya, baik itu perkaderan dasar, madya, maupun paripurna secara berjenjang.

Hal tersebut berlaku juga pada organisasi otonom persyarikatan Muhammadiyah yang memiliki jenjang perkaderan pada level-level tertentu. Sementara perkaderan pada lingkup amal usaha milik persyarikatan lebih pada pengenalan dan penguatan ideologi Muhammadiyah tanpa ada jenjang seperti dalam perkaderan pada pimpinan secara sistematis dan terstruktur yang berjenjang. Sehingga dari kegiatan tersebut diharapkan pimpinan memiliki kompetensi leadership yang baik.

Perkaderan di Muhammadiyah bukan sekadar kegiatan rutinitas semata, melainkan memiliki maksud dan tujuan yang lebih luas. Dampak dan efek dari proses perkaderan akan mewujudkan jiwa-jiwa pejuang yang berkarakter, sehingga untuk mencapai tujuan dan cita-cita, visi, dan misi organisasi dapat diwujudkan dalam waktu yang telah ditentukan.

Maka, perkaderan di Muhammadiyah bertujuan membangun jiwa Islami, membawa tugas mulia menegakkan ajaran Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sebenar-benarnya.

Selain dari tujuan tersebut, persyarikatan Muhammadiyah berharap dengan perkaderan terstruktur dapat melahirkan para kader militan berideologi paripurna sehingga ke depan lahir pimpinan-pimpinan persyarikatan berjiwa pejuang (mujahid) kuat dan tangguh membawa misi keislaman dan kemuhammadiyahan, baik sebagai kader persyarikatan, kebangsaan, maupun kader keumatan.

Beban cukup berat menjalankan perkaderan di lingkungan persyarikatan. Selain membutuhkan pemikiran yang genuine, juga bagaimana menyiasati pembiayaannya. Bahkan tak kalah penting membuat sistem perkaderan yang benar-benar dapat mewujudkan tujuan sesuai harapan dan tujuan.

Jikalau sekadar ada pengkaderan, indikator ketercapaian tidak terukur dengan baik, hal tersebut bagian dari perbuatan mubazir dan sia-sia belaka, apalagi dengan menelan biaya yang tidak sedikit. Dengan pengorbanan materi finansial dan waktu yang panjang, momentum kegiatan tersebut harus dijadikan sebuah investasi, bukan cost organisasi yang habis begitu saja.

Penyelenggara perkaderan membuat sistem, pola, dan model perkaderan senantiasa selalu up to date dengan perkembangan dunia saat ini dan hari esok. Sangat perlu dibaca karakteristik lingkungan sosial masyarakat, baik masyarakat lokal, regional, nasional, dan dunia internasional. Instruktur atau trainer dan narasumber yang dikedepankan benar-benar memiliki kompetensi mumpuni yang menguasai berbagai materi dan juga memiliki keterampilan menguasai audiens.

Selama ini perkaderan-perkaderan yang dilakukan masih terindikasi cenderung sekadar menjalankan amanah organisasi, baik pimpinan persyarikatan maupun penggerak amal usaha Muhammadiyah. Indikator keberhasilan hasil dari perkaderan tampaknya hanya diukur saat usai kegiatan, sementara pada saat dan waktu tertentu untuk mengukur efek dan dampak terhadap eksistensi sebagai anggota pimpinan dan juga pengurus belum ada sistem pengukuran.

Terlebih bagi para pegawai-pegawai di lingkungan amal usaha Muhammadiyah yang terlihat indikasinya mereka mengikuti sekadar untuk memenuhi aturan kewajiban sebagai pegawai, baik itu guru, dosen, dokter, perawat atau tenaga kesehatan lainnya serta staf dan karyawan apa pun jenis profesinya. Nyaris tidak lebih hanya mengikuti rangkaian kegiatan, sementara kepekaan dan kepedulian bermuhammadiyah masih dikategorikan tergolong masih di bawah standar.

Yang benar-benar ikut berpartisipasi menggerakkan persyarikatan secara sungguh-sungguh dan militan masih terlalu jauh dari yang diharapkan. Pertanyaannya, apakah karena proses perkaderan yang tidak efektif atau karena hal lain faktor X yang memengaruhi sikap tak peduli dan tidak peka terhadap pergerakan Muhammadiyah di lingkungannya?

Apapun yang terjadi dalam dinamika perkaderan di persyarikatan Muhammadiyah, efektif dan tidaknya, baik dan buruknya dan juga kelemahan serta kekurangan yang dirasakan oleh penggerak persyarikatan dapat dijadikan sebuah catatan penting untuk keberlanjutan eksistensi organisasi. Autokritik sesuatu hal wajar untuk mengingatkan pada diri kita. Hal tersebut menghindari sikap terlalu banyak menyalahkan orang lain.

Dengan perkaderan yang dilakukan sejak awal masa Kiai Dahlan semata-mata untuk melahirkan generasi-generasi militan yang suatu saat menjadi tokoh penggerak lahirnya persyarikatan pada level tertentu di mana kader berdomisili dan juga menjaga serta memelihara gerak laju organisasi persyarikatan yang senantiasa dapat dirawat sepenuh hati.

Berbagai peristiwa dan dinamika persyarikatan yang muncul, baik hal yang buruk maupun yang baik, diharapkan menjadi sebuah inspirasi dan motivasi meningkatkan militansi sebagai kader pejuang persyarikatan Muhammadiyah yang berkarakter.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *