18 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Risalah

Perspektif Haidir #25: Tiga Perempuan yang Berbeda Budaya

Haidir Fitra Siagian (Klikmu)

Oleh: Haidir Fitra Siagian

KLIKMU.CO

Kebudayaan seseorang pada dasarnya dapat dilihat dari bagaimana dia memperlihatkan keberadaannya di hadapan publik. Segala tingkah laku, perkataan, gerak-gerik, bahkan tatapan mata seseorang dapat menunjukkan kebudayaan yang dianutnya.

Atas berbagai faktor, antara satu orang dan orang lain tentu memiliki kebudayaan yang berbeda. Jangankan antarnegara, dalam satu kota dengan kemajemukan yang ada pun memiliki kebudayaan yang berbeda bagi penduduk yang mendiaminya.

Terkait dengan penilaian kebudayaan, tidak dapat dinilai dari satu sudut pandang saja. Perlu adanya upaya untuk melihat kebudayaan dari berbagai perspektif. Di samping itu, satu hal yang harus dicatat adalah pentingnya memahami dan menghormati kebudayaan orang lain.

Menginginkan atau bahkan jika hendak memaksakan keseragaman kebudayaan adalah sesuatu yang bukan saja tidak mungkin, justru merupakan salah satu sikap yang tidak bijaksana. Bahkan jika itu harus dilakukan, inilah salah satu faktor yang sering kali memunculkan konflik di tengah-tengah masyarakat.

Saat saya tulis artikel ini, saya sedang berada di atas kereta api dalam perjalanan dari Kota Wollongong ke Kota Sydney, Australia. Saya bersama dengan nyonya sengaja naik dalam gerbong khusus pada bagian tengah. Ini adalah ruangan yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin tenang, sunyi, ingin membaca atau merenung.

Paling tidak di sini saya melihat ada tiga jenis kebudayaan yang berbeda yang dimainkan oleh kaum perempuan. Pertama, seorang perempuan dari Indonesia. Dia duduk di samping saya. Dia tahu ini adalah ruangan khusus “This is a quiet carrriage”. Sejak kami duduk di sini, dia langsung mengambil buku dan membaca. Tak ada suara dan pembicaraan di antara kami sepanjang perjalanan.

Kedua, tiba-tiba pada sebuah stasiun, naiklah dua orang perempuan warga lokal yang masih muda. Dengan pakaian yang sangat cocok untuk ukuran mereka. Tapi, bagi saya pakaian tersebut amat mengganggu, baik atas dasar agama maupun atas dasar kebudayaan yang saya anut.

Keduanya duduk persis di depan kami. Sambil bersenda gurau dan cerita tentang berbagai hal. Tak berapa lama, seorang di antara mereka melihat ke sudut ruangan. Merasa telah melakukan kesalahan, mereka pindah ke gerbong lain di bagian depan. Mereka baru sadar bahwa gerbong ini khusus ruangan hening, tanpa suara.

Jadilah mereka pindah. Mereka tak mau mengganggu orang lain. Tak ingin bahwa keberadaannya di ruangan ini membuat orang lain menjadi tidak nyaman. Sebab, memang ruangan ini dikhususkan sebagai ruangan yang tenang tanpa suara berisik.

Ketiga, tak jauh dari tempat duduk kami di belakang, duduklah dua orang perempuan. Sejak mulai duduk sampai saat itu, keduanya ngobrol dengan sedikit keras. Membuat kebisingan di dalam ruangan. Keduanya tak peduli apa yang terjadi. Tak merasa mengganggu orang lain. Apakah mereka tak sadar bahwa ini adalah ruangan khusus.

Keduanya saya pastikan bukan penduduk lokal. Yang jelas keduanya berperawakan Asia, tepatnya dari kawasan Asia Timur. Entah dari mana asalnya. Wallahu’alam.

Wolli Creeek, Sydney, 12/1/2020

Penulis adalah aktivis Muhammadiyah Sulawesi Selatan, kini tinggal di Australia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *