21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Pilkada Serentak 2024: Tahun Politik Para Artis

Pilkada Serentak 2024: Tahun Politik Para Artis. (Foto Cumicam Indepth)

Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

Belum lama cooling down dari pemilu presiden, langsung mengubah pasang kuda-kuda untuk menyambut pemilu kepala daerah langsung di seluruh Indonesia. Memang yang paling menyedot perhatian publik yang menjadi titik tolak peta politik daerah lainnya adalah ibu kota Jakarta, Jawa Barat,  Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal itu dikarenakan daerah paling padat populasi penduduknya, sehingga dapat menjadi hitungan politik yang akan datang.

Namun, sangat unik dan menarik di pilkada serentak saat ini kandidat-kandidat calon pemimpin daerah bertabur artis. Tahun periode lalu masih terbilang sedikit artis diikutkan kontestasi, karena pemilu kepala daerah periode lalu maupun legislatif terbaru cukup berhasil artis meraup suara signifikan. Sehingga momentum pilkada serentak dimanfaatkan oleh elit-elit politisi menjadikan para artis sebagai kandidat kepala atau wakil kepala daerah provinsi, kota, dan kabupaten.

Pertimbangan popularitas atau keterkenalan figur dianggap sesuatu yang sangat penting untuk meraup suara sehingga memenangkan kontestasi pilkada langsung. Namun, sebenarnya fenomena ini cukup miris dan ironis bagi demokrasi Indonesia dengan klaim semakin baik, tetapi realitas dan faktanya kian hari semakin memprihatinkan.

Figur publik dalam ruang politik kekuasaan siapa pun berhak menjadi pemeran utama atau pembantu, bahkan sekalipun pemeran figuran memiliki hak yang sama. Pertanyaannya, kenapa warga negara pemilik suara lebih banyak memilih artis ketimbang memilih politisi, padahal ruang gerak dan penguasaan dinamika politik pasti dikuasi politisi.

Fakta dan realitas, ternyata politisi kawakan menghadapi pemilu legislatif tahun ini banyak yang tumbang alias gagal masuk di kursi parlemen pusat hingga daerah dapat dikalahkan oleh kalangan artis, baik itu penyanyi, pesinetron, dan komedian.

Pemilu kepala daerah tahun ini menjadi tahun politik artis. Putaran roda kekuasaan legislatif lumayan banyak kalangan artis sehingga dalam pilkada pun tidak menutup kemungkinan akan banyak dimenangkan kalangan artis pula. Semoga rakyat dapat menilai kinerja mereka, apakah sekadar pemanis ruangan di atas kursi dalam lingkaran meja parlemen dengan setumpuk  tunjangan atau memang benar-benar ikut mewakili rakyat yang telah memilihnya.

Pelantikan dewan kota kabupaten sudah berjalan, selamat dan sukses yang terpilih hingga dilantik. Namun, senyum manismu rasa bahagia dan senang ada yang harus diingat setumpuk janji pada pemilih dan amanah yang menunggu untuk segera ditunaikan. Berbagai fasilitas sudah dianggarkan negara, baik untuk kebutuhan kinerja kantor maupun kebutuhan perjalanan dinas lainnya.

Figur artis sangat populer dan terkenal, dengan modal fisik rupawan nan menawan telah membius masyarakat sehingga memilih mereka. Tidak peduli sikap perilaku mereka seperti apa, bagi masyarakat yang penting mengenal dan rupawan menarik dilihat. Cukup heran kepada para pemilih, kenapa harus memilih artis padahal mereka kompetensinya lebih fokus dunia entertainment hiburan. Sementara mengurus negara titik fokus membuat kebijakan dalam melayani rakyat, apakah para artis mampu berkontribusi merumuskan kebijakan negara yang sangat pelik dan rumit. Padahal rekam jejaknya mereka sangat jauh dengan hal demikian.

Selama ini dirasa “jauh panggang dari api” harapan melayani itu terpenuhi. Yang terjadi justru banyak anggota parlemen fokus melayani big boss partainya agar tidak diganti tengah jalan atau pergantian antar waktu, termasuk pejabat eksekutif lebih banyak melayani sang tuan yang duduk di singgasana agar tetap senyum dan senang, bila perlu siapa pun yang mengganggunya akan diperkarakan tanpa ampun.

Tahun politik artis, pada ke mana para aktivis gerakan sosial dan politik di berbagai kalangan organisasi sosial dan kepemudaan. Tampaknya denyut gerakan pasca reformasi hingga saat ini terus menurun hingga lenyap ditelan bumi, begitu pun organisasi kemahasiswaan eksternal kampus semakin redup dan menghilang entah ke mana. Muncul sesekali manakala ada suntikan politik, selebihnya kembali menata sistem kredit semester yang tercecer akibat lupa dan khilaf terlalu banyak melihat tiktok, IG, dan youtube serta media sosial lainnya tetiba kuota habis, baru tersadarkan.

Peristwa “darurat demokrasi” menggema semoga hal tersebut tidak sesaat, melainkan terus mengawal hingga tata kelola negara ini benar-benar dijalankan sesuai konstitusi. Begitupun akademisi, tidak berhenti dalam pernyataan tertulis melainkan terus menerus terlibat aktif mengawal dan mengawasi secara aktif, dana miliaran rupiah yang digulirkan dalam riset dan pengabdian di kampus perguruan tinggi negeri ataupun swasta didorong lebih fokus pada kontroling elit-elit negara yang mendapatkan amanah rakyat.

Artis-artis yang terpilih, pemilih berharap penuh agar tidak hanya menghibur saat rakyat penat dengan kebijakan yang tak memihak masyarakat. Melainkan ikut turut serta membela kepentingan rakyat, memberikan ruang keadilan semua lapisan masyarakat, dan memihak kepentingan negara di atas segalanya.

Hartamu sudah cukup banyak dari profesi yang dijalani selama ini, saatnya amanah sebagai wakil rakyat menjadi prioritas mengabdi pada bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Suara merdumu, cukup untuk kehidupan keluargamu, uang tunjanganmu dari rakyat harus dikembalikan dan dibagi dengan rakyat sesuai takaran amanahnya.

Kepandaianmu berakting dalam layar kaca sudah cukup dalam sinetron, namun jangan kau pakai untuk berakting mengelabui pemilih dan rakyat hanya untuk kekuasaan diri dan majikanmu. Skill-mu seorang komedian tidak hanya berhenti mengocok perut para pemilih dan rakyat hingga tertawa terpingkal-pingkal yang berhenti saat itu pula, melainkan suaramu untuk mengisi perut-perut orang miskin yang “keroncongan” tak ada isinya.

Hari ini untuk lima tahun ke depan, sekalipun ada berprofesi artis akan tetapi karena dengan sikap pilihanmu menjadi pengabdi negara, maka konsekuensi amanah berada dalam pundak untuk dipikul yang harus dijalankan. Dunia artis cukup melelahkan karena kejar tayang, saat jadi anggota dewan sangat nyaman sing penting ikut semua arahan pimpinan partai, sesekali turun ke dapil dalam rangka reses.

Makanya, artis rata-rata setelah satu kali jadi dewan kemudian periode berikutnya mencalonkan kembali. Siapa yang tidak nyaman dan senang, duduk manis cukup berkata “setuju atau tidak setuju”  hal demikian atas arahan pimpinan fraksi tiap kali dalam sidang.

Modal sebagai artis sangat taktis, efektif dan efisien tanpa banyak keluar banyak anggaran finansial, hanya cukup tayang dalam layar kaca berkali-kali di acara hiburan atau mengaktifkan akun-akun media sosial yang sudah berjubel followers. Apalagi, ada cerita dari artis yang diposting media sosial bahwa saat artis menjadi wakil kepala daerah bercerita semua hajat hidupnya difasilitasi oleh anggaran, kerja ataupun tidak kerja semua fasilitas dan insentif berbagai varian surat perjalanan dinas.

Kenikmatan duniawi harta dan tahta yang menjelma dalam kesenangan material hal lumrah hingga langsung dapat dirasakan tanpa batas angka karena posisi sebagai wakil rakyat dan pejabat negara. Begitupun para artis, selama ini budaya dan lingkungan yang terbentuk sangat materialistik dan hedonistik. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka terjerat narkoba akibat efek lingkungan hedonis. Sehingga saat masuk dunia politik tidak terlalu jauh budayanya, karena lingkungan politik kekuasaan sangat identik materialis-transaksional.

Substansi lingkungan dunia hiburan relatif satu karakter dan ritmenya tidak terlalu jauh. Fakta sosial politik era pemerintahan Jokowi sangat ruang tersebut sangat terbuka lebar, awalnya artis hanya jadi objek politisi saat-saat menjelang pemilihan, bahkan diekploitasi untuk kebutuhan praktis-pragmatis.  Namun seiring waktu mereka para artis, tampaknya kepincut untuk masuk ruang politik dengan modal popularitas keartisannya.

Publik tidak melarang, namun fakta dalam dua periode kepemimpinan legislatif maupun eksektif berlatar belakang artis sangat tidak ada dampak baik terhadap kebijakan pemerintah yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat, justru yang terjadi mereka para artis yang menjadi pejabat terlihat semakin kaya raya.

Tahun politik era ini benar-benar tahun politik artis. Pasalnya, rata-rata figur artis meraih suara banyak pada pemilu legislatif di daerah hingga pusat. Saat ini sedang menjelang pilkada langsung, para artis pun banyak yang mencalonkan dan dicalonkan masuk bursa cagub, cawagub, cawalkot, cabup maupun cawabup. Hampir dipastikan di setiap provinsi seluruh wilayah Indonesia ada figur-figur artis yang dicalonkan.

Semoga ini bukan fenomena tanda-tanda situasi sosial politik dan alam demokrasi yang tidak berkualitas yang menuju kehancuran. Lima tahun ke depan saling mengawasi dan mengingatkan untuk kebaikan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. Aamiin. (*)

Bandung, September 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *