Pinjam Tangan Kotor Bersihkan Tangan Jahat: Belajar dari Upaya Menumbangkan Kezaliman Kertajaya

0
25
Pinjam Tangan Kotor Bersihkan Tangan Jahat: Belajar dari Upaya Menumbangkan Kezaliman Kertajaya. (Dok: historyofcirebon.id)

Oleh: Muhammad Abidulloh

KLIKMU.CO

Di bawah kekuasaan Jayabaya, Kerajaan Kediri sangat makmur, berperadaban tinggi dan maju, serta sangat berpengaruh. Terekam dalam catatan sejarah, kebesarannya mengalahkan kecemerlangan  Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan besar itu mengalami pasang surut, meredup, pada gilirannya runtuh dan berakhir, pada masa Kertajaya. Maharaja yang bergelar Prabu Dandang Gendis itu tumbang setelah gagal menghadapi pemberontakan. Perlawanan dahsyat dilakukan aliansi agamawan-kaum moralis, bergandeng tangan bahu-membahu bersama Ken Arok, penguasa Tumapel.

Pada masa Kertajaya, nafsu otoritarian mengantarkan perilaku kekuasaan, semakin jauh dari akal sehat dan hati nurani. Sang raja menempatkan diri sebagai penggenggam nilai-nilai kebenaran tunggal. Di tangan raja, kebaikan-keburukan, benar-salah, ditentukan.

Peran kaum brahman, agamawan, serta kaum moralis dalam memelihara nilai-nilai luhur disingkirkan. Penasbihan kekuasaan tertinggi dan absolut dilakukan dengan mengangkat dirinya sebagai Tuhan, sekaligus penggenggam nilai kebenaran. Kesesatan nalar itu semakin memuncak, ditandai dengan perintah kepada para resi, menyembah sang raja. Hukuman berat diterapkan kepada yang menolak titah.

Represi sangat keras diterapkan kepada kaum brahman, resi, pendeta, serta kaum moralis. Kerumitan itu menimbulkan reaksi perlawanan. Sudah tentu, realitas yang ada tidak memungkinan adanya perlawanan terbuka. Pun demikian, tekad bulat terjalin kuat dalam mengakhiri keangkuhan penguasa zalim.

Perjuangan kaum brahman mendapatkan momentumnya. Pada saat yang sama, ketemu dengan interseksi kepentingan, dalam menumbangkan Kertajaya. Gayung bersambut dari Tumapel, tanah perdikan otonom Kerajaan kediri. Terjalin koalisi yang diikat tujuan yang sama, memberontak penguasa. Jalinan aliansi itu begitu kuat, meski berlatar belakang alasan berbeda. Kaum brahman berkepentingan mengembalikan nilai moral ke jalan yang benar.

Sementara itu, Ken Arok memenuhi ambisi dalam menggapai kekuasaan yang lebih besar. Sangat disadari, kaum agamawan membutuhkan kekeuatan militer dalam perjuangan. Di sisi lain, Ken Arok membutuhkan legitimasi moral atas perjalanan karir hidupnya.

Ken Arok memikul beban historis yang tidak ringan. Beban sejarah itu tergambar dalam teori yang dikembangkan resi Loh Gawe. Dalam buku “Negara Kertagama” karya Empu Prapanca dikisahkan,  Ken Arok adalah titisan Dewa Wisnu, juga pengjawantahan Dewa Syiwa.

Teori “hubungan spiritual-mistik” itu berusaha menyingkirkan keraguan akan legitimasi anak Ken Umang itu. Dengan diterimanya teori, sebagai titisan dewa, maka tidak ada penghalang sebagai penerima “wahyu keprabon”, syarat mutlak sebagai penguasa tanah jawa. Begi Ken Arok, pengakuan  kaum Brahman sangat diperlukannya.

Dilihat dari latar belakangnya, terjalinnya koalisi itu terasa aneh dan penuh ganjalan. Kaum Brahman-agamawan sebagai pengemban nilai moral luhur. Teman koalisi yang dijalin, penguasa yang menggoreskan catatan penuh kontroversi.

Itulah realitas politik-perjuangan, yang seringkali dinamikanya sulit diduga dan ditebak. Perilaku politik tak jarang menjatuhkan pada pilihan utama, menggapai tujuan. Bahwasannya di sana-sini ada ganjalan dan halangan, sementara dikesampingkan, meski tidak dinafikan keberadaannya.

Perjuangan aliansi itu berhasil sukses, menyingkirkan keangkuhan Kertajaya dari kekuasaan. Kerajaan baru, matahari baru terbit sabagai Singasari yang megah penuh kejayaan. Kaum brahman-agamawan serta kaum moralis mendapatkan tempat yang layak, penuh kehormatan. Kaum brahman meminjam tangan kotor Ken Arok dalam membersihkan tangan jahat Kertajaya. Wallahu a’lam.

Muhammad Abidulloh
Praktis Dakwah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini