Politik bagi Perempuan Bukan Lagi Kewajiban, tapi Sudah Jadi Kebutuhan

0
27
Ketua Fraksi PDIP Jatim Siti Untari Bisono (kiri) berbagi pengalaman didampingi Ketua PWNA Jatim Desi Ratnasari. (Reza Rachmatika/KLIKMU.CO)

Malang, KLIKMU.CO – Berbicara tentang peran perempuan dalam politik ini merupakan suatu hal yang unik dan pengalaman yang berbeda jika dibandingkan dengan laki-laki.

“Jadi, penting bagi kita jika melihat peran perempuan dalam politik sudah tidak lagi menjadi suatu kewajiban, melainkan sudah menjadi suatu kebutuhan untuk kita,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur Desi Ratnasari dalam acara sarasehan bertajuk “Peran Penting Perempuan dalam Politik, Ahad (7/1/2024) lalu di Malang.

Menurut dia, sedikit sekali minat kader-kader Nasyiatul Aisyiah untuk terjun ke dalam politik.

Oleh karena itu Desi sangat berharap dengan adanya acara sarasehan ini bisa membangkitkan semangat mereka untuk terjun ke dunia politik.

Tidak Berhenti Hanya di Urusan Baju

Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP Jatim Siti Untari Bisono  menceritakan bagaimana awal mula dirinya bisa sampai terjun ke dalam dunia politik.

Dia sudah belajar organisasi sejak SD, yakni menjadi ketua kelas, sekretaris, Pramuka, OSIS, hingga ke perguruan tinggi menjadi Himpunan Mahasiswa (Hima) dan karang taruna.

Menurut dia, pergerakan perempuan Indonesia tidak hanya berhenti di baju. “Kebanyakan dari kita berhenti di baju, gelungan, sewekan, kebayaan, masak-masak, dan merias,” tutur anggota Komisi E DPRD Jatim itu.

Baginya, semua itu bukannya tidak penting. Akan tetapi, ketika 22 Desember saat Kongres Pertama Perempuan tahun 1928 tidak berbicara mengenai politik. Mereka berbicara tentang peran perempuan dalam dunia kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan.

“Itu mereka sudah menuntut hak-hak mereka untuk bisa masuk ke DPRD di masa Belanda. Bahkan hingga sekarang perempuan-perempuan ini juga masih menuntut hak-haknya,” tegasnya.

Untari juga menjelaskan, salah satu bentuk pergerakan perempuan yang nyata saat ini adalah pencegahan pernikahan di usia muda yang masih sering terjadi di Indonesia.

Bagi Untari, masih perlu adanya sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat akan dampak apa yang terjadi jika perkawinan anak masih marak terjadi.

Dalam sarasehan tersebut, Untari juga mengajak seluruh kader Nasyiah untuk membantunya mengampanyekan stop perkawinan anak dan stop bullying. Dia mengaku sudah berkeliling di hampir separuh kecamatan di Malang untuk mengampanyekan stop bullying dan stop perkawinan anak.

“Dalam hal ini siapa yang melindungi anak gadis kita, ibu kita, tentunya adalah negara,” ujar Untari.

Keterlibatan Perempuan Wajib

Untari kembali mengatakan akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik. Tujuannya agar negara tidak maskulin.

“Jadi, negara harus memperhatikan perempuan agar tidak maskulin,” ujar Untari.

Maskulin di sini maksudnya yaitu terlalu berorientasi pada model-model yang laki-laki sentris.

“Bagaimana laki-laki sentris itu?” tanya Untari kepada kader Nasyiatul Aisyiyah.

Misalnya, kalau mau rapat membawa anak tidak boleh. Dan negara sampai hari ini pun masih memegang patriarki dengan kuat sehingga kita menjadi warga negara kelas dua.

“Maka perjuangan kita bersama-sama mulailah dari dalam rumah dan janganlah menjadi kelas dua, tetapi jadilah setara dengan suami kita,” lanjut Untari.

(Reza Rachmatika/AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini