21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Politik Nirmoral, DPR Pembegal Konstitusi

Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

Tak ada habisnya bicara politik kekuasaan, selama negara tetap ada berdiri tegak. Hanya, sangat miris dan memilukan hati. Katanya demokrasi adalah solusi tatanan sebuah negeri menuju bangsa mandiri dan berdikari, namun sejak melihat dan merasakan dinamika demokrasi puluhan tahun lamanya masih jauh dari yang seharusnya.

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menjadi lingkaran dan siklus simbol kedaulatan rakyat yang lahir dari jelmaan demokrasi Indonesia yang dianut. Tampaknya, dari sekian negara-negara di belahan dunia yang melambat perkembangan dan kemajuannya, salah satunya Indonesia.

Bahkan, menjadi salah satu negara yang pejabatnya paling korup. Hal itu terlihat dan terbukti, yang menghiasi layar di media senter KPK hampir dipastikan para pejabat dan birokrat negara.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) entitas terhormat sebagai lembaga negara, sekaligus mewakili ratusan juta jiwa warga negara Indonesia, yang seharusnya mengawal dan menjunjung tinggi demokrasi di negeri ini. Sangat disayangkan, kerap kali lembaga tersebut terlibat “perselingkuhan” legislasi yang tidak membela rakyat, bahkan menindas rakyat. Mereka yang mewakili bergelimang harta dan kekayaan, entah dari mana harta tersebut semoga bukan dari merahnya darah rakyat yang diperas melalui berbagai jenis pajak.

Demokrasi Indonesia hanya dipenuhi basa-basi. Begitu pun konstitusi kadang sering lahir karena untuk menjaga kursi baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Entah sampai kapan negeri ini dipreteli dengan pembegal-pembegal konstitusi, suara rakyat hanya dijadikan sebagai hiasan demokrasi yang tak bernilai.

Gerakan aksi menjadi sebuah gertakan yang kadang berhenti seketika manakala sendi-sendi anggota tubuh yang terkilir akibat daya juangnya tidak kuat dan kokoh. Mampukah suara rakyat terus lantang tak mengenal berhenti.

Gerakan aksi tak boleh berhenti gegara sidang paripurna ditunda, dapat jadi mereka melanjutkan sidang tengah malam atau hari-hari lain saat rakyat lengah dan tidur. Jangan tanggung, boikot seluruh prolegnas yang tidak prorakyat untuk minta dibatalkan.

Pimpinan DPR dibuat untuk membuat pernyataan resmi dan terbuka pembatalan seluruh prolegnas inkonstitusional dan yang terindikasi tidak berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara, serta rakyat Indonesia.

Berwarna-warni jas almamater berbagai perguruan tinggi menjadi simbol gerakan moral yang merepresentasikan kelompok masyarakat kritis, patut dan layak menjadi lokomotif gerakan perubahan sebenarnya bukan hanya omon-omon. Cawe -cawe para pengkhianat rakyat yang duduk di kursi kekuasaan harus diberantas hingga ke akar-akarnya, tentu tidak dengan kata-kata melainkan dengan aksi nyata membuat kekuatan yang dibangun jauh-jauh hari dengan perencanaan pasti.

Kesadaran masyarakat harus diedukasi, akademisi harus melawan kerangkeng penyanderaan karir struktural dan fungsional yang mudah terkilir. Berpikir dan bersikap mahasiswa benar-benar dibuat kritis, bukan karakter lebay dan melankolis. Sedikit-sedikit menangis gegara UKT, akhirnya beasiswa dijadikan alat untuk menyanderanya. Padahal, beasiswa bukan milik penguasa melainkan milik negara dari rakyat untuk rakyat.

Jas almamter warna merah, kuning, hijau biru, jingga dan warna lainnya menjadi saksi sikap kritis. Dari sejarah masa lalu hingga saat ini mahasiswa tetap simbol perlawanan tirani dan kedzaliman penguasa.

Belum lama beberapa pekan yang lalu, tirani kekuasaan di Bangladesh ditumbangkan oleh rakyatnya. Salah satu kunci gerakan tersebut melainkan gerakan aksi mahasiswa yang terstruktur dan terukur. Di Bangladesh saja dapat dilakukan walaupun ada perlawanan dari kelompok kekuasaan, namun jika aksinya terus-menerus tak berhenti hingga terjadi penurunan paksa penguasa tiran beserta kroninya.

Sementara di Indonesia hanya persoalan mendesak parlemen untuk mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Keputusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 tentang Pilkada Langsung. Sidang ditunda karena tidak kuorum, namun di luar gedung Senayan gemuruh demonstran menekan wakil rakyat untuk mengikuti keputusan tersebut di atas.

Di pengujung akhir kekuasaan Jokowi, jika sandiwara atau drama politik ini bagian dari rencana besar oligarki, hati nurani rakyat yang sangat tersiksa dengan berbagai kebijakan yang banyak tidak prorakyat, dan sangat terzalimi akan memengaruhi keberpihakan pemilik alam semesta untuk mengabulkan segala permintaan doanya.

Aksi gerakan heroik para mahasiswa dari berbagai daerah hingga di ibu kota secara serentak membuat Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad langsung membatalkan agenda pembatalan keputusan MK yang sebelumnya akan dibajak. Dengan komando moral, seluruh entitas mahasiswa mengepung gedung parlemen di Jakarta maupun gedung dewan daerah menyuarakan satu kata lanjutkan keputusan MK  Nomor 60 sebagai dasar yuridis Pilkada Langsung 2024.

Namun, setelah pernyataan penundaan disiarkan para demonstran tidak lantas bubar jalan dikarenakan khawatir terjadi tindakan manipulasi situasi oleh anggota parlemen di Senayan. Hingga menjelang malam para demonstran mahasiswa masih bertahan terus sebelum ketok palu keputusan resmi.

Tidak masuk akal dan irasional alasan DPR bersikeras membatalkan keputusan MK hal ihwal pilkada, apa niat buruk mereka terhadap agenda serentak pilkada sehingga sangat khawatir dengan keputusan tersebut. Bau menyengat tidak sedap tercium, ada indikasi ruang demokrasi akan terus dipreteli hingga kekuasaan akan diambil alih hingga ke tingkat daerah seluruh Indonesia. Kekuasaan dengan sistem partai selama ini sangat dirasa tidak menjadi entitas mencerdaskan, melainkan justru semakin membodohi.

Benar dan terbukti ampuh momentum keputusan MK nomor 60 saat akan dibajak DPR, akademisi perguruan tinggi turun gunung dari komunitas dosen dan guru besar benar-benar berpihak pada nalar intelektual yang sehat dapat mampu memberi inspirasi dan melegitimasi mahasiswa berani lantang bersuara. Kenapa hal ini tidak terjadi sebelum-sebelumnya, padahal banyak beberapa regulasi yang sangat merugikan negara dan rakyat.

Sebut saja UU Cipta Kerja, yang sangat kontroversial melenggang hingga disahkan padahal isinya banyak yang rancu dan juga sangat merugikan tenaga kerja hingga membunuh masa depan karyawan di beberapa perusahaan swasta.  Kebiasaan buruk melegalkan UU sering silent atau senyap-senyap hingga tak terdengar suaranya saat mengetuk palu keputusan saat  sidang paripurna. 

Konstitusi hasil dari demokrasi tak bertepi hingga kini, justru yang terjadi pembegalan konstitusi hampir saja terlewati. Alhamdulillah ala kulli hal, saat menjelang ketok palu gerak cepat aksi nyata rakyat Indonesia yang dimotori masyarakat terpelajar. Mahasiswa di berbagai kampus turun ke jalan, bersuara untuk menyelamatkan konstitusi.

Separah inikah bangsa dan negara kita, konstitusi untuk kepentingan rakyat banyak sangat mudah diutak-atik dalam waktu yang sangat singkat. Hal itu menjadi kebiasaan buruk pejabat dan birokrat bangsa Indonesia, “sengene” atau “saenake dewe”  negara ini seperti milik nenek moyangnya.

Tradisi menyandera elit-elit bangsa atau tokoh partai tidak disadari, sehingga pada saat-saat tertentu hal demikian menjadi “kartu as” bagi pemegang kekuasaan. Tentu pola itu bukan sekedar trik biasa, melainkan gaya baru penguasa tiran untuk membelenggu dan mengikat elit untuk dijadikan kekuatan pelanggengan kekuasaan.

Sungguh berat bangsa Indonesia keluar dari jeratan oligarki, sudah terlalu lama dan mengakar hingga menjadi karakter dan budaya berbangsa dan bernegara.  Terlebih saat ini, panggung kekuasaan seolah dan terkesan ada dalam genggaman satu keluarga. Partai-partai besar pun tak berdaya, apalagi yang kecil sudah dianggap tidak ada keberadaannya.

Sekarang berharap kepada siapa lagi, ormas-ormas pada umumnya justru menjadi kepanjangan tangan kekuasaan. Bahkan tidak tanggung-tanggung menjadi “bemper” penguasa, hal itu pernah ada lontaran dari sebuah ormas kepemudaan sempat beredar di media sosial, sadurannya kurang lebih begini “siapa saja yang menghina dan mengganggu raja, maka hal itu telah mengganggu institusi kita”. Makna kalimat tersebut menunjukkan sudah tidak ada lagi kontrol sosial yang sehat terhadap kekuasaan.

Hanya kepada engkaulah wahai para mahasiswa kami bersandar, bangunlah dan bangkitlah kaum terpelajar untuk terus mengawal demokrasi hingga negeri ini loh jinawi. Wallahu’alam. (*)

Bandung, Agustus 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *