Presiden Petugas Partai Memang Amanat Konstitusi

0
44
Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Saatnya Muhammadiyah dan NU kembali mengambil peran politik kebangsaan. Sebab, rakyat hilang daulat. Negara tanpa haluan. Bangsa nirfalsafah.

Informasi obyektif dan akurat menyangkut kepolitikan nasional sangat penting bagi warga Muhammadiyah dan NU untuk mengimbangi berbagai informasi dari berbagai sumber berita. Dengannya lahir politik sehat. Rasional.

Berita politik yang diterima harus sahih, sebagaimana warga Muhammadiyah dan NU sangat selektif dan hati-hati menerima hadits dan berita dari nabi saw. Kepolitikan jamaah Muhammadiyah harus elegan, dewasa, dan terukur sebagai manifestasi umat terbaik (khairu ummah), umat tengahan yang adil dalam bersikap.

Semenjak reformasi yang ditokohi Pak Amien Rais, puncaknya amandemen UUD 45, maka kedaulatan rakyat telah hilang.

Diambil alih partai politik sebagai pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Haluan negara pun raib ditelan reformasi.

Demokrasi transaksional terus menguat bahkan cenderung melahirkan kebebasan politik tanpa batas. Alih-alih bicara kesejahteraan rakyat, para politisi hanya sibuk mempertahankan kekuasaan, saling berebut tanpa etika dan adab yang harusnya dijunjung. Politik menjadi panglima. Kesejahteraan rakyat dibenam. Keadilan sosial tinggal mimpi.

Amandemen melahirkan liberasi politik. Presiden bukan lagi mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat, tapi menjadi petugas partai, adalah sindiran Megawati terhadap konstitusi yang bobrok karena banyak menyimpang. Megawati hendak mengingatkan betapa bahayanya alam demokrasi pasca amandemen itu.

Presiden bukan lagi mandataris MPR jelmaan rakyat, tapi petugas partai, itulah amanat konstitusi. Kepada siapa presiden bertanggung jawab? Bukankah kedaulatan MPR telah bubar karena kewenangan yang sudah dipreteli. Ini adalah petaka demokrasi Pancasila.

Tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban yang mengatur kinerja presiden. Musyawarah Akbar atau Sidang Umum MPR sudah tiada. Negara tanpa haluan. Tidak ada logi haluan negara agar para presiden dan pembantunya tidak menyimpang. Bikin program berdasar keinginan bukan kebutuhan rakyat.

Semua berlangsung bebas atas nama rakyat. Inilah hasil reformasi yang dibanggakan itu .. ini dosa besar. Siapapun pelakunya bakal menerima royalti dari setiap keburukan yang dialami bangsa ini.

Reformasi mengambil keburukan sistem sosialis ekstrem di mana suara rakyat dianggap suara Tuhan. Dan mengambil kebebasan liberal di mana kebebasan tanpa batas menjadi taghut atas nama demokrasi. Dan semua carut marut ini bermula ketika MPR mengamandemen UUD 45.

Dasar dasar politik ini sangat penting sebelum ribut bicara siapa capres yang bakal dipilih seperti buih terombang-ambing oleh informasi politik pecah belah.

Muhammadiyah dan NU mengambil peran kebangsaan yang strategis dan efektif, mengoptimalkan sumber daya politik yang berlimpah menjadi sebuah kekuatan politik yang dihitung, bukan sekedar timun wungkuk jogo imbuh. Adanya tidak menggenapi. Tidak adanya tidak membuat ganjil. Semacam wujudihi ka adamihi. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini