Oleh: Budi Nurastowo Bintriman
KLIKMU.CO
Beberapa perguruan tinggi terbesar di Indonesia semisal UGM, UI, IPB, Unpad, Unhas, dan lain-lain sudah menyatakan keprihatinannya terkait akumulasi pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang ugal-ugalan, menabraki koridor demokrasi dan konstitusi. Semangat anti atau pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai roh reformasi 1998 telah dikubur dalam-dalam oleh rezim Presiden Joko Widodo.
Fenomena tersebut di atas dipastikan akan menjadi pemantik bagi gelombang keprihatinan perguruan-perguruan tinggi lainnya atau berikutnya. Dan pertimbangan gelombang keprihatinan susulan itu dipastikan didasarkan pada alasan objektif, rasional, dan demi kemaslahatan bangsa. Untuk di lingkungan Muhammadiyah, setidaknya UMY dan UMS sudah memublikasikan rencana pernyataan keprihatinan tersebut.
Namun, tiba-tiba Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Bambang Setiaji muncul di TikTok berseru kepada (para rektor) Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTM-PTA) agar berlaku bijaksana dalam menyatakan keprihatinannya. Praktik komunikasi yang beliau lakukan sedemikian itu terasa sangat janggal. Bahkan isi seruannya (materi) juga terasa ada yang janggal. Ada apakah gerangan?
Kejanggalan pertama, patutkah komunikasi di level atas Persyarikatan antara Ketua Majelis Diktilitbang dengan para rektor diungkapkan melalui unggahan video TikTok berdurasi 1 menit 13 detik? Di samping hal itu belum pernah terjadi sebelum-sebelumnya, juga akan menjadi preseden buruk bagi mekanisme atau prosedur komunikasi antarpara elite formal di level atas Persyarikatan. Alangkah bijaksana jika materi komunikasi yang demikian itu tidak menjadi konsumsi publik.
Kejanggalan kedua, organisasi sebesar Muhammadiyah dan sesolid Muhammadiyah serta secerdas Muhammadiyah sangat tidak layak memublikasikan seruan “penyeragaman” sikap keprihatinan dari pimpinan struktural di majelis kepada para rektor yang notabene sebagai insan cerdas dan tercerahkan. Ini pasti justru akan menimbulkan kesan negatif bagi warga Muhammadiyah di level menengah dan bawah.
Kejanggalan ketiga, secara materi, Prof Bambang Setiaji menyerukan agar pernyataan sikap keprihatinan PTM-PTM atau PTA-PTA jangan sampai terkesan memihak pasangan calon tertentu. Sekali lagi, seruan yang demikian itu di ranah publik bisa dimaknai beragam. Salah satunya bahwa Prof Bambang Setiaji merendahkan martabat perguruan tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah secara umum. Dan secara khusus, beliau merendahkan marwah para rektornya.
Kejanggalan keempat, secara materi, Prof Bambang Setiaji membatasi tema sikap pernyataan keprihatinan hanya pada kepedulian pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Di titik ini, beliau jadi tidak mencerminkan gambaran seorang cendekiawan. Karena kita semua tahu bahwa fenomena gelombang sikap pernyataan keprihatinan utamanya disebabkan oleh ugal-ugalannya rezim Presiden Joko Widodo dalam menyelenggarakan pemerintahan. Maka, warga Muhammadiyah justru jadi bertanya-tanya, adakah pihak luar yang mengintervensi beliau?
Analisis lebih jauh dari warga adalah, tema keprihatinan tentang ugal-ugalannya rezim Presiden Joko Widodo sangat erat kaitannya dengan pasangan calon nomor 02 (Prabowo-Gibran). Kita semua tahu, ada hubungan yang sangat spesial antara pasangan calon 02 dengan Presiden Joko Widodo. Maka, warga kemudian melanjutkan pertanyaannya yang kira-kira demikian, apakah pihak yang mengintervensi beliau adalah pihak dari kubu pasangan calon 02, yang notabene proxy dari rencana perpanjangan kekuasaan Joko Widodo tiga periode?
Kejanggalan kelima, pada saat yang hampir bersamaan dengan munculnya video TikToknya Prof Bambang Setiaji, sivitas akademika UMY menyatakan sikap keprihatinan, yang terdiri atas enam poin. Di mana nada poin-poinnya lebih cenderung mengikuti irama seruan beliau di TikTok. Namun, di sisi lain, pernyataan Guru Besar Akif Khilmiyah di luar enam poin petisi sangatlah keras terhadap situasi politik dan hukum di masa rezim Presiden Joko Widodo ini.
Prof Akif Khilmiyah menyatakan bahwa eskalasi pelanggaran konstitusi dan hilangnya etika bernegara berlangsung terus-menerus tiada henti. Bagi Akif Khilmiyah, para penguasa negeri ini tak peduli terhadap nasib rakyat yang tereliminasi oleh oligarki. Mereka malah sibuk memburu kekuasaan dan berambisi mempertahankannya hingga turun-temurun. Fondasi bernegara sudah rapuh secara sempurna, karena eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah gagal menunjukkan keteladanan bernegara dan telah gagal mematuhi prinsip-prinsip konstitusi. Hal itu jelas-jelas berlawanan dengan seruan Prof Bambang Setiaji.
Lebih lanjut, Prof Akif Khilmiyah memerinci kerapuhan fondasi bernegara pada tiga pilar demokrasi itu. Menurutnya, para penguasa (eksekutif) sangat doyan korupsi. Parlemen atau DPR (legislatif) tak berfungsi sebagai pembela anak-anak negeri. Mahkamah Konstitusi (yudikatif) tak punya etika dan harga diri. Dan KPK (hukum) hanya bagaikan macan ompong setelah beberapa kewenangannya dikebiri.
Begitulah pintarnya UMY menyiasati seruan Prof Bambang Setiaji selaku Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. Enam poin petisi UMY di atas kertas terkesan “tunduk” kepada Prof Bambang Setiaji. Namun, pernyataan Prof Akif Khilmiyah di luar petisi, tetap keras dan garang dalam mengkritisi rezim Presiden Joko Widodo yang ugal-ugalan (inkonstitusional dan menabraki prinsip-prinsip demokrasi). Maka, kemungkinan besar, pola demikian inilah yang akan diambil oleh UMY ataupun PTM dan PTA berikutnya.
Maka, secara substansial, seruan Prof Bambang Setiaji lewat unggahan video di TikTok itu adalah blunder. Itu justru mengesankan bahwa beliau atau majelisnya sepertinya sedang terjebak dalam kubangan kubu pasangan calon tertentu. Itu justru mengesankan bahwa relasi antarlini di Muhammadiyah kurang solid. Dan itu justru mengesankan bahwa komunikasi di level atas Persyarikatan ternyata agak kedodoran. Semoga hal ini menjadi pelajaran berharga. Wallahu a’lam bishshawwab…
Budi Nurastowo Bintriman
Mubaligh akar rumput Persyarikatan, pengasuh anak yatim, miskin, dan telantar, ber-NBM 576.926