Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Setiap akhir tahun ajaran akademik, sibuknya tidak karuan bagi para penyelenggara pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Khususnya tingkat dasar menengah kelas akhir masa studi peserta didik yang disibukkan dengan ujian akhir. Sekalipun dalam dua tahun ini tidak dibebani harap-harap cemas menghadapi ujian nasional yang sering menjadi momentum cukup menyeramkan.
Saat beberapa tahun belakangan ini, minat generasi bangsa yang lulus dari sekolah atau madrasah tingkat atas untuk melanjutkan terus meningkat. Apalagi sejak ada program bidik misi yang sekarang lebih dikenal dengan kartu indonesia pintar di mana program tersebut membantu anak bangsa yang berprestasi dan berpotensi. Hanya saying, dalam praktiknya masih terdapat pola dan manajemen penyelenggaraannya terkesan sangat seadanya asal-asalan tanpa ada evaluasi menyeluruh.
Terlebih saat ada kebijakan perguruan tinggi negeri dengan PTNBH yang dalam praktiknya menjadikan perguruan tinggi negeri bak industri bisnis. Padahal dasarnya lembaga pendidikan sebagai lembaga nobel industry yang memfasilitiasi manusia untuk mendapatkan ilmu dan wawasan sebagai bekal hidup lebih baik. Adapun kewajiban pembiayaan semuanya ditanggung pemerintah yang dikreat dari sumber daya alam milik pemerintah.
Namun faktanya pendidikan kita baru didapat gratis hanya tingkat dasar dengan kontrol dan pengawasan kualitas asal-asalan pula, sekedar memenuhi syarat dan akhirnya banyak orang tua “terpaksa dan memaksakan ” diri mencari sekolah yang serius memberikan pelayanan pendidikan anak-anaknya yang lebih serius.
Begitu pula pendidikan tinggi gegara ada kebijakan PTN badan hukum tidak terasa telah membungkam sikap peduli dan peka pada dunia pendidikan. Karena PTN badan hukum penyelenggaraannya hanya dapat dinikmati sekelompok anak-anak keluarga menengah keatas, baik secara ekonomi maupun status sosial.
Jangan aneh yang bodoh makin bodoh, dan berdampak pula secara tidak langsung yang kaya makin kaya karena yang dapat menikmati dan mengakses cepat dan lebih banyak diantara mereka yang tergolong memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dan kemampuan ekonomi di atas rata-rata juga. Seharusnya bangsa ini memberikan pelayanan pendidikan tinggi gratis atau minimal murah karena sumber dayanya di negeri ini sangat melimpah dan subur, dari hasil kerukan dalam perut bumi ibu pertiwi rasanya cukup membiayai pendidikan anak negeri hingga perguruan tinggi.
Lagi-lagi kebijakan pendidikan tinggi semakin tidak peduli pada anak negeri sejak ada ujian mandiri, dirasakan sangat memberatkan dan memberikan rasa putus asa bagi rakyat berpenghasilan rendah karena ada dana pengembangan kampus atau sumbangan pengembangan institusi (SPI) belasan juta hingga puluhan juta, bahkan ada yang hingga ratusan juta. Sangat keterlaluan, di mana rasa kepekaan dan kepedulian pejuang pendidikan Indonesia?
Perguruan tinggi negeri semua instrumenya dibiayai negara mulai dari sarana prasarana, tenaga kependidikan dan tenaga pendidik semua dibiayai negara. Ada yang lebih jahat dan zalim, perilaku pimpinan perguruan tinggi bergelar akademik tertinggi berjamaah melakukan “rasuah” dalam rekruitmen mahasiswa baru melalui jalur mandiri.
Hapuskan kebijakan pendidikan yang tidak mendidik, rombak sistem kebijakan pendidikan yang menimbulkan terbukanya ruang koruptif dan kolutif. Membombardir data pendidikan yang rentan “tergadaikan” melalui ganti-ganti sistem digital dengan dalih meningkatkan kualitas, namun faktanya hanya membebani operator bongkar pasang data yang akhirnya data-data sumber daya manusia berceceran, apakah digitalisasi yang dipakai oleh pemegang kebijakan sebuah kemajuan?
Dirasa dengan kasat inderawi tidak lebih hebat melainkan banyak menyita waktu yang tidak produktif dan tidak mendidik lebih baik. Buktinya tidak berbanding lurus dengan kemajuan teknologi yang masih membeli dan menyewa pakar-pakar orang asing dengan alasan transfer pengetahuan dan teknologi. Mana efek dan dampak PTN badan hukum melahirkan generasi anak bangsa yang akseleratif membangun bangsa, dengan puluhan hingga ratusan miliyar dianggarkan setiap tahunnya untuk peningkatan mutu lulusan. Yang ada para birokrat kampus pada kaya raya bersaing dengan pejabat dan birokrat yang ada dilingkungan pemerintahan.
Keberatan sekali dana dan biaya sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang dikeluarkan oleh pihak perguruan tinggi, belum juga sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) setiap semester yang jumlahnya berlipat dari biaya untuk mahasiswa yang menggunakan kartu Indonesia pintar atau KIP. Akhirnya quota KIP sangat terbatas dan dibatasi oleh penyelenggara pendidikan tinggi negeri karena dianggap dana dari beasiswa tersebut tidak memnuhi standar biaya pembinaan pendidikan.
Program Indonesia Pintar hanya untuk citra dan pencitraan, pada implementasinya belum ada yang mengevaluasi secara rinci dan detail sehingga teridentifikasi letak kekurangan dan kelemahannya. Wajar saja saat ini, program tersebut seolah hanya dolanan yang cukup pada laporan portofolio administrasi belaka. Sekalipun ada efek dan dampak dicari output dan outcome setiap individu yang benar-benar telah sukses dari hasil program tersebut, bahkan sangat mungkin direkayasa yang penting bapak asal senang dan bahagia.
Pendidikan tinggi negeri hari ini tidak peduli, apalagi yang masih menerapkan seleksi masuk melalui kebijakan ujian mandiri yang berorientasi memanfaatkan kebijakan untuk mengumpulkan pundi-pundi. Sekalipun juga ada perguruan tinggi negeri tidak melakukan pemungutan dana SPI, ternyata sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP lebih besar dari pada jalur diluar mandiri, boleh dikatakan tidak ada bedanya.
Sistem seleksi masuk mahasiswa seperti harga yang diperjualbelikan di minimarket, dibanderol tidak ada istilah tawar-menawar. Suka silahkan beli, tidak suka jangan beli. Kami tidak peduli apapun yang terjadi, yang penting barang kami habis terbeli tanpa ada embel-embel diluar kebijakan transaksi.
Jika dibandingkan dengan Uni Emirat Arab, pelayanan sejak dalam kandungan hingga lahir sudah diberikan jaminan, baik pendidiikan dari prasekolah, dasar, menegah pertama dan atas, hingga perguruan tinggi. Saat menikah pun mendapatkan insentif, padahal di negara tersebut tanahnya hanya gurun pasir tak sesubur tanah air Indonesia. Pasti saat dibandingkan seribu alasan dicari untuk melegitimasi argumentasi.
Kita berharap kepada para penggerak dan praktisi pendidikan tinggi dapat bersuara sesuai kemampuannya untuk mengingatkan sikap abai terhadap kepekaan dan kepedulian pada anak negeri. Kian hari semakin mahal untuk mendapatkan ilmu yang mumpuni, SPP dan SPI sangat memberatkan bagi kebanyakan masyarakat, sekalipun mereka dapat bayar karena hutang sana-sini hanya demi sibuah hati. Menggunakan sistem dan pola menghitung klaster UKT pun ternyata belum komprehensif, cara dan rumus menghitung golongan UKT masih harus diperbaiki dan dievaluasi.
Kepedulian PTN badan hukum masih menara gading, kontribusi pengembangan sumber daya manusia masih jauh dari harapan sebenarnya, tidak sedikit bahkan relatif banyak melahirkan dan menciptakan, 1). orang-orang elit yang elitis, 2). Orang-orang cerdik yang mencekik, 3). Orang-orang cerdas yang memeras, 4). Orang-orang hebat yang khianat, dan 5) Menjadikan seorang pejabat dan teknokrat yang menipu rakyat.
Entah kapan negara muslim terbesar dengan kekayaan sumber alam hayati tiga terbesar didunia masyaallah tabarakallah, nikmat mana yang engkau dustakan.Hamparan hijau alam Indonesia bak permadani, apapun tanamannya semua dapat tumbuh dan isi dalam perut bumi banyak gas, tambang dan bermacam jenis mineral yang bernilai guna untuk kehidupan manusia hingga dunia ditelan masa. Semoga tidak perguruan tinggi negeri maupun swasta tidak berdiam diri dimenara gading. Wallahu’alam. (*)
Bandung, Mei 2023
Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, anggota PWM Jawa Barat Periode 2022-2027.