Public Trust dalam Rencana Pemerintah Kelola Zakat ASN

0
1128

KLIKMU.CO

Wacana Menteri Agama RI Lukman Hakim Syaifudin yang mengharuskan PNS membayar 2,5% untuk zakat menuai pro dan kontra. Alih-alih ingin memaksimalkan potensi zakat yang nilainya ratusan triliun, justru ide tersebut memantik kontroversi.

Rencana ‘discount’ gaji tersebut akan digunakan pemerintah untuk menangani sejumlah masalah kerakyatan berupa pemberdayaan fakir miskin, pendanaan pembangunan infrastruktur, dan sejumlah masalah lain.

Sebulumnya, pemerintah telah menerapkan regulasi bagi PNS dikenakan pajak melalui PPh pasal 1,5 % yang pengelolaannya langsung masuk ke negara melalui kantor perpajakan. Kali ini, lebih bersifat khusus, yakni para abdi negara (PNS) muslim di bawah sejumlah Kementerian.

Secara moral, sesungguhnya tanpa ada pemotongan dari pemerintah, kewajiban zakat bagi setiap muslim sudah merupakan perintah agama, baik PNS maupun NOn-PNS, tanpa ada intervensi atau paksaan dari pihak manapun, melainkan tanggung jawab sebagai makhluk (hamba) kepada sang Khaliq (Pencipta).

Meski belakangan Menag memberikan klarifikasi bahwa tidak ada kewajiban bagi yang keberatan, toh bola isu terlanjur dilempar ke publik dan bergulir ke berbagai arah. Bisa jadi, Menag tiba tiba ingat sebuah ayat dalam Kitab Suci: “Laa ikraha fiddiin” dengan makna “tiada paksaan untuk beragama,” sehingga, cepat-cepat ia memberikan klarifikasi.

Secara fungsi dan kebermanfaatan, tentu bagi muslim tidak ada persoalan uang zakat digunakan untuk umat, apalagi kebermafaatan yang lebih besar menyangkut kepentingan fakir miskin. Masalahnya, treck record pemerintah belum mendapatkan kepercayaan (trust) yang menggembirakan dari masyarakat dalam mengelola dana umat. Setidaknya, sejumlah kasus pengemplangan pajak oleh oknum pegawai pajak jelas masih membayangi kehawatiran publik. Apalagi, nilainya cukup fantastis.

Jika dicermati, terbaca jelas lemabaga amil zakat ‘swasta’ cukup mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, sementara lembaga amil zakat pemerintah relatif lebih rendah ‘pendapatannya,’ meski trennya naik. Sebut saja Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) yang pada tahun 2017 berhasil menghimpun ZIS dan dana keagamaan lain sebesar sekitar Rp 680 miliar, melampaui target 500 milliar. (Republika , 4 Januari 2018). Sementaara, amil zakat lain Rumah Zakat (RZ) juga menargetkan angka 1 triliun di tahun 2017.

Sedangkan, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Melalui berbagai inovasi dan peningkatan layanan selama 2017 baru berhasil menghimpun dana zakat, infak, dan sedekah sebesar Rp155 miliar.(KABAR24)

Masalahnya, PNS yang selama ini telah menyalurkan zakat secara pribadi ke sejumlah lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh sejumlah ormas Islam tentu tidak mudah beralih ke lembaga lain. Sebut saja, Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU), YDSF, Nurul Hayat, Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU), Rumah Zakat, PKPU, Yatim Mandiri, dan lainnya yang dalam sepuluh tahun terakhir mengelola dana umat beromset miliaran hingga triliunan rupiah.

Potongan donasi 2,5% dari gaji sekitar 4 Juta PNS wacananya akan dikelola oleh Baznas meski masih memerlukan kajian lebih lanjut. Meski tidak ada kewajiban, tapi nuansanya sudah greget dan segera diberlakukan. Apalagi, pimpinan sejumlah komisi di DPR mendukung usulan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) agar gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dipotong langsung untuk zakat. Dukungan ini diberikan karena raihan zakat sepanjang tahun lalu baru Rp 6 triliun dari potensi sekitar Rp 217 triliun.

Dari potensinya, tentu nilai donasi yang bisa terkumpul sungguh sangat fantastis, sehingga jika bisa dikelola dengan baik akan mampu membantu menyokong program pemerintah dalam menjawab sejumlah persoalan bangsa.

Jika regulasinya belum tuntas dan masih perlu kajian mendalam, mengapa pemerintah tidak membebaskan pembayaran zakat kepada lembaga amil zakat ‘swasta’ untuk mengelola dan mengumpulkan donasi dari sekitar 4 Juta PNS muslim. Toh, mereka sudah jelas cukup profesional dan telah mendapatkan audit keuangan dari lembaga yang kompeten, sehingga, cukup mendapatkan trust dari masyarakat. Soal kebutuhan pemerintah agar bisa memanfaatkan donasi untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan fakir miskin tinggal melakukan koordinasi dengan pola sharing atau sesuai kesepakatan.

Poin pentingnya, pemerintah bisa memaksimalkan pengumpulan donasi untuk menjawab sejumlah problem negara, sekaligus bersinergi dengan lembaga ‘milik’ masyarakat, sehingga masyarakat juga punya andil untuk mengawal dan mengawasi dana umat dan pemerintah telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Moh. Roissudin, M.Pd.
Pengurus LAZISMU Kabupaten Nganjuk

Surabaya, 8 Februari 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini