Pujian: Refleksi atau Jebakan?

0
11
People Giving Thumbs-up

Oleh: Fathan Faris Saputro, anggota MPI PCM Solokuro Lamongan

Di sebuah desa kecil, tinggallah seorang pemuda bernama Damar. Ia dikenal sebagai orang yang rajin dan pandai, membuatnya sering mendapatkan pujian dari tetangga dan teman-temannya.

Setiap hari, ucapan “kamu hebat” atau “kamu luar biasa” menghiasi langkah-langkahnya. Awalnya, pujian itu seperti angin sejuk yang menghembuskan semangat dalam dirinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, Damar mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Setiap kali ia mendengar pujian, hatinya mulai dipenuhi kebanggaan yang tak terkendali.

Ia merasa bahwa dirinya memang luar biasa, dan tanpa sadar, pujian-pujian itu membentuk citra diri yang baru. Damar tak lagi merendah, ia mulai menganggap dirinya lebih baik dari yang lain.

Suatu hari, ketika Damar diundang untuk memberi ceramah di hadapan para pemuda desa, ia merasakan tekanan yang tak biasa. Ia terbiasa mendapatkan pujian, sehingga harapannya semakin tinggi terhadap kesuksesan dirinya.

Namun, di tengah pidatonya, ia mulai merasakan kegelisahan. Tidak ada yang memberinya tepuk tangan sekeras yang biasa ia terima, dan itu membuatnya goyah.

Setelah acara berakhir, seorang tetua desa mendekati Damar dan berkata, “Anak muda, pujian itu seperti cermin. Jika digunakan untuk melihat dirimu, kamu akan belajar. Namun, jika terlalu lama memandangnya, kamu bisa terjebak dalam ilusi.”

Kata-kata itu menghentak Damar. Ia sadar, selama ini ia terlalu sibuk mendengar pujian hingga melupakan siapa dirinya sebenarnya.

Damar kemudian merenungkan hidupnya. Ia menyadari bahwa pujian yang diterimanya seharusnya menjadi cerminan untuk introspeksi, bukan sebagai bahan untuk meninggikan diri.

Ketika ia mulai mengembalikan fokus pada pengembangan diri tanpa berharap pujian, ia menemukan ketenangan yang berbeda. Pujian tidak lagi menjadi tujuan, melainkan hanya bonus dalam perjalanan hidupnya.

Sejak hari itu, Damar berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga hatinya dari jebakan pujian. Ia tetap bekerja keras, namun tidak lagi bergantung pada pengakuan orang lain.

Ia belajar bahwa hakikat diri tidak bisa ditentukan oleh kata-kata manis, melainkan oleh ketulusan dan kejujuran dalam berkarya. Pujian hanyalah bayangan, dan hakikat diri sejati ada dalam tindakan nyata.

Waktu berlalu, dan Damar semakin bijaksana dalam menyikapi pujian. Kini, setiap kali seseorang memuji hasil kerjanya, ia tersenyum dan berterima kasih, tetapi hatinya tetap tenang.

Damar belajar bahwa pujian, meski terdengar menyenangkan, tidak boleh menjadi satu-satunya penilai atas siapa dirinya. Ia menemukan bahwa pencapaian sejati adalah ketika ia bisa berdamai dengan diri sendiri tanpa bergantung pada penilaian orang lain.

Suatu hari, Damar bertemu dengan sahabat lamanya, Fajar, yang baru saja meraih kesuksesan besar di kota. Fajar menceritakan bagaimana dirinya menerima banyak penghargaan dan sanjungan dari berbagai pihak.

Namun, di balik senyum kemenangan itu, Damar dapat melihat keraguan dalam mata Fajar. “Aku merasa kosong, Dam. Pujian itu menyenangkan, tapi aku tidak tahu lagi siapa diriku tanpa mereka,” ungkap Fajar dengan lirih.

Mendengar itu, Damar teringat pada dirinya sendiri beberapa tahun lalu. Ia pun berkata, “Pujian itu bisa menyesatkan kalau kita tidak hati-hati. Kita sering terjebak untuk terus memuaskan harapan orang lain, sampai kita lupa pada keinginan dan nilai-nilai kita sendiri.”

Fajar terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Damar. Ia menyadari bahwa pujian yang selama ini ia kejar, sebenarnya adalah jebakan yang perlahan-lahan memenjarakan hatinya.

Dari perbincangan itu, Damar dan Fajar sepakat untuk mulai mencari kembali jati diri mereka. Mereka ingin kembali ke hakikat awal perjuangan, yakni bekerja dengan penuh keikhlasan tanpa terbuai oleh pujian semata.

Keduanya mulai menyadari bahwa pencapaian yang tulus datang dari kerja keras, kejujuran, dan dedikasi. Pujian adalah pantulan dari apa yang telah dilakukan, bukan tujuan akhir yang harus dikejar.

Damar menyadari bahwa kehidupan adalah perjalanan panjang yang penuh dengan pujian dan kritik. Keduanya perlu disikapi dengan bijak, karena keduanya bisa menjadi cermin sekaligus jebakan.

Damar memilih untuk selalu mengingat kata-kata tetua desa itu: “Lihatlah dirimu dengan jujur di cermin, tapi jangan terlalu lama menatapnya.” Kini, ia hidup dengan prinsip bahwa hakikat diri takkan pernah ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh dirinya sendiri. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini