Putusan MK: Demi Anak Muda atau Kekuasaan Dinasti?

0
113
Ketua MK Anwar Usman (tengah) saat memimpin sidang pada 16 Oktober 2023. (Kompas.id)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Menjadi buah bibir di kalangan aktivis politik: demokrasi dibajak oleh oligarki. Kekuasaan hanya ajang bagi-bagi politik dagang sapi, jauh untuk kepentingan bangsa dan negeri. Viral dan santer dibicarakan saat politik masuk dalam kekuasaan yang mengambil dari tradisi monarki.

Terma dinasti menyeruak menjadi trending topic dalam pojok-pojok diskusi mini para aktivis kritis dan politisi yang masih idealis. Pewarisan tahta kursi kekuasaan sudah dikenal jauh demokrasi hadir, hingga kini masih ada yang menganut dalam membangun bangsa dan negara.

Tak ketinggalan sebuah bangsa dan negara yang menganut demokrasi terbisiki oleh embusan kebusukan perampok kekuasaan. Menghalalkan segala cara untuk kekuasaan tampak pantas dan layak disematkan bagi para politisi hari ini, kecuali yang masih memiliki idealisme dan harga diri.

Yang unik di negeri loh jinawi, sejak demokrasi menjadi kiblat sistem mekanisme berbangsa dan bernegara di Indonesia, seolah memang sistem tersebut merupakan sistem terbaik di abad modern. Hal itu dalam praktiknya membuka ruang keterbukaan, kesetaraan, keadilan, dan keadaban bagi setiap warga negara dalam berparsitipasi di kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk dalam berbangsa dan bernegara.

Memang benar, dalam kemasan demokrasi sangat terlihat dalam tata aturan yang dikembangkan lebih pada penekanan narasi dan diksi serta penguatan sikap pelayanan terhadap siapapun yang berhak dilayani tanpa membeda-bedakan kelas sosial. Terlebih dalam demokrasi, kekuasaan itu bukan pada seseorang atau keluarga, melainkan ada pada kekuasaan warga masyarakat atau rakyat.

Konsep itu yang membuat masyarakat modern berusaha keras menjalankan sistem demokrasi dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara luas. Sekalipun dalam pelaksanaanya tertatih-tatih bagaikan orang yang sedang belajar jalan, hal itu bagian dari komitmen berdemokrasi.

Panjang sejarah demokrasi di belahan dunia, dinamika implementasi masing-masing negara sangat variatif. Khusus di Indonesia dalam berdemokrasi terbilang berjalan baik, namun banyak yang membajak di tengah perjalanan. Akhirnya mengalami turbulensi sosial politik kebangsaan sehingga ketika tersungkur sulit bangun kembali karena mengalami trauma dan prihatinnya malah meratapi yang sudah terjadi, alih-alih mempersalahkan orang lain. Padahal seharusnya bangkit kembali langsung bangun untuk mengubah cara dan strategi.

Sejak reformasi pasca keruntuhan orde baru seperti ada secercah harapan demokrasi dikembalikan lagi sesuai karakternya. Ada yang terselip, dinamika perubahan bangsa sangat tidak lepas generasi kaum muda, termasuk ikrar kemerdekaan Indonesia benar-benar ada agresivitas generasi muda.

Andaikan saat itu Soekarno tidak diculik sekelompok anak muda, entah kapan deklarasi kemerdekaan Republik Indoensia akan dikumandangkan. Sosok para tokoh perubahan ditingkat komunitas masyarakat besar faktanya selalu generasi muda.

Era digital memaksa generasi untuk segera dan cepat beradaptasi. Anak muda sebagian sudah mengambil peran-peran strategis, personal branding dalam diksi-diksi narasi politik sudah mulai diambil generasi muda. Suka tidak suka, entitas bisnis sejak disrupsi menerjang kehidupan teknologi sosial muncul pemenangnya mereka kaum muda, apalagi start up digital semua milik anak-anak muda.  

Selain dunia digital diambil alih, sekarang merambah ke berbagai entitas sosial lainnya seperti kita saksikan tokoh-tokoh politik pun sudah berangsur diperankan generasi muda. Hal itu fakta bukan lagi wacana. Bukti nyata bupati atau walikota sudah ada beberapa dimenangkan oleh tokoh usia di bawah 40 tahun.

Fenomena bacapres dan bacawapres pun ternyata sedang didorong, bahkan dipaksa untuk melibatkan generasi muda. Benar dan nyata, ada dua orang bacapres yang menunggu keputusan MK terkait persyaratan usia bacapres dan wakilnya. Narasi demi narasi berbagai opini terlontar dari para pakar dan pengamat mengomentari hal ihwal syarat usia, momentumnya sangat terlihat dengan kasat mata bahwa judisial review tentang usia sarat dengan interes politik dinasti.

Bagi siapapun menghendaki kaum muda ambil alih, hal itu sangat apresiatif. Akan tetapi, kala itu motifnya membantu memuluskan dan menjunjung tinggi demokrasi dinasti sangat naif dan munafik. Pasalnya, perbuatan dan tindakan tersebut bagian dari pembajakan nilai-nilai demokrasi.

JR yang diputuskan MK pada 16 Oktober 2023 membuat orang sorak sorai bergembira, namun berujung kena “prank” semuanya. Luar biasa dagelan politik negeri ini, lembaga negara yang pada sakral begitu mudah dan renyah dipermainkan oleh kekuasaan pragmatis. Kena prank semuanya, terdiam seribu bahasa seketika karena putusan JR di sore hari memberi ruang melajunya putra mahkota melenggang masuk bursa cawapres yang akan berlaga di pemilu 2024.

Mudahnya penguasa mengondisikan lembaga negara karena para pejabatnya tersandera. Mau tidak mau, suka tidak suka, sudah menjadi kenyataan. Fakta dan realita elit bangsa sudah masuk jebakan dan sandera oligarki, penguasa pun memanfaatkan peluang kelemahan dirinya dan rekan-rekan sejawatnya.

Hebat dan kita acungi jempol, oligarki di negeri ini luar biasa kemampuan men-drive elit-elit bangsa pribumi sangat mudah memancing dan menjebak masuk dalam perangkap “sosok” yang dipasang di lingkaran kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tidak dapat keluar lagi dan sangat sulit setelah masuk perangkap “sosok”, selanjutnya terserah pemilik perangkap yang memasang dalam saluran-saluran kekuasan tersebut.

Yang pasti harus mengikuti kehendak pemilik “sosok” apabila masih ingin hidup atau akan dimatikan hingga ditelan masa jikalau banyak berteriak dan bergerak. Begitulah ilustrasi para elit bangsa saat ini, baik pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif bagaikan ikan terperangkap masuk jebakan.

Teriakan anak muda diberi ruang memang sangat motivatif, namun apakah harus pilihan oligarki yang pantas dan patut dipromosikan. Ini realita yang tidak dimungkiri karena terma demokrasi bangsa Indonesia masih mentah, bangsa dan rakyatnya masih lemah, dan tatanan sistem sosial kemasyarakatannya sangat rapuh.

Banyak anak muda lebih cerdas, kreatif, inovatif dan memiliki leadership  yang arif dan bijak. Bukan sekonyong-konyong karena anak tuan raja, mahkota hanya milik putranya. Dengan mengobrak-abrik hukum untuk melanggengkan kekuasaan dinasti. Bung, ini bukan negeri kerajaan bukan pula negeri ini milik nenek dan kakekmu, segera taubat menundukan jiwa dan ragamu untuk mengembalikan mandat kepada pemiliknya yaitu rakyat.

Wahai para mahasiswa, fungsimu sebagai agent of control sudah saatnya turun ke jalan suarakan hati nuranimu. Lawan dan lawan kekuasaan dinasti yang membajak nilai-nilai demokrasi. Jika dibiarkan nilainya sama dengan membiarkan keburukan dan kemunkaran sosial politik, dampaknya berbahaya bagi keberlangsungan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan. Sehingga kesejahteraan masyarakat terganggu karena kebijakan banyak tidak berpihak dan berkeadilan.

Politik dinasti merusak tatanan demokrasi. Kehendak Jokowi memberi kursi dengan cara menghianati nurani rakyat hanya menunggu runtuhnya reputasi. Jangan biarkan keadilan dimiliki keluarga, rebut dan kembalikan kepada rakyat. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini