Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer Yogyakarta

Ramadan adalah bulan suci yang dinantikan oleh setiap muslim. Selain sebagai bulan penuh berkah, Ramadan juga menjadi momen untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, bagi wanita muslimah, ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan terkait kewajiban puasa, terutama saat mengalami haidh atau istihadhah. Bagaimana Islam mengatur hal ini? Mari kita simak penjelasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 222:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)


Ayat ini menjelaskan bahwa haidh adalah kondisi yang menghalangi wanita untuk melaksanakan ibadah tertentu, termasuk puasa. Wanita yang sedang haidh tidak diwajibkan untuk berpuasa dan harus menggantinya di hari lain setelah Ramadan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:
“Dari Mu’adzah, ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Aisyah, Mengapa wanita haidh mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha shalat?’ Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu seorang Haruriyah?’ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, tetapi aku hanya bertanya.’ Aisyah berkata, ‘Kami mengalami hal itu (haidh), lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.'” (HR. Muslim)
Istihadhah dan Hukum Puasa
Istihadhah adalah kondisi di mana seorang wanita mengeluarkan darah di luar masa haidh atau nifas. Kondisi ini seringkali membingungkan, terutama dalam menentukan apakah darah yang keluar termasuk haidh atau istihadhah. Dalam hal ini, para ulama memberikan panduan berdasarkan durasi dan kebiasaan haidh sebelumnya.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan bahwa wanita yang mengalami istihadhah tetap wajib berpuasa dan shalat, karena darah yang keluar tidak dianggap sebagai haidh. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:
“Dari Aisyah, bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami istihadhah. Rasulullah SAW bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam yang dikenal. Jika itu yang keluar, maka tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar adalah darah lain, maka berwudhulah dan shalatlah.'” (HR. Abu Daud)
Beberapa wanita mengalami haidh yang terputus-putus, di mana darah keluar selama beberapa hari, kemudian berhenti, lalu keluar lagi. Dalam kondisi ini, ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat.
Pendapat yang mu’tamad (kuat) menyatakan bahwa jeda suci antara keluarnya darah dihukumi sebagai haidh, sehingga wanita tersebut tidak boleh shalat atau puasa selama masa tersebut. Namun, jika darah tidak kembali keluar setelah jeda suci, maka ia wajib mandi dan mengqadha shalat serta puasa yang ditinggalkan.
Ramadan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan. Bagi wanita muslimah, memahami hukum-hukum terkait haidh, istihadhah, dan puasa adalah hal yang penting agar ibadah mereka tetap sah dan diterima oleh Allah SWT.
Dengan mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Hadits serta merujuk pada pendapat ulama yang terpercaya, kita dapat menjalankan ibadah Ramadan dengan penuh keikhlasan dan ketenangan. (*)