Oleh: Ace Somantri

Sebulan penuh segera terlewati, baik 29 hari maupun 30 hari dalam bulan Ramadhan setiap tahunnya. Dalam kalender Hijriyah, jumlah hari dalam sebulan hanya dua kemungkinan tersebut, berbeda dengan kalender Masehi yang memiliki bulan dengan 28, 30, atau 31 hari. Meskipun informasi ini terkesan sepele, alangkah baiknya untuk diketahui sebagai tambahan wawasan.
Begitu pula ketika bulan Ramadhan tiba, umat Muslim umumnya hanya memahami perbedaan dalam memulai dan mengakhiri bulan ini. Namun, wawasan tentang dinamika kalender masih kurang dipahami. Ironisnya, perbedaan awal Ramadhan kerap menjadi perdebatan, sering kali tanpa dilandasi pemahaman yang mendalam.
Hal ini adalah fakta yang berulang setiap tahunnya. Kendati demikian, pada akhirnya umat Muslim saling memahami dan menerima perbedaan. Salah satu alasannya adalah tidak ingin merusak nilai ibadah puasa hanya karena terlibat dalam perdebatan yang tidak dipahami sepenuhnya.
Shaum Ramadhan merupakan momen yang tepat untuk membersihkan diri dari berbagai keburukan perilaku yang ada dalam jiwa dan raga. Puasa diharapkan tidak sekadar mengurangi, tetapi juga menghapus dosa-dosa besar maupun kecil. Banyak hadis sahih yang menjelaskan keutamaan ini, di antaranya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:


“Barang siapa yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosa yang telah lalu diampuni.”
Hadis ini dengan jelas menegaskan bahwa ada proses “detoksifikasi” dosa dalam diri seorang Muslim selama satu bulan penuh.
Banyak ibadah di bulan Ramadhan memiliki nilai tinggi di sisi Allah Ta’ala. Selain puasa, ada ibadah lain yang bernilai istimewa, seperti shalat malam yang pada malam tertentu setara dengan pahala seribu bulan.
Menjelang akhir Ramadhan, ada kewajiban lain yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim, yaitu zakat fitrah. Ibadah ini wajib bagi setiap individu Muslim, mulai dari bayi yang masih dalam kandungan (menurut sebagian pendapat) hingga lansia yang tak berdaya. Zakat fitrah berfungsi untuk membersihkan dan menyucikan jiwa.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar:
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas setiap Muslim, baik merdeka maupun hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan.”
Kewajiban zakat ini menjadi bagian dari syariat Islam yang memiliki makna mendalam dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang Muslim. Zakat sejajar dengan kewajiban shalat, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 43:
“Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”
Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk meninggalkan zakat, sebab pada dasarnya manusia mampu menunaikannya. Di era modern ini, sangat jarang ditemukan orang yang benar-benar tidak mampu membayar zakat fitrah.
Ibadah zakat telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, baik dalam waktu pelaksanaannya, ukuran yang harus dikeluarkan, maupun jenis benda yang wajib dizakatkan. Para ulama mujtahid dan fuqaha kemudian menjelaskan detail teknisnya dengan tetap merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih.
Ramadhan adalah bulan penyucian diri, dan zakat fitrah merupakan ibadah yang menyempurnakan proses tersebut. Bahkan, mereka yang mampu dianjurkan untuk menambah zakatnya dengan zakat mal (harta). Secara bahasa, “zakat” dalam bahasa Arab berarti bersih, suci, berkembang, tumbuh, subur, dan berkah.
Dengan makna ini, sangat jelas bahwa zakat memiliki fungsi luar biasa: membersihkan, menyucikan, mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan, dan membawa keberkahan. Maka, tidak heran jika setelah Ramadhan berlalu, umat Muslim merasakan kebahagiaan lahir dan batin.
Pada tanggal 1 Syawal, hari yang dikenal sebagai Idul Fitri, umat Islam merayakan kemenangan spiritual. Idul Fitri sangat identik dengan zakat fitrah, karena keduanya berhubungan erat dengan penyucian diri. Secara sosial, Idul Fitri menjadi puncak kebahagiaan yang diwujudkan dalam tradisi silaturahmi, saling memaafkan, dan berbagi kebahagiaan.
Dalam konteks zakat fitrah, umat Muslim di Indonesia umumnya memahami bahwa ibadah ini adalah bentuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Selain aspek spiritual, zakat juga memiliki dimensi sosial yang luar biasa.
Sebagai ilustrasi, dengan jumlah penduduk Muslim sekitar 224 juta jiwa, jika setiap orang membayar zakat fitrah sebesar 2,5 kg beras atau setara Rp40.000, maka dana yang terkumpul mencapai Rp8,96 triliun setiap tahunnya.
Itu baru zakat fitrah, belum termasuk zakat mal. Jika zakat dikelola dengan baik, transparan, dan amanah, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara yang adil, makmur, dan sejahtera. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa aset dan sumber daya alam yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat justru banyak dikorupsi hingga ratusan triliun rupiah.
Padahal, jika pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan jujur dan profesional, Indonesia tidak perlu berutang kepada bangsa lain. Sumber daya alam seharusnya dikelola dengan sistem yang jelas dan berpihak kepada rakyat, bukan hanya mengandalkan aparatur negara yang digaji besar tetapi tidak efektif.
Seandainya sumber daya alam dikelola dengan baik dan rakyat diberdayakan dengan regulasi yang adil, maka kesejahteraan bukan sekadar angan-angan. Pemerintah tidak perlu membebani anggaran negara dengan subsidi besar, karena rakyat akan mampu mandiri dan berkontribusi bagi negara.
Idul Fitri adalah puncak kebahagiaan setelah sebulan penuh beribadah di bulan Ramadhan. Hari ini adalah momen kemenangan, di mana umat Islam merayakan kebersihan jiwa yang telah mereka upayakan selama Ramadhan.
Tradisi di hari raya, seperti bersalaman, bermaaf-maafan, silaturahmi, ziarah ke makam orang tua, dan berbagi makanan dengan keluarga serta tetangga, adalah bentuk rasa syukur atas nikmat Allah.
Semoga Ramadhan tahun ini benar-benar menjadi sarana penyucian diri, menghapus dosa-dosa, dan mengurangi catatan amal buruk. Semoga pula kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun depan dalam keadaan lebih baik.
Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum. Aamiin.
Bandung, Maret 2025