KLIKMU.CO – Terlepas dari pro-kontra terkait dengan pembahasan RUU Pemilu yang semakin menguat di antara fraksi-fraksi di DPR, Democracy and Electoral and Empowerment Partnership (DEEP) berpandangan RUU Pemilu memang mendesak untuk direvisi.
“Dalam hal mengatasi berbagai permasalahan krusial dalam kepemiluan, RUU Pemilu menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan revisi karena terdapat banyak pasal yang harus dibenahi. Khususnya terkait dengan pengaturan mengenai keserentakan pemilu sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019,”kata Direktur Eksekutif DEEP Neni Nur Hayati kepada Klikmu.co, Rabu (3/2/2021).
Dia menambahkan, Pemilu 2019 semestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sebab, ratusan penyelenggara pemilu meninggal akibat kelelahan. Ini menjadi momen yang tepat untuk dibenahi dan dievaluasi.
Selain itu, kata Neni, revisi UU Pemilu penting untuk melakukan pembenahan pada desain penyelenggara pemilu. “Kita ketahui bahwa tiga lembaga penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, dan DKPP, saat ini terlihat ada dalam egosentris masing-masing kelembagaan dan saling menegasikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, harus ada kewenangan yang jelas antarlembaga penyelenggara pemilu. “Jangan sampai kasus yang terjadi terus berulang. Itu harus diatur dalam revisi RUU Pemilu,” tegasnya.
Tidak terbayang juga jika pemilu nasional dan daerah digelar serentak pada 2024, meski memang tidak dalam waktu yang sama. Yakni, pilkada digelar pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres). Pileg dan pilpres pada April 2024, sementara pilkada November 2024.
“Tetapi, hal ini tetap saja akan sangat menguras energi, sangat rumit dan kompleks dengan jeda waktu yang pendek. Belum lagi persiapan dan pengelolaan tata keola pemilu,” jelas aktivis NA tersebut.
Neni berpandangan bahwa terdapat aturan dalam beberapa pasal di UU Pemilu dan Pilkada yang sudah tidak kompatibel untuk digunakan dalam pemilihan yang akan datang. Hal ini juga akan terjadi potensi tumpang-tindih aturan dan tahapan.
Selain itu, banyak isu lain dalam RUU Pemilu seperti keadilan pemilu (electoral justice). Contohnya adalah upaya penekanan politik uang dan mahar politik yang terus terjadi, tetapi sangat sulit untuk diproses. Di samping itu, ada juga menyangkut ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas raihan suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold), metode konversi suara, sistem pemilu, serta besaran kursi setiap daerah pemilihan (dapil).
Neni mengatakan, DEEP akan terus mengawal RUU yang sudah masuk prolegnas. Harapannya, dengan revisi RUU Pemilu akan memperbaiki kualitas kepemiluan. Bukan hanya untuk pemilu 2024, melainkan juga untuk lima pemilu yang akan datang.
“Pro-kontra revisi RUU Pemilu jangan sampai hanya untuk kepentingan elite tertentu, tapi harus memperhatikan kemaslahatan untuk masyarakat,” tandas Neni. (AS)