Refleksi Akhir Tahun 2023: Tetap Mencoblos

0
50
Hasnan Bachtiar Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Kandidat PhD di Deakin University, Australia. (Dok Facebook Penulis)

Oleh: Hasnan Bachtiar

KLIKMU.CO

Akhir tahun 2023 ini patut menjadi momen refleksi yang penting. Terutama, karena tahun depan (bulan depan), kita akan mengikuti Pemilihan Umum 2024.

Mengenai partai apa, calon legislatif yang mana, dan calon presiden yang mana yang harus dipilih, kita tidak perlu risau. Semua pilihan yang ada boleh dipilih. Siapapun yang akan memimpin mungkin akan memberikan dampak yang signifikan pada tingkat yang lebih umum dan lebih luas. Tapi, untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari, tampaknya akan sama saja.

Karena itu, kita tidak perlu terlalu senang pada calon tertentu. Sebaliknya, juga tidak perlu terlalu benci pada calon yang tidak akan kita pilih. Jadi, sebaiknya kita menghindari fanatisme dan bersikap biasa saja.

Semua Pilihan Bagus

Kita lihat bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menawarkan slogan “Wakanda No More, Indonesia Forever.” Mereka berharap tidak ada lagi otoritarianisme dan kesewenang-wenangan penguasa untuk membungkam rakyat yang menyampaikan aspirasi kritisnya. Visinya adalah mengupayakan demokratisasi yang memprioritaskan rakyat ketimbang pembangunan (ekonomi makro). Hal ini bagus sekali.

Sementara itu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming menjanjikan akan melanjutkan kebijakan Jokowi dan KH Ma’ruf Amin yang secara garis besar dianggapnya bagus. Hal ini karena mampu mempertahankan stabilitas sosial dan ekonomi di tengah krisis akibat wabah pandemi Covid-19, perang di Eropa (Ukraina-Rusia), dan situasi geopolitik yang memanas di Laut Cina Selatan. Hal ini juga bagus.

Sedangkan, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menawarkan hal yang “sat set tas tes.” Mereka mencitrakan dirinya bekerja yang cepat, tepat, akurat, dan selesai. Mereka teknokrat yang siap melayani rakyat dengan sigap. Jelas, yang mereka tawarkan tidak kalah bagus.

Ketiganya antikorupsi, pro-pembangunan ekonomi, pro-kemerdekaan yang berkeadaban, dan prorakyat. Namun, dengan cara dan gayanya masing-masing. Dalam konteks wacana di atas kertas, semuanya bagus dan layak dipilih.

Pengalaman Pemilu Lalu

Adapun dalam praktiknya, pada Pemilu 2019 lalu kita pernah mengalami pembelahan atau polarisasi sosial karena politik praktis. Bahkan, pengerasan sikap beragama di tengah masyarakat, merebaknya misinformasi, disinformasi, situasi pasca-kebenaran, dan yang paling menonjol berbagai jenis pembungkaman terhadap masyarakat yang memiliki pandangan kritis terhadap penguasa.

Ada pula yang menyebut bahwa terjadi arus balik konservatisme agama yang kemudian mengundang adanya arus balik otoritarianisme. Kita kembali ke kendali tangan besi yang tiranik. Entahlah, mungkin kita terlalu trauma pada Orde Baru.

Seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, terutama di bidang teknologi digital, di mana infrastrukturnya masih belum merata, masyarakat tidak memiliki tingkat literasi yang cukup (bijaksana) dalam menggunakan teknologi digital (sehingga mudah terjerat arus ‘pasca-kebenaran’ yang dikendalikan oleh algoritma tertentu), dan sepenuhnya kontrol atas teknologi ini dimonopoli oleh penguasa.

Itu pengalaman pemilu sebelumnya. Pemilu kali ini tidak terlalu panas, cenderung gembira, yang bertengkar terbatas pada elite politik saja, bukan rakyat. Karena itu, pemilu kali ini akan menjadi pesta politik, meskipun bukan pesta demokrasi, karena tidak ada demokrasinya.

Tidak Berkaitan dengan Kehidupan Rakyat

Sejauh yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari, pendapatan ekonomi kita cenderung tetap, harga-harga barang semakin mahal. Lapangan kerja semakin sulit. Program UMKM yang dicanangkan pemerintah sepertinya tidak berdampak besar. Dulu para calon pejabat menjanjikan hal yang menarik sekali, terutama tentang ekonomi kerakyatan. Tapi, kalau ada yang bilang bahwa program UMKM ini adalah program ekonomi kerakyatan yang tidak merakyat, mungkin ada benarnya.

Soal kesehatan, cukup lumayan ketika punya BPJS, meskipun terkadang pihak rumah sakit memperlakukan pasien BPJS seperti bukan manusia. Tidak diberikan pelayanan yang baik, lebih humanis dan bermartabat. Mungkin karena pemegang BPJS berutang pada pemerintah, sedangkan pemerintah berutang pada rumah sakit. Singkatnya, orang-orang yang sakit itu berutang pada rumah sakit dan minta untuk disembuhkan.

Soal kemiskinan, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) angkanya menurun. Ingat, yang menurun angkanya, bukan kemiskinannya. Orang-orang yang tidur di jalanan, di bantaran sungai, di kolong jembatan, dan bahkan di tempat yang paling tidak layak sekalipun masih terlalu banyak. Mungkin juga tidak masuk dalam pendataan BPS. Anak-anak kecil yang mengalami gizi buruk luar biasa banyak.

Lalu, korupsi tetap terjadi sebagaimana biasanya. Pemberantasannya tetap tidak menjangkau penjahat-penjahat kelas kakap. Bahkan petugas antikorupsinya sekadar sebagai pelaksana kepentingan politik pemilik kapital kelas tinggi. Tugas-tugas pemberantasan korupsi bisa dipesan. Koruptor mana yang harus ditangkap dan mana pula yang harus dilepaskan sudah ditentukan terlebih dahulu. Tapi tenang saja, karena sama sekali tidak berkaitan dengan kehidupan rakyat di kampung-kampung.

Apapun yang kita alami sehari-hari, betapapun beratnya hal itu, itulah hidup kita. Tampaknya sepenuhnya tidak terkait dengan janji-janji manis mereka yang berkepentingan dalam politik praktis. Semakin manis janjinya, semakin membuat diabetes. Ingat, pembunuh nomor satu di dunia adalah penyakit gula ini. Janji-janji politik inilah yang di kemudian hari akan membunuh rakyat yang justru dengan tulus ikhlas memberikan suaranya. Kecuali, mereka yang suaranya dibeli dengan nominal tertentu oleh petugas partai.

Tetap Mencoblos

Tidak ada demokrasi dan kedaulatan rakyat. Wakil rakyat yang semestinya bekerja dan mengabdi untuk rakyat, nyatanya patuh terhadap kepentingan mereka sendiri, keluarganya sendiri, partainya sendiri, bisnisnya sendiri. Tapi sekali lagi, apapun itu, inilah hidup yang harus dijalani dengan biasa saja.

Tapi kita harus ingat, bahwa pemilu dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Pemilu adalah rutinitas biasa, sementara demokrasi adalah pemuliaan terhadap kehendak rakyat. Karena itu, kegiatan rutin ini sebaiknya memang tetap diselenggarakan dan kita ikuti dengan baik. Kita perlu mencoblos dan tidak golput.

Terserah mau memilih calon presiden yang mana, sama saja. Sama-sama bagusnya, meskipun sama-sama tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Karena itulah, di saat yang sama, kita harus gigih menjaga kesehatan, tetap hidup dengan pikiran yang tenang, dan bahagia. Karena ini adalah kehidupan kita, yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan elite. Selamat tahun baru 2024. (*)

Hasnan Bachtiar
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Kandidat PhD di Deakin University, Australia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini