Refleksi Hardiknas 2023: Pedulikah Negara pada Pendidikan Kita?

0
65
Logo Hardiknas 2023. (Dok Kemendikbudristek)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Jungkir balik dan berdarah-darah orang tua dan nenek moyang kita saat bangsa dan negara ini belum berdiri. Peradaban sangat primitif saat satu dan dua abad yang lalu begitu kata sejarahwan, dapat baca dan tulis masyarakat saat itu sesuatu yang sangat terbatas. Jauh bicara tentang perkembangan sains dan teknologi katanya, pakaian yang dipakai pun hanya helaian kain seadanya, bahkan dibeberapa daerah terpencil nyaris tidak berpakaian.

Namun, kehidupan manusia tetap terus berlanjut tanpa henti sesuai putaran bulan dan matahari pada porosnya masing-masing tanpa terganggu. Cepat atau lambat pada akhirnya selalu ada manusia-manusia penggerak, pembaharu, pencerah, dan pemberdaya di berbagai komunitas dan kelompok masyarakat. Di situlah mulai mekarnya sebuah perkembangan wawasan dan ilmu untuk memantik sebuah peradaban. Siapapun mereka, sudah pasti orang-orang yang berpikir waras dan sehat.

Sebelum kemerdekaan bangsa ini, sedikit banyak ada di antara manusia berpikir waras dan sehat. Spirit dan motivasi berjuang dan beramal sholeh senantiasa ada, karena pada dasarnya manusia lahir ke bumi dalam posisi baik dan suci, insyaallah baik dalam luar fisik maupun hati akal dan pikirannya.

Pun sama saat ketika bangsa ini lahir dan berdiri karena jasa orang-orang berpikir dan berkarya nyata dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan dan hak-hak kemanusian. Mereka berjuang tanpa pamrih dan berharap balas jasa, mereka berjuang murni untuk mengambil hak-hak adami yang sama. Pengorbanan jiwa, raga, dan harta yang dikemas dalam pikiran sehat tidak diragukan. Hanya dengan cara pendidikan manusia mau berpikir, hanya dengan pendidikan manusia mau bergerak, hanya dengan pendidikan manusia mau berkarya, hanya dengan pendidikan manusia mengubah nasib, dan hanya dengan pendidikan manusia melawan tiran dan kedzaliman.

Bangsa ini lahir berdiri dan merdeka dari segala bentuk penjajahan didasari dengan bekal hasil dari pendidikan, benar dan sebenar-benarnya dan sangat tepat ajaran Islam pertama kali yang diwahyukan Allah SWT kepada kekasihnya yang diutus membawa risalah-Nya Q.S. Al Alaq, “Bacalah! dengan menyebut nama Rabbmu yang telah menciptakan”  secara maknawi teks nash tersebut menekankan kepada umat manusia untuk bebas dari kebodohan, keterkungkungan, kedunguan, keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpenjaraan hidup lainnya kecuali akan merdeka dan bebas hanya dengan pendidikan.

Bagaimanapun kondisi dan situasinya pendidikan adalah sebuah syari’at ajaran Islam sangat mendasar yang harus dijalankan sepenuh hati nan ikhlas dan tulus. Berat dan membebankan memang saat mencari dan menggalinya, karena pendidikan tidak dapat dilakukan dengan cara bimsalabim abakadabra, melainkan butuh proses yang cukup panjang dilalui dengan berbagai pola dan model penuh tantangan.

Saat ini pendidikan Indonesia boleh dibilang mengalami kemunduran dan ketertinggalan dari negara-negara tetangga di kawasan asia tenggara. Mereka terbilang kemerdekaannya jauh lebih dahulu bangsa dan negara Indonesia. Namun, faktanya mereka lebih cepat dan gesit hal ihwal pendidikan dari negara kita yang tercinta. Berbagai fasilitas sarana prasarana serta kesejahteraan totalitas hampir tanpa batas, karena mereka menganggap pendidikan adalah segalanya, yang mampu mengubah nasib warga dan negaranya maju lebih cepat. Insting dan nalurinya sebagai manusia berpikir, kesadaranya membimbing jiwa raganya bergerak memoerioritaskan pendidikan.

Bagaimana Indonesia? Padahal Islam memberi taufiq jauh sebelum merdeka, bahkan kemerdekaannya pun diraih yang didasari akan kesadaran masyarakat yang berpikir sehat dan waras. Masa saat ini bangsa dan negara berdiri tegak, namun faktanya lemah tak berdaya, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan dan pertahanan. Tidak dapat dimungkiri secara inderawi pendidikan kita kian hari semakin memprihatinkan, hasil pendidikan hanya sebatas sertifikat atau ijazah. Produktifitas karya, kreatifitas dan inovasi banyak berhenti dalam bayangan dan angan-angan.

Saat ini secara terbuka dan terang-terangan dunia pendidikan tak ubahanya sebuah industri perusahaan barang dan jasa, yang dikejar lebih pada margin profit oriented. Setelah lulus dapat pekerjaan apa dan dapat berapa gaji/insentif/honor setiap satu bulan atau satu project. Hal itu fakta dan nyata, pendidikan kita dipaksa secara sistemik untuk menjadi robot-robot penghamba pada tuan dan majikan yang membelinya sekalipun dengan harga sangat murah yang penting dapat kerja punya status sosial, tidak peduli mereka pakai ijazah level apa yang penting dapat kerja dan menghamba tidak banyak protes.

Fenomena tersebut berlaku dalam institusi apapun, termasuk institusi pendidikan dari tingkat bawah hingga perguruan tinggi yang akan memerdekan cara berpikir, namun para pengelola dan pengajarnya seperti robot dan buruh yang harus tunduk dan patuh kepada tuan dan majikannya.

Prihatinya pendidikan kita, entah sama atau beda dengan negara tetangga yang konon kabarnya terus maju melampaui Indonesia. Sementara para peneliti dan ilmuwan berjibaku dalam riset-riset berjurnal yang hanya dikonsumsi kalangan terbatas, sementara meningkatkan produktifitas pertanian dari sejak masa orde lama hingga saat ini nyaris tidak pernah ada peningkatan, justru yang ada kerusakan ekosistem lahan pertanian, jauh untuk mengembangkan produktifitas lahan-lahan gambut, boleh dikatakan omong kosong. Yang aneh dan irasional semua hasil pertanian dari bahan pokok, sayur mayur, dan buah-buahan di import dari negara luar sangat ironis sebagai negara agraris membuat miris dan hati teriris.

Keterlaluan sekali, negara loh jinawi kerta raharja semua kebutuhan sembako banyak diimport dari negara luar, sementara para petani dan buruh tani hidupnya dalam kesengsaraan tak ada kesejahteraan, setiap menanam pertaniannya dibebani meningkatnya permodalan, baik itu pupuk dan pemerliharaan lainnya. Saat ketika panen harga dibuat anjlok, jauh untuk untung yang ada buntung karena modalnya juga tidak kembali.

Pendidikan sebaiknya membebaskan tiran-tiran kebijakan negara, pendidikan sebaiknya mencerahkan petani dan buruh, dan pendidikan sebaiknya memberdayakan kaum miskin dan dhuafa. Kadang sebaliknya, dengan gelar akademik yang panjang dan tinggi malah ikut terlibat menjadi legitimator perbuatan tiran kebijakan negara. Ribuan pakar dengan hasil-hasil riset berskala nasional dan internasional, efek dan dampaknya terhadap masyarakat dhuafa dan papa berapa persen atau berapa orang yang keluar dari jeratan kemiskinan dari riset yang sudah diuji dan dipublish? Tunduk dan malu pastinya, karena riset-riset hanya fokus pada pengumpulan point-point angka kredit meningkatkan tingkat golongan fungsional akademik dari asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar.

Teringat pesan moral dari pernyataan seorang dosen KH. Ayat Dimyati, “kenapa saya tidak lanjut studi ke jenjang lebih tinggi yang sudah dimiliki, karena yang sudah dimiliki belum semua tersampaikan dan khawatir suatu saat kelak nanti ilmu yang tidak disampaikan dimintai pertanggungjawabkan” dan kalimat yang terlontar dari Prof. Afif Muhammad, “semakin tinggi ilmu harus semakin tinggi keimanan kita”.

Senadainya semua ilmuwan sikap dan perbuatanya linear dengan keilmuan yang dimiliki, setiap jenjang level pendidikan mampu membebaskan kaum papa secara terukur dan setiap hasil riset mampu membebaskan kaum dhuafa dan fakir terukur, nampaknya bangsa dan negara ini tidak dikejar oleh hantu hutang yang semakin menggunung.

Tidak ada alasan bagi dunia pendidikan beralih cara dan skema dari hanya sekedar menambah panjang tumpukan portopolio administrasi, menuju perubahan pada peningkatan kuantitas pembebasan kaum dhuafa dan fakir berbagai aspek kehidupan. Ditata dan dirumuskan berdasarkan skala perioritas, hanya dengan pendidikan bangsa dan negara ini merdeka, maju dan berkembang sejajar dengan bangsa lain. Wallahu’alam. (*)

Bandung, Mei 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini