21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Refleksi Idul Adha 1445 H: Menjaga Tradisi Amal Shaleh

Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

Di antara bulan-bulan yang ada, selalu ada hari-hari istimewa bagi umat manusia, begitu pun umat muslim. Dzulhijjah nama bulannya. Pada bulan tersebut ada peristiwa yang sangat istimewa, yaitu Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban.

Sudah berjalan ribuan tahun syariat tersebut. Dalam catatan histori dalam Islam syariat tersebut sejak masa nabiyullah Ibrahim alaihi salam sesaat setelah peristiwa yang sempat mengentak jiwa dan raganya akibat ada perintah untuk menyembelih anak semata wayang oleh Allah Ta’ala.

Namun, keimanannya tak goyah sekalipun hal tersebut memberatkan hati dan pikiriannya, tak berat bagaimana anak tersebut didapat dengan susah payah penuh perjuangan yang melelahkan. Maka itulah sikap sang nabiyullah yang teruji dan terbukti ketaatannya kepada Sang Maha Pencipta Allah SWT.

Idul Adha istilah yang populer di masyarakat muslim sejak syariat itu disempurnakan oleh Allah Subhanahu wata’ala melalui nabiyullah Muhammad shalallahu alaihi wasalam. Dalam praktisnya, Idul Adha merupakan hari raya umat muslim yang sangat melekat dengan ibadah ritual sarat nilai monumental yang dilaksanakan di tanah suci Makkah Al Mukaromah.

Tak kalah meriah dari Idul Fitri, malah di masyarakat muslim penduduk Jazirah Arab penyambutan Hari Raya Idul Adha lebih antusias dan meriah. Terlebih dirayakan oleh jamaah haji di seluruh pelosok negeri belahan dunia yang menunaikan rukun Islam kelima menjadi kewajiban umat muslim yang memiliki kemampuan dalam menjalankannya, baik secara materi maupun mental spiritual.

Kemeriahan sambutan Hari Raya Idul Adha di tanah suci Makkah sudah berlangsung berabad-abad, begitu pun umat muslim yang berada di luar tanah suci. Termasuk warga muslim di Indonesia bersahutan mengumandangkan takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil dengan syahdu dan khusyuk di berbagai masjid dan mushala di perkampungan.

Ada yang menarik dicermati, saat tepat di Hari Raya Idul Adha bukan hanya melaksanakan ibadah shalat Id, melainkan setelahnya ada prosesi penyembelihan hewan kurban. Hal itu menambah kemeriahan sekaligus kebahagiaan tersendiri. Pasalnya, momentum tersebut dapat digunakan untuk berbagi ceria menikmati santap daging kurban secara berjamaah.

Sebenarnya momentum tersebut berharap tidak dimaknai bersifat pragmatis yang berlebihan. Hal demikian sangat memungkinkan akan merusak makna syariat dan ibadah Idul Adha, yang sejatinya nilai-nilai ketauhidan menyertai kaifiyatnya secara tertib dan khusyuk.

Namun harus hilang maknanya karena niat dan prosesnya rusak akibat orientasi dan tujuan ibadah menjadi retak dan pecah dengan perbuatan ibadah berniat hanya untuk sebuah daging, tulang dan kulit hewan kurban semata. Padahal, makanan-makanan tersebut adalah hadiah dari konsekuensi ibadah umat Islam yang ikhlas karena Allah Ta’ala yang telah mensyariatkan dalam ajaran-Nya.

Refleksi Hari Raya Idul Adha ada nilai-nilai ketauhidan, kesyariatan ta’abudi dan nilai ahlaqi yang menjelma dalam sikap, perilaku, dan perbuatan manusia di muka bumi. Kala melihat ke belakang awal kenabian Ismail alaihi salam, sosok putra seorang nabiyullah Ibrahim alaihi salam. Sejak usia dini dan beranjak remaja perangai sikap dan perilakunya telah menunjukkan sosok manusia yang patuh dan taat pada kaidah-kaidah yang berlaku.

Termasuk sangat tunduk dan patuh pada ajaran yang dibawa oleh ayahnya sebagai nabi Allah Ta’ala. Ketundukannya Ismail alaihi salam tidak diragukan, baik kepada ajaran-ajaran yang disebarkan ayahnya maupun sikap ketakziman sebagai anak kepada kedua orang tuanya melampaui anak-anak seusianya, hingga sayang dan cinta ayahnya begitu sangat membanggakan. 

Hal itu telah menandakan sosok Ismail adalah manusia pilihan yang kelak setelah dewasa menjadi pembawa risalah ajaran Ilahi Rabbi yang kemudian menjadi salah satu di antara 25 nabi yang wajib diketahui oleh umat Islam sebagai teladan yang patut diteladani, begitu yang pernah didengar dari beberapa ajaran tarikh Islam yang disampaikan ulama, ustadz, dan kiai.

Benar adanya, sosok Ismail alaihi salam dan ayahnya Ibrahim alaihi salam telah memberi teladan akan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sekalipun kala itu perintah dan titah Allah Ta’ala meminta Ibrahim alaihi salam untuk menyembelih anak kesayangannya yang semata wayang, dia tidak ragu dan anaknya pun tidak membangkang apa yang diperintahkan Allah Ta’ala selalu bersedia mengikuti perintah-Nya tanpa banyak tanya.

Sepasang sosok ayah dan anak penghamba yang taat pada Allah Ta’ala, telah menjadi simbol keluarga sebagai teladan kehidupan manusia di muka bumi akan kuatnya akidah ketauhidannya. Dari sikap tersebut, peristiwa penyembelihan Ismail alaihi salam bak hewan yang dikurbankan. Di saat itu pula, mukjizat Allah Ta’ala diberikan kepada mereka yaitu menggantikan Ismail alaihi salam yang disembelih oleh ayahnya Ibrahim menjadi seekor kambing jantan.

Peristiwa tersebut kemudian dijadikan syariat ibadah dalam Islam sebagai bentuk syukur terhadap Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat banyak hingga tak terbatas banyaknya yang diterima oleh manusia di mana pun berada tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama keyakinannya.

Konsekuensi sikap syukur kepada-Nya tidak hanya dalam bentuk beribadah dengan kaifiyat shalat secara vertikal seperti menunaikan shalat Id, namun juga diiringi kesalehan sosial melalui syariat kurban dengan menyembelih hewan untuk berbagi kebahagiaan mengonsumsi daging hewan kurban secara berjamaah, khususnya prioritas berbagi kepada orang yang sangat jarang mendapatkan makanan bernutrisi tinggi.

Syariat kurban bukan sekadar ta’abudi vertikal dan horizontal semata, melainkan sikap dan perilaku manusia yang telah dijaga menjadi tradisi amal shaleh umat Islam yang ditunjukkan kepada siapapun umat manusia yang belum beriman kepada Islam. Karena itu, daging hewan kurban tidak ada mustahik khusus siapapun orangnya, baik umat muslim atau umat di luar muslim mereka sama-sama berhak menikmati hewan kurban yang telah dibagikannya.

Ibadah kurban berabad-abad lamanya sebagai syariat Islam yang memiliki dimensi ajaran tauhid, dan berdampak pada kepekaan sosial, sehingga tidak sedikit umat non-Islam terpengaruhi sikap dan perilakunya. Seperti pernah terjadi dan menurut sahabat dekat ada sebuah cerita menarik setiap hari raya Id, beberapa teman pengacara beragama Kristen Katolik memberi hewan untuk dikurbankan, baik kambing atau domba dan juga sapi. Mereka terlihat senang dan bahagia walaupun ibadah kurban yang saat ini dijalankan umat muslim dan bukan ajaran agamanya.

Di situ, syariat kurban memiliki nilai-nilai kebaikan yang menjadi tradisi amal shaleh secara praktis telah menjadi sikap dan perilaku keshalehan sosial. Artinya, ibadah Hari Raya Idul Adha telah mentransformasi kepada budaya umat manusia akan pentingnya tunduk dan taat kepada ajaran agama, sikap berbagi kebahagiaan, menjaga silaturahmi dan memperkuat ikatan ukhuwah sesama umat manusia, khususnya dengan umat muslim merupakan bentuk amal shaleh.

Idul Adha selama ini telah mentransformasi ajaran agama bersifat khusus menjadi tradisi amal kebaikan di masyarakat bersifat universal. Selain meningkatkan nilai-nilai ketauhidan, sikap kesyukuran serta meningkatkan sikap dan perilaku budaya yang dapat meneladani kepada selain umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan berbagi daging hewan kurban kepada sesama.

Dari ibadah ta’abudi menjadi tradisi itu bukan perkara mudah. Pasalnya, kegiatan ibadah tersebut merupakan ajaran murni dari Islam sebagai salah satu agama yang berada di dunia. Biasanya, umat selain Islam kecenderungan menghindari dan kadang membencinya, justru untuk ibadah kurban banyak memberi manfaat tanpa memilah dan memilih agama yang dianut.

Siapa pun mereka, saat pembagian hewan kurban tidak ada batasan syari yang menerima khusus umat muslim, melainkan setiap orang berhak menerimanya. Kalaupun ada prioritas orang atau kelompok tertentu yang layak dan pantas, itu sikap ijtihadi yang baik.

Harapannya, Hari Raya Kurban dari tahun ke tahun terus bertransformasi menjadi tradisi amal kebaikan yang dapat terinternalisasi menjadi karakter umat dan dimanfaatkan oleh semua umat manusia di muka bumi tanpa kecuali. Begitupun, pemaknaan kurban tidak selalu dimaknai tekstual semata, melainkan ada pemaknaan kontekstual yang dapat dipahami oleh umat Islam secara kaffah maksud dan tujuan syariat ibadah kurban, termasuk harus dipahami apa makna di balik kehendak Ilahi Rabbi.

Berkurban, salah satu syariat ta’abudi, memiliki histori heroik dan melegenda yang telah ada sebelum kenabian Muhammad SAW. Ajaran yang menanamkan sikap berani melepaskan sesuatu yang dimilikinya penuh cinta, kemudian harus dilepaskan atas dasar demi ketauhidan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan untuk kebaikan alam semesta. Wallahu’alam. (*)

Bandung, 10 Dzulhijjah 1445/17 Juni 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *