Oleh: Dr Luthfi Nur Rosyidi
Wakil Ketua MPKS PDM Surabaya

Anda tidak perlu jadi kiai atau anak kiai untuk menjadi pemimpin Muhammadiyah. Bahkan tidak perlu menjadi yang paling mengerti ilmu agama. Tidak juga harus paling kaya atau paling tinggi status sosial. Sebab, kepemimpinan di Muhammadiyah didasarkan pada satu hal, yaitu kemauan untuk berjuang terdepan dan berkontribusi terbanyak, apa pun bentuk kontribusinya.
Berdiri sejak 1912, Muhammadiyah telah mencatatkan beragam prestasi monumental yang tidak hanya dirasakan warga persyarikatan, tetapi juga bangsa secara keseluruhan. Di bidang pendidikan, lebih dari 20.000 amal usaha—termasuk sekolah, madrasah, dan 172 perguruan tinggi—menjadikan Muhammadiyah salah satu penyelenggara pendidikan terbesar di dunia.
Di bidang kesehatan, ratusan rumah sakit, klinik, dan layanan sosial tersebar dari kota hingga pelosok desa. Dalam penanganan bencana, MDMC telah diakui secara internasional sebagai salah satu lembaga kemanusiaan paling cepat, profesional, dan akuntabel di Indonesia. Semua ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukan sekadar organisasi, tetapi mesin kebaikan yang terus bergerak, mengalirkan manfaat tanpa henti.

Prestasi besar ini lahir dari karakter dasar warga persyarikatan: keinginan kuat untuk berkontribusi dalam amal kebaikan. Warga Muhammadiyah tidak disatukan oleh fanatisme struktural atau ikatan karismatik tokoh, tetapi oleh semangat amal shalih. Di setiap daerah, kita melihat anggota yang rela menyumbang waktu, tenaga, dan harta demi keberlangsungan sekolah, masjid, panti asuhan, atau program dakwah.
Sebuah ranting bisa berdiri jika punya amal usaha. Amal usaha bisa berupa masjid, panti asuhan, sekolah, atau kegiatan dakwah/kajian atau sosial yang dilakukan rutin. Pendirian dilakukan secara gotong royong, mulai dari jimpitan seribu rupiah dari jamaah persyarikatan, hingga mereka yang lebih berpunya mewakafkan tanah atau kebutuhan lain. Semuanya bergerak karena keyakinan bahwa amal kebaikan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.
Gerakan amal yang masif ini dapat berjalan karena ditopang organisasi yang efektif dan kuat, baik secara struktur maupun kultur. Struktur persyarikatan diatur rapi dari pusat, wilayah, daerah, cabang, hingga ranting. Namun lebih dari sekadar kerapian birokrasi, yang membuat Muhammadiyah kokoh adalah kultur komitmen—tradisi bekerja tanpa banyak bicara, tradisi tertib administrasi, tradisi loyal terhadap keputusan musyawarah, dan tradisi “menggerakkan amal usaha”, bukan sekadar memimpin organisasi.
Kultur ini membuat Muhammadiyah mampu bergerak cepat dalam banyak isu kemanusiaan. Saat gempa Palu, misalnya, struktur MDMC dari pusat hingga ranting bekerja simultan: relawan medis dikirim dalam hitungan jam, logistik dikonsolidasikan, dan pelayanan psikososial dibuka tanpa menunggu instruksi panjang.
Ciri lain yang menonjol dari Muhammadiyah adalah sifat egaliter. Tidak penting seseorang berasal dari keluarga terpandang atau bukan; tidak penting ia alumni sekolah mahal atau kampung. Yang paling dihargai adalah kontribusi nyata. Pemimpin di Muhammadiyah biasanya lahir dari mereka yang paling banyak memberi manfaat—baik melalui gagasan, tenaga, ilmu, waktu, maupun harta.
Di banyak daerah ditemukan kisah bahwa ketua ranting atau ketua cabang adalah orang yang mungkin secara ilmu agama biasa saja, tetapi konsisten menghidupkan amal usaha, merawat masjid, atau menginisiasi kegiatan sosial. Bahkan beberapa pimpinan wilayah atau pusat berasal dari latar belakang sederhana, namun dihormati karena pengabdian panjang dan kedisiplinan terhadap nilai persyarikatan.
Karena itu pula, warga Muhammadiyah cenderung jauh dari perebutan jabatan. Dalam kultur persyarikatan, memimpin berarti menanggung beban lebih besar, bukan menerima kehormatan sosial. Pimpinan harus siap mengorbankan waktu keluarga, siap mendengarkan kritik, dan siap menjadi garda terdepan ketika terjadi masalah. Siapa pun yang tidak siap berkontribusi paling besar akan tersingkir dengan sendirinya dari bursa pimpinan.
Nilai ini dipegang sangat kuat. Bahkan jika seseorang adalah anak tokoh besar Muhammadiyah, namun tidak siap berkontribusi untuk persyarikatan, maka tidak ada tempat istimewa baginya. Tempat di depan hanya untuk mereka yang siap berkontribusi dan siap menanggung beban paling besar.
Nilai egaliter ini diperkuat oleh spirit yang turun-temurun menjadi etos warga persyarikatan:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Prinsip ini membuat penyimpangan etika—seperti mengambil manfaat berlebih dari jabatan, memperkaya diri melalui proyek amal usaha, atau memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi—menjadi hal yang cepat tersorot dan dikoreksi bersama. Hal ini berlaku di semua tingkatan organisasi, terutama di tingkat bawah sebagai garda terdepan persyarikatan.
Bagi warga persyarikatan, menjaga integritas organisasi adalah fardhu kifayah kolektif. Amal usaha berdiri bukan untuk memperkaya individu, tetapi untuk kemaslahatan umat.
Pada akhirnya, Muhammadiyah adalah organisasi perjuangan—gerakan besar yang hidup dari idealisme amal kebaikan. Karena itu, mereka yang datang, bertahan, dan kemudian menjadi penggerak, biasanya adalah orang-orang yang ingin berkontribusi, bukan mengambil keuntungan.
Contohnya terlihat dalam gerakan dakwah komunitas seperti Komunitas Kaum Muda Muhammadiyah atau relawan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Banyak anak muda bergabung bukan karena diundang formal, melainkan karena menemukan ruang pengabdian yang murni. Mereka melihat organisasi yang memberi kesempatan luas untuk memberi manfaat, bukan organisasi yang mempersulit atau membatasi peran berdasarkan status sosial.
Sehingga bagi saya, besarnya aset dan banyaknya amal usaha bukanlah hal yang paling membanggakan dalam Muhammadiyah, tetapi jiwa sukarela jamaah persyarikatan, keikhlasan dalam beramal, etos kerja yang rapi, egalitarianisme yang kuat, serta budaya menjaga integritas.
Semua nilai ini membuat Muhammadiyah tetap relevan dari generasi ke generasi, menjadi pelita amal kebaikan bagi bangsa dan umat manusia, menyongsong masa depan yang lebih cerah melalui kerja nyata dan amal kebajikan. (*)








