Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Hampir mendekati setengah abad, eksistensi gerakan mahasiswa Muhammadiyah menjelma dalam ikatan gerakan untuk membangun bangsa dan negara. Melalui rumah besar Muhammadiyah, peran dan fungsi IMM sejak lahir hingga sekarang relatif konsisten menjalankan amanah persyarikatan sebagai organisasi otonom sekalipun banyak hal yang jauh dari harapan.
Entah apa hal ihwal yang menjadi beban gerakan IMM dalam belantika kebangsaan terkesan masih terlihat ragu-ragu dengan menunjukkan sikap dan perilaku kurang tegas dan lugas. Apakah karena ada dalam bayang-bayang persyarikatan Muhammadiyah sebagai induknya atau karena terlalu nyaman dalam zona aman pada posisi semua keanggotaan setiap saat dengan posisi ex-officio mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi Muhammadiyah menjadi anggota mahasiswa Muhammadiyah secara otomatis tergabung dalam ikatan yang bernama IMM.
Momentum muktamar yang digelar di Palembang, Sumatera Selatan, harus dijadikan kesempatan untuk evaluasi, konsolidasi, dan rekonstruksi gerakan mahasiswa Muhammadiyah yang maju dan memajukan. IMM sebagai entitas kelompok orang-orang terpelajar yang berbasis di kampus. Masih tetap tegak berdiri sebagai organisasi mahasiswa, IMM sempat terkenal dengan slogan “anggun dalam moral, unggul dalam intelektual” cukup menyita perhatian walaupun sulit membumi saat diejawantahkan dalam gerakan praksis.
Keterukuran capaian penilaiannya masih bersifat prediktif. Indikator-indikator yang disepakati sebagai alat ukur ketercapaian gerakan pembaharuan sebuah organisasi mahasiswa tidak ditunjukkan dengan hitungan kuantitas maupun kualitasnya. Plus-minus sebuah ikatan dalam rumah IMM, tuntutan kebebasan dan independensi gerakan masih jauh kalah dengan organisasi gerakan mahasiswa lain yang tidak memiliki induk organisasi yang terintegrasi atau berafiliasi semi mutlak pada induk organisasinya.
Karena itu, dapat dimaklumi keberadaannya andaikan pada saat tertentu apapun kehendaknya. IMM harus patuh dan manut pada sikap induk organisasinya baik dalam dinamika keberagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Formula gerakan IMM ke depan, suka tidak suka, harus mengikuti arah gerak laju gerakan dakwah persyarikatan Muhammadiyah dalam mewujudkan cita-cita, visi, dan misi yang ditetapkan dalam induk organisasi. Hanya titik fokusnya pada wilayah isu-isu kemahasiswaan dan diberikan ruang kebebasan sebagai agen muda dalam peradaban bangsa mewakili entitas komunitas mahasiswa.
Sekalipun hal tersebut dalam ruang dialektikanya masih mengesankan terbawa arus paham-paham orang tua yang kecenderungan kurang dinamis karena terkurung dengan manhaj dan pakem yang berlaku di lingkungan peryarikatan Muhammadiyah, sehingga ekslusivitas gerakan mahasiswa sangat tampak di permukaan.
Wajar dan tidak harus diperdebatkan, sisi psikologis penggerak IMM akan berusaha untuk tidak keluar dari manhaj atau pakem yang berlaku di Muhammadiyah. Walaupun sebenarnya, tidak mutlak juga ada larangan saat dialektika wacana dan keilmuan saling berbeda pandangan selama argumentasinya dapat dipertanggungajwabkan. Pada dasarnya, dialektika ilmu itu sangat dinamis. Andaikan ada sikap perseorangan dari pimpinan dan anggota persyarikatan yang anti kritik, keluhuran budi dan kebijaksanaan moral patut dipertanyakan.
Muktamar IMM kali ini ada penilaian bervariasi, menjelang hingga pelaksanaan digelar ada pandangan pihak-pihak tertentu pada sudut pandang berbeda. Seperti halnya saat fungsionaris Dewan Pimpinan Pusat IMM merapat ke istana seolah satu paket dengan kekuasaan yang dipandang anti perubahan, sehingga ada harapan entitas organisasi IMM harus bebas dan merdeka dari sentuhan kekuasaan.
Di sisi lain, sebagian memandang saat mereka para aktivis IMM dapat masuk area istana dan mampu mendatangkan Presiden RI pada perhelatan Muktamar menjadi sesuatu hal luar biasa dengan klaimnya sebuah prestasi bahwa mampu melakukan lobi dan negosiasi yang baik sehingga dianggap efektivitas komunikasi tersebut menunjukkan adanya nilai posisi tawar IMM di mata kekuasaan. Kira-kira begitulah yang tergambar secara prediktif dalam orkestrasi dinamika organisasi kemahasiswaan yang terjadi selama ini.
Apapun alasannya, klaim kebanggaan IMM dalam sambutan Ketua Umum menyampaikan apresiasi kehadiran Presiden RI karena baru Muktamar sekarang IMM mampu mendatangkan orang nomor satu Indonesia, hal tersebut telah menjadi kebanggaan bagi DPP IMM saat muktamar kali ini.
Terlepas ada unsur dan motivasi politis, kemampuan para aktivis IMM dapat mampu berkomunikasi dengan lingkaran kekuasaan menunjukkan keterujian interpersonal skills yang patut diapresiasi dengan bijak. Adapun di balik itu ada konsekuensi politis.
Hal wajar dan lumrah dalam dinamika berorganisasi asalkan tidak melakukan pelanggaran kaidah agama, hukum, moral dan kaidah-kaidah lainnya yang menghancurkan reputasi organisasi, khususnya IMM sebagai ortom persyarikatan Muhammadiyah. Justru, apabila ada hadiah dan hibah materi atau pun jenis lain untuk keberlangsungan organisasi harus dijadikan pola dan model tata kelola organisasi lebih sehat dan kompetitif.
Pasalnya, diakui atau tidak keberadaan dan eksistensi organisasi mahasiswa selama ini menjadi media bangku kuliah yang tidak masuk beban SKS di kurikulum kampus, padahal hal tersebut banyak pembelajaran sangat berharga nilainya sehingga tidak sedikit lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh berpengaruh lahir dari rahim organisasi mahasiswa, seperti di IMM.
Bermuktamar, selain mengevaluasi dan konsolidasi organisasi, juga dapat dijadikan ajang silaturahmi antar generasi. Berbicara dan berdialog bersama membahas kondisi IMM hari ini dan esok hari dilihat dari berbagai perspektif, baik berperan dalam dinamika di kancah persyarikatan, keumatan, dan kebangsaan. Berdiaspora sesuai minat, bakat dan ruang-ruang lain yang dijadikan tujuan oleh para kader di berbagai level. Alumni yang menjadi tokoh persyarikatan di berbagai tingkatan, tokoh keumatan dan tokoh kebangsaan harus diminta komitmen untuk memberikan arahan taktis dan strategis untuk keberlangsungan sinergitas organisasi ikatan secara simultan.
Ego keakuan di antara alumni-alumni ruangnya diperkecil. Tradisi dan kebiasaan fatsun personal yang tidak objektif dipersempit dan perlu diperhatikan juga untuk mengikis indikasi sifat “manja” pimpinan dan anggota ikatan di lingkungan IMM dengan merasa aman dengan stok anggota tidak ada kekhawatiran akan habis karena adanya perguruan tinggi Muhammadiyah. Padahal, saat berhadapan dengan ormawa lain selain IMM terlihat maju dan berkembang di lingkungan PTM langsung blingsatan mencari cara untuk menahan laju pergerakan mereka.
Mari merenung dan berkontemplasi, gerakan IMM dalam dekade belakangan ini eksistensinya terbilang masih aman walaupun belum terlihat bombastis menjadi pelopor dan pemeran utama dalam dinamika gerakan mahasiswa dalam berbagai isu-isu nasional, regional dan seputar isu-isu lokal hal ihwal dunia kampus. Hal itu diuntungkan karena adanya PTM/A yang menjadi lumbung kader ikatan. Namun jika lalai tanpa membina secara sistemik dan agresif, tidak menutup kemungkinan akan terjadi peristiwa yang memalukan dan memilukan para founding father atau pendiri ikatan, tidak mustahil akan terjadinya “kader ikatan akan mati dalam lumbung ikatan”.
Hal itu pernah terjadi di beberapa PTM yang tidak ada eksistensinya bahkan “mati suri” nyaris tidak aja jejak gerakan ikatan mahasiswa Muhammadiyah. Semoga fenomena itu tidak terjadi hari ini dan di masa mendatang akibat lalai, abai, tak peduli dan jemawa bahwa PTMA masih ada.
Momentum muktamar ikatan senyatanya tidak dapat dimungkiri, dinamikanya selalu yang muncul dan tampak di permukaan tidak lebih fokusnya pada laporan pertanggungjawaban yang berkonsekuensi pada perebutan kursi IMM 01 di Menteng 62 dan anggota formatur untuk fungsionaris harian satu periode ke depan. Padahal, banyak hal krusial untuk sebuah gerakan ikatan dalam belantika dinamika organisasi pada level nasional, regional, dan lokal kampus-kampus. Bahkan, nyaris tidak menjadi isu strategis hal ihwal minusnya keberadaan IMM di kampus non-PTM dan sangat tidak dikenal oleh para mahasiswa pada umumnya.
Rutinitas periodisasi kepemimpinan tingkat pusat di ikatan sebagai salah satu organisasi otonom di persyarikatan Muhammadiyah tak lebih hanya perpindahan periode sebelumnya ke periode berikutnya, dan setelah itu selesai good bye. Selanjutnya pasca muktamar ikatan, masalah klasik timbul kembali seperti biasa tanpa ada solusi hasil dari muktamar dan akhirnya terus berulang-ulang masalah yang sama. Entah sampai kapan hal ihwal permasalahan itu terus terjadi dan terjadi menjadi siklus tanpa ada inovasi solusi? Wallahu’alam.
Ace Somantri
Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Alumnus IMM