Ke mana Majelis Syura (MPR) saat karut-marut Pilpres. Saat politisi kehilangan pegangan. Saat negara kehilangan haluan. Saat ratusan petugas KPU berguguran. Saat krisis kepercayaan terhadap lembaga Pilpres meruak. Saat politik identitas terus menguat. Saat aspirasi rakyat dibenam oleh ancaman dan ketakutan. Saat demokrasi dirampok para oligarki. Tak ada lagi lembaga musyawarah, habis sudah.
Disebutkan dalam salah satu pasal UUD 45 bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Syura (Majelis Permusyawaratan Rakyat).”
Alangkah bijaknya para ulama kita terdahulu mengemas kata. Majelis Syura menjadi MPR. Sehingga bisa diterima oleh semua dan menjadi salah satu pasal paling penting dalam UUD 45.
Anggota Majelis Syura terdiri dari semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Terdiri dari para cendekiawan, teknokrat, sosiolog, politisi, saudagar para alim dan ulama juga para bijak bestari para pemangku adat di negeri ini.
Pada Majelis Syura inilah, seorang bakal calon Presiden diseleksi, diuji kemampuan dasarnya, nasionalismenya, patriotismenya. Apakah bisa membaca urut Pancasila, apakah bisa membaca Fatihah, syukur hafalan surat-surat pendek, kemampuan fisiknya termasuk tes kejiwaannya.
Pendek kata, pada Majelis Syura (MPR) semua soal bersangkut calon Presiden dibahas tuntas. Baru kemudian layak dicalonkan atau tidak, yang kemudian dipilih dan ditetapkan berdasar Musyawarah Akbar (Sidang Umum) Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai majelis tertinggi.
Presiden adalah mandataris Majelis Syura. Presiden bertanggung jawab kepada Majelis Syura, sekurang-kurangnya setahun sekali Presiden menyampaikan hasil kinerjanya atau lima tahun pada akhir masa jabatan. Masya Allah, apa ada yang lebih elok, apa ada yang lebih Islami dari “fatsal-fatsal” di atas, yang disusun para ulama founding father di awal kemerdekaan.
Piagam Jakarta boleh dibenam. Tujuh kata dalam sila pertama Ketuhanan boleh dihapus. Tapi substansi nilai-nilai Islam yang ditanam pada preambul Pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 45 tidak ikut dihapus. Artinya, Islam masih kokoh tegak secara substantif dan legitimate berdasar legalitas.
Alangkah bijaknya Ki Bagoes Hadikoesoemo (PP Muhammadiyah saat itu) dan para ulama lainnya tetap santun dan bijak berkata. Tidak membuat gaduh dan mencela pemimpin di pinggir-pinggir jalan. Ki Bagoes langsung menusuk di jantung pertahanan lawan berdebat dengan kaum nasionalis sekuler dan abangan.
Bersilat kata-beradu hujjah. Agar syariat Islam tetap tegak berdiri di Majelis Syura yang dikemas dengan kata Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan Ki Bagoes Hadikoesoemo memberi teladan bagaimana berpolitik tanpa gaduh dengan hasil nyata.
Sampai kemudian ada penyimpangan pada masing-masing rezim. Baik Orde Lama maupun Orde Baru. Soekarno menahbiskan dirinya sebagai penafsir tunggal Pancasila. Hingga Dekrit Presiden kembali kepada Pancasila dan UUD 45. Setelah sebelumnya UUDS 50 dijadikan dasar negara.
Demokrasi Terpimpin seakan menggenapi kecelakaan sejarah demokrasi di Indoenesia. Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Dan tokoh komunis, Dja’far Natsir (Nusantara) Aidit menyebut Pancasila hanya alat, seperti sapu lidi setelah bersih boleh ditinggalkan.
Pada rezim Orde Baru kurang lebih juga sama. Salah satu kelemahan mendasar adalah tidak adanya batasan periode. Sehingga seorang Presiden bisa menjabat lebih dari tiga hingga lima kali. Kekuasaan militer-sentralistik menjadi sebab berbagai soal. Indoktrinasi, monoloyalitas, dan lembaga Presiden menjadi sangat dominan bahkan mengalahkan lembaga sekelas Majelis Syura.
Bahkan ada kesan Majelis Syura harus datang meminta kesediaan yang mulia Pak Harto untuk berkenan diangkat kembali. Semacam dagelan demokrasi lima tahunan yang terus berulang.
Masa reformasi. Inilah orde paling bebas, paling liberal. Sebuah orde tanpa weltstanchaung. Tak punya lagi philosophische groundslach. Bangsa ner-kepribadian. Hilang budi, hilang nalar. Saking bebasnya, kita bisa “menelanjangi” Presiden.
Demokrasi voting telah jauh menyimpang dari demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah. Ongkos demokrasi begitu mahal. Praktik politik transaksional tidak terkendali. Kecurangan dan manipulatif vulgar terlihat. Korupsi makin menggila seakan berebut cerdas antara koruptor dengan lembaga anti korupsi.
Tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban yang mengatur kinerja Presiden. Musyawarah Akbar atau Sidang Umum MPR sudah tiada. Negara tanpa haluan. Semua berlangsung bebas atas nama rakyat. Inilah hasil reformasi yang dibanggakan itu, ini dosa besar. Siapa pun pelakunya bakal menerima royalti dari setiap keburukan yang dialami bangsa ini.
Reformasi mengambil keburukan sistem sosialis ekstrem di mana suara rakyat dianggap suara Tuhan. Dan mengambil kebebasan liberal di mana kebebasan tanpa batas menjadi taghut atas nama demokrasi. Dan semua karut-marut ini bermula ketika MPR mengamandemen UUD 45.
Amandemen UUD 45 itulah sumber petaka, sumber segala kisruh. Merusak sistem kenegaraan dan pemerintahan. Siapapun Presidennya tak bakal mampu mengembalikan kondisi membaik, kecuali melakukan dekrit kembali ke UUD 45. Karena secara de jure: Negeri Kesatuan Republik Indonesia sudah bubar atau punah semenjak UUD 45 diamandemen.
Mengembalikan ke UUD 45 inilah jihad konstitusi, jihad besar Muhammadiyah bukannya larut dalam konflik picisan. Atau ikutan konflik yang tidak substantif. Wallahu taala a’lam.