21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini Pilihan Editor

Rekontekstualisasi Teologi Al-Ma’un

Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

Sudah satu abad lebih Kiai Dahlan melakukan inovasi beragama Islam warga Indonesia, dengan paham dan pengalaman memaknai ayat-ayat Ilahi yang keluar dari paham mainstream kala itu. Kegelisahan dan sikap respek terhadap realitas sosial menjadikan Al-Qur’an surat Al-Ma’un menjadi senjata yang sangat ampuh mampu menembak dan membunuh musuh kemanusiaan, yaitu kebodohan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan lainnya.

Dianggap aneh dan nyeleneh di kala itu, namun di balik apa yang dikerjakan atau diperbuatnya mengubah dunia khususnya wajah Islam bangsa Indonesia.

Keyakinan yang memperkuat Kiai Dahlan berbuat demikian sumber utamanya dari ilmu pengetahuan yang didapat dari Al-Qur’an. Untuk mengubah realitas sosial yang memprihatinkan, cukup beberapa ayat Ilahi. Bahkan bertahan hingga satu abad lebih nilai kebermanfaatannya nyaris tak ditelan masa.

Dapat diprediksi selama dunia ini berdiri tegak maka nilai-nilai yang dikembangkan Kiai Dahlan tetap hadir di tengah-tengah dinamika kehidupan manusia. Kenapa itu dapat terjadi dan penuh keyakinan, alasannya karena sumbernya dari Al-Qur’an. Dan dipahami betul bahwa Al-Qur’an tidak terbatas ruang dan waktu.

Penting bagi umat muslim yang berpikir, pemaknaan keabadian ayat-ayat Ilahi tidak berlaku dalam kontekstualisasi kehidupan alam. Teks nashnya tidak ada perubahan, dan itu mustahil terjadi. Akan tetapi, implementasi dalam kontekstualisasi kehidupan pada setiap generasi manusia harus diubah.

Hal itu penting dipahami oleh siapapun umat Islam, sehingga generasi muslim mampu membuat dinamika kehidupan tetap survive. Minimal mampu menghadapi tantangan yang muncul di hadapannya setiap saat, lebih tepatnya rekontekstualisasi makna ayat nash.

Rekontekstualisasi bukan mengubah ayat nash, melainkan memaknai setiap realitas alam dan isinya yang menimbulkan berbagai dinamika kehidupan. Maka, ayat nash harus tetap memberikan rumusan terbarukan secara praktis dan solutif.

Karena hakikatnya, seluruh ayat-ayat nash berlaku sepanjang masa sekalipun dinamika alam terjadi perubahan sangat cepat. Sehingga siapapun yang meyakininya, setiap apapun yang terjadi Al-Qur’an harus dijadikan tools mutlak dalam penyelesaiannya.

Begitupun teologi Al-Ma’un yang digagas Kiai Dahlan satu abad yang lalu harus ada rekontekstualisasi, baik dalam rumusan praktis maupun objeknya. Di era global digital, umat muslim pada umumnya mengalami ketertinggalan. Hal tersebut terlihat bagaimana bebannya umat muslim setiap saat harus membeli kuota hanya bersifat konsumtif hingga tergopoh-gopoh, hampir dipastikan yang mengendalikan sistem teknologi perangkat keras dan lunak bukan entitas muslim.

Artinya, saat ini kondisi umat muslim Indonesia ada dalam situasi  kebodohan dan kemiskinan teknologi. Jangankan rakyat biasa, negara saja dengan kekuatan finansial dan regulasi. Buktinya tidak mampu menjaga kedaulatan sistem data yang dibuat, apalagi masyarakat biasa hari-harinya menjadi sapi perahan kekuatan monster teknologi digital.

Fakta demikian bukan berarti tidak ada orang muslim yang memiliki kemampuan hal tersebut, melainkan sosoknya sangat mungkin tidak memiliki sikap respek dan peduli terhadap realitas kemiskinan umat muslim dalam sistem teknologi digital yang diakibatkan penanaman nilai-nilai keislaman yang dangkal, atau sangat mungkin umat muslim menolak realitas tersebut hingga tetap nyaman di zonanya.

Memang pada umumnya, para praktisi dunia teknologi memiliki sikap materialistis dan pragmatis. Sangat wajar jika dipahami demikian oleh sebagian orang di era perilaku manusia saat ini sangat hedonis.

Rekontekstualisasi teologi Al-Ma’un syah digagas ulang sesuai era kekinian, kala itu Kiai Dahlan fokus pada pendampingan orang-orang tak berdaya selemah-lemahnya manusia dalam pendidikan dan kesejahteraan sosial. Di era hari ini, teologi Al-Ma’un fokus pada pendampingan bukan lagi memberi makan anak yatim piatu, melainkan dhuafa atau lemah kesadaran, lemah teknologi, lemah kejujuran, lemah keterbukaan, lemah profesionalitas, lemah keikhlasan, lemah syukur, dan lemah berbagi kesempatan kepada orang lain.

Dampak kelemahan tersebut mengakibatkan dirinya berupaya memperlihatkan sikapnya seolah baik, hebat dan memiliki kemampuan. Padahal realitasnya tidak ada sesuatu yang mengubah lingkungannya lebih baik.  

Manusia pada umumnya sombong dengan hartanya, takabur dengan jabatannya dan riya dengan prestisenya. Parahnya sikap demikian tidak disadari, lebih ironisnya lagi yang bersangkutan mengajarkan sederhana kepada orang lain yang lebih sederhana. Akan tetapi, dia memiliki kendaraannya bagus, rumahnya bagus, jabatannya mentereng, dan juga sering mengajarkan keadilan kepada pemimpin bangsa dan umat sementara sikapnya sendiri cenderung menggunakan pendekatan “like and dislike” bak penguasa atau dewa yang selalu benar segala pendapat dan keputusan yang diambilnya.

Termasuk dalam menjabat dan memimpin institusi, baik para pengabdi bangsa dalam jabatan negara maupun jabatan organisasi sosial serta entitas lainnya yang selalu berlama-lama menikmati jabatan dan kekuasaannya. Fenomena tersebut menunjukkan kelemahan yang sebenarnya dalam sikap keberagamaan dalam kehidupan nyata.

Sikap di atas menunjukkan sebuah fenomena kemiskinan dan dhuafa moral, sehingga kontekstualisasi Al-Ma’un sebaiknya memberi asupan dan nutrisi makanan dalam bentuk immateri untuk meningkatkan nilai keberagamaan lebih baik.

Menolong para pejabat, birokrat dan pemimpin organisasi untuk diingatkan agar tidak terjerembap perilaku ananiya dan supaya memberikan ruang keadilan dan keadaban yang terbuka dan transparan. Sehingga tidak alergi terhadap kritik dan saran dari bawahan dan dari kolega dekat, begitupun sebaiknya tidak menganggap kritikan sebuah ancaman terhadap jabatannya.

Sedikit memahami terkait makna dari teks nash, sependek yang diketahui  dalam ilmu Al-Qur’an dikenal ada istilah asbabunuzul sebagai sebab dan hikmah dibalik turunnya ayat Ilahi, begitu pun al hadits dikenal istilah asbabulwurud. Dimaknai istilah asbabunuzul maupun asbabulwurud hal itu merupakan kontekstualisasi peristiwa yang dijadikan alasan sebuah ajaran Islam untuk diimplementasikan.

Teks nash tidak berubah, namun kontekstualisasi bersifat temporal yang memungkinkan saat ditarik pada konteks lain dalam waktu dan tempat berbeda diperlukan kajian empiris. Dijelaskan dalam ilmu Al-Qur’an ada kaidah yang populer yaitu al ibroh bi umumi al-lafdzi wala bi khususi al- asbab, dipahami penyebab hukum syariat dapat berubah karena sebab alasan tertentu atau istilah ilat dalam term ushul fiqh.

Rekontekstualisasi paham ajaran Islam dalam implementasinya di berbagai masalah kehidupan masyarakat sebaiknya dilakukan. Hal itu untuk meningkatkan dan memajukan pengetahuan, wawasan dan keterampilan umat muslim menjalankan syariat sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi setiap generasi manusia.

Sangat mungkin fenomena umat muslim pada umumnya tertinggal dari peradaban karena pengetahuan, wawasan dan keterampilan tidak update kontekstualisasi ajaran Islam yang sangat visioner. Tanggung jawab para ilmuwan harus mampu mengubah paradigma berpikir, termasuk selalu melakukan rekontekstualisasi setiap implementasi ajaran Islam yang bersifat umum (kulli), ijmali atau global. Termasuk bagi aktivis Muhammadiyah merekontekstualisasi teologi Al-Ma’un. Wallahu’alam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *