KLIKMU.CO – Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Malang Raya turut prihatin atas tragedi kelam di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022 setelah laga Arema FC vs Persebaya dalam lanjutan Liga 1 Indonesia. Tragedi tersebut banyak memakan korban luka-luka, trauma, bahkan meninggal.
Berdasarkan laporan Pemerintah Kabupaten Malang, sampai 5 Oktober 2022, jumlah korban meninggal dunia mencapai angka 130 jiwa. Jumlah korban tersebut tercatat sebagai tragedi terbesar nomor dua sepanjang sejarah sepak bola dunia.
Ketua Umum PC IMM Malang Raya Kokoh Dwi Putera mengatakan, tragedi tersebut meninggalkan beberapa kejanggalan. Di antaranya, penolakan PT LIB atas saran yang diberikan oleh pihak keamanan terkait perpindahan jadwal pertandingan ke sore hari. Kemudian, jumlah tiket penonton yang dijual oleh panpel melebihi dari kapasitas penonton yang seharusnya, adanya tindakan represif dilakukan oleh beberapa aparat yang keluar dari prosedur keamanan yang terhadap suporter dan penonton, serta penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan yang bertentangan dengan peraturan FIFA Stadium Safety and Security Pasal 9 huruf b yang mengatur secara tegas larangan membawa dan menggunakan senjata api atau gas pengendalian massa.
Tak hanya itu, pintu keluar stadion yang terkunci dan tidak adanya penjaga di pintu tersebut, padahal dalam regulasi PSSI 2021 pasal 21 huruf b yang mengatur bahwa panpel wajib memastikan masing-masing pintu dan gerbang harus dijaga setiap saat oleh strewards yang ditunjuk secara khusus untuk menjaga dari penyalahgunaan dan memastikan rute evakuasi jika terjadi situasi darurat.
“Juga adanya pembungkaman terhadap saksi dengan cara diancam dan diculik oleh pihak keamanan ketika akan memberikan kesaksian kepada salah-satu media massa serta data jumlah korban meninggal yang memiliki banyak versi,” kata Kokoh dalam keterangan yang diterima KLIKMU.CO, Kamis (6/10).
Di sisi lain, para korban selamat maupun keluarga korban yang meninggal atas tragedi Kanjuruhan sangat beresiko mengalami hambatan psikologis, baik dalam jangka waktu pendek hingga panjang. Salah satu korban selamat menuturkan, banyak fakta di lapangan mengenai upayanya untuk melindungi saudara-saudari yang ia bawa, teriakan-teriakan dari para penonton yang meminta tolong karena terjepit kerumunan, terjatuh dan terinjak-injak, tertindih akibat terdorong dari belakang, serta dengan mata kepalanya sendiri melihat beberapa supporter yang akhirnya harus terenggut nyawanya akibat patah leher, kehabisan nafas, dan lain sebagainya. Korban begitu dihantui oleh kejadian tersebut hingga membuatnya mengalami gangguan tidur dan makan selama 3 hari pascatragedi.
Meski demikian, respons psikologis yang ditunjukkan oleh para korban adalah respon normal mengingat kondisi mengerikan dan mencekam yang terjadi selama tragedi berlangsung. Menurut Koko, beberapa korban mungkin memiliki regulasi emosi dan penanganan masalah yang efektif sehingga dalam kurun waktu yang sebentar dapat memulihkan kondisinya sendiri.
Namun, umumnya lebih banyak yang terjebak dalam bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga mulai mengembangkan simtom-simtom gangguan psikologis sampai enam bulan berikutnya. Di fase inilah, krisis mulai berkembang menjadi patologis dan persoalan menjadi kian rumit ditangani, bahkan oleh para profesional di bidang psikologi klinis sekalipun.
“Dalam perspektif psikologi komunitas, penanganan dibangun tidak hanya melalui bentuk kuratif, melainkan juga promotif dan preventif. Gerakan promotif perlu digalakkan, terutama untuk menyadarkan lebih banyak pihak untuk berani menyuarakan dampak psikologis yang mereka alami pascatragedi tersebut, tanpa perlu takut akan diancam atau diteror oleh pihak manapun,” jelas lulusan UMM itu.
Selanjutnya, semakin banyak yang bersuara tentu semakin banyak orang yang dapat ditolong agar terhindar dari gangguan-gangguan psikologis yang berpotensi terjadi pada diri mereka sendiri atau keluarga mereka. Selain itu, gerakan preventif perlu ditingkatkan, terutama dengan model psychological first aid (PFA) dengan mengunjungi langsung para korban dan keluarga korban serta menawarkan bantuan-bantuan untuk menangani permasalahan psikologis atau trauma yang dialami. Karena itu, salah besar jika para psikolog klinis hanya menunggu datangnya klien melalui skema atau lainnya. karena hal tersebut hanya menunjukkan ketidakpekaan mereka terhadap kondisi krisis yang terjadi.
Sikap IMM
“Berdasarkan hasil kajian dan analisis komperhensif IMM Malang Raya terhadap tragedi di Stadion Kanjuruhan, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya menyatakan delapan sikap,” tegasnya.
Pertama, mengecam keras aparat keamanan yang melakukan tindakan represif, menembakkan gas air mata kepada penonton yang tidak sesuai dengan peraturan FIFA, Perkapolri, dan hak asasi manusia, serta pembungkaman terhadap saksi.
Kedua, mendesak kepolisian dan TNI untuk melakukan evaluasi pengamanan dan menindak secara tegas pelaku pelanggaran prosedur keamanan.
Ketiga, mendesak PSSI untuk bertanggung jawab, mengevaluasi, menindak tegas PT LIB dan Panpel Liga terkait SOP keamanan dan penjualan tiket pertandingan serta meninjau kembali jadwal pelaksanaan pertandingan.
Keempat, meminta Pemerintah Kota/Kabupaten Malang Raya untuk ikut bertanggung jawab dan membantu korban serta keluarga korban kejadian tersebut.
Kelima, mendesak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang untuk memastikan kevalidan data jumlah korban dan melaporkannya secara transparan.
Keenam, mendesak Komnas HAM untuk mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dalam kejadian tersebut.
Ketujuh, mendesak Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Cabang Malang Raya dan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) Wilayah Jawa Timur untuk bersatu dalam memberikan bantuan psikologis dan menumbuhkan kesadaran para korban maupun keluarga korban agar berani menyuarakan dampak psikologis yang dialami.
Kedelapan, mendesak pimpinan universitas se-Malang Raya untuk merekrut dan melibatkan mahasiswa-mahasiswa psikologi di tiap sektor untuk membuka layanan hotline perihal asesmen psikologis & pemberian psychological first aid.
“Demikian pernyataan ini kami sampaikan. Usut tuntas karena tidak ada sepak bola yang seharga nyawa manusia. Semoga lekas pulih persepak bolaan Indonesia,” pungkasnya. (AS)