Revolusi Teologis untuk Mencegah Perilaku Korupsi

0
68
Thoat Stiawan. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Thoat Stiawan

KLIKMU.CO

Salah satu topik global yang sedang menjadi perbincangan masyarakat saat ini adalah masalah korupsi. Bagaimana solusi pencegahan korupsi juga menarik perhatian besar dari komunitas internasional.

Karena itu, berbagai diskusi sudah sering dilakukan oleh para akademisi secara  ilmiah, baik melalui kajian dan survei, untuk membicarakan topik pencegahan korupsi ini. Dimulai dengan alasan korupsinya, efeknya, tipologinya, hingga tindakan perbaikan yang dapat diusulkan sebagai jawaban atas permasalahan tersebut.

Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi masyarakat Indonesia sekarang ini. Meski pemberantasannya semakin meningkat, belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah ini dapat segera di atasi. Indonesia tetap negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.

Fenomena ini tentunya merupakan sesuatu yang sangat menyedihkan dan ironis. Di saat yang sama, di tengah masyarakat dunia dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, justru kejahatan korupsi di Indonesia dapat tumbuh subur dan menjamur, bahkan berkembang secara masif.

Diskursus tentang solusi pencegahan korupsi pada belakangan ini disinyalir relatif ramai dibicarakan oleh para pakar dan penggiat hukum, juga pemerhati politik dan pemerintahan. Salah satu bentuk pencegahan korupsi saat ini dengan menggunakan pendekatan konvensional yang non-teologis dilihat dari fakta lapangan masih mengalami kebuntuan.

Faktor penyebabnya adalah  krisis moral, identitas, dan situasi sosial, serta propaganda kelompok yang mengutamakan strategi penanggulangan korupsi dengan pendekatan perbaikan aturan perundang-undangan daripada pendekatan teologis. Karena itu, bisa dikatakan pendekatan konvensional yang nonteologis selama ini ternyata tidak efektif. Sebab, ia hanya bersifat exterior superficial (stiyyun wa ẓâhiriyyun), bukan solusi yang mendalam, sehingga dibutuhkan solusi yang mencapai hingga masuk ke kedalaman substansi permasalahan, yakni pendekatan teologi atau agama.

Menurut hemat saya, pencegahan korupsi ditemukan melalui tiga strategi, yaitu detektif, preventif, dan represif. Strategi detektif dan preventif ditempuh melalui tiga cara: penguatan akidah, penguatan kalbu, dan penguatan moralitas. Sedangkan strategi represif ditempuh melalui empat cara: penguatan lembaga pengawasan (al-isbah), penguatan hukum yuridis dan dunia peradilan, penguatan masyarakat, dan penguatan aspek religiusitas. Sementara strategi detektif, preventif, dan represif secara keseluruhan ditempuh melalui cara penguatan basis-basis dan nilai-nilai teologis.

Relevansi Teologi dengan Pencegahan Korupsi

Hal menarik yang lain bahwa intervensi pendekatan teologis yang dideskripsikan oleh agama di dalam pencegahan korupsi dapat mewujudkan pembangunan peradaban masyarakat muslim (baldatun ayyibatun wa rabbun ghafûr), yakni terbangunnya peradaban masyarakat muslim, terciptanya keamanan dan stabilitas politik, terciptanya kenyamanan dan kenikmatan kehidupan, menunjukkan kepada kebenaran (al-haq), melimpahnya rezeki, terpeliharanya ketahanan negara dari musuh, dan terwujudnya pertolongan dan kemenangan.

Iman Melahirkan  Perilaku dan Aktivitas Baik

Iman yang teguh sejatinya melahirkan aktivitas yang baik, bermanfaat, dan mulia bagi masyarakat dan negara. Iman yang teguh juga sejatinya melahirkan perbaikan tata kelola harta, negara, dan melahirkan pemeritahan yang bersih dan baik (good governance), serta berdampak pula bagi berkurangnya perilaku korupsi, manipulasi, dan penyimpangan jabatan dan kedudukan.

Sebagaimana iman yang buruk akan melahirkan aktivitas yang buruk, tata kelola harta dan negara yang buruk, dan pemerintahan yang buruk, yang jauh dari kemuliaan dan manfaat bagi masyarakat umum dan rakyat, dan jauh dari cita-cita para pendiri bangsa, yakni memajukan kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh bangsa dan penduduk negeri.

Allah Swt telah memberikan permisalan tentang perbuatan yang baik (tauhid) dan perbuatan yang buruk (kufur), sebagaiamana telah ditegaskan dala surat Ibrāhim/14: 24-26.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ.تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ ٱجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ ٱلْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”

Menurut Wahbah az-Zuhayli: “Kalimat yang baik adalah keimanan atau LâIlâha Illallâh Muhammad rasûlullâh, orang beriman itu sendiri adalah sesuatu yang kokoh dan kekal, yang baik dan bermanfa’at. Pemilik pohon yang baik adalah orang-orang beriman, dan pemilik pohon yang buruk adalah orang-orang kafir, dan para pelaku kemaksiatan atau kejahatan”( Wahbah Az-Zuaili, 1991).

Korupsi Merupakan Perbuatan Khabîṡah

Dalam khazanah hukum Islam, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai. Ketika para fuqaha’ berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar seperti yang diharamkan dalam Al-Qur’an, tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi, dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas  (al-amanah), dan tanggung jawab.

Perbuatan (serupa) korupsi dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat, dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah SWT (Fazzan: 2015).

Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji (khabîṡah). Kata khabîṡah berasal dari bahasa arab dari kata dasar khabuṡa- yakhbuṡu- khabîṡatan yang memiliki arti jelek/jahat atau perbuatan jelek/perbuatan jahat (Al-Munawwir, 2002). Menurut Ibn Faris, makna khabuṡa adalah khilāf at-ṭayyib atau laisa biṭayyibin yang berarti “bukan hal yang baik” (Maqāyis Al-Lughah: 238).

Di dalam Al-Qur’an, kata al-khabīṡah memiliki pengertian “keji” sebagaimana dalam Al-Qur’an surat An-Nur (24) ayat 26:

ٱلْخَبِيثَٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan lakilaki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanitawanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)”.

Meningkatnya dan menggejalanya perilaku korupsi, manipulasi, dan penyelewengan jabatan yang selanjutnya berdampak pada munculnya kerusakan tata kelola harta dan manajemen negara atau pemerintahan adalah tergolong khabîṡah yang bisa digolongkan sebagai tindak kriminal (maksiat) dan konteks suap (riswah), pencurian (saraqah), penipuan (alghasysy) dan pengkhiantan (khiyanah). (*)

Thoat Stiawan
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Surabaya, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini