Rezim Dasamuka, Dusta Sini Dusta Sana

0
147
Punden Dasamuka di Dusun Tawang, Kelurahan Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen. (Foto istimewa)

Oleh Ferry Is Mirza DM
Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim

Rabu 13 Juli lalu, dengan tegas dan jelas Presiden Jokowi menyatakan menjamin harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, listrik, dan gas LPG tiga kilogram tidak akan naik hingga akhir tahun 2022.

Sabtu 3 September lalu, atau kurang dari 90 hari, Jokowi dikawal Menkeu Sri Mulyani, Men ESDM Arifin Tasrip dan Dirut Pertamina Wieke W di istana negara mengumumkan kenaikan BBM.

Karuan saja kebijakan tidak populer yang disampaikan pukul 13.30 WIB dari ruang tengah istana yang ber-AC dingin itu, bagi rakyat kebanyakan bak petir di tengah hari bolong saat terik matahari pas diatas kepala.

Pernyataan yang diucapkan atau dijanjikan Jokowi kerap tidak sesuai. Kenyataan ini bisa dirunut dijejak digital Jokowi. Dari mulai jadi Walikota Solo, janji tentang produk mobil Esemka, hingga kini hanya isapan jempol.

Begitu pula saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, kepada pers Jokowi bilang tidak setuju dengan program pemerintah –kebijakan Presiden SBY– perihal BLT. Nah setelah jadi presiden, ternjata Jokowi bersama Erik Tohir Men BUMN getol pencitraan dengan membagi BLT BBM senilai Rp. 600 ribu per KK.

Pertumbuhan ekonomi pun jeblok. Jokowi janji pada awal jadi presiden akan membuat nilai rupiah Rp 10.000 terhadap per dolar Amerika. Ternyata cuma pepesan kosong.

Rupanya rezim ini sudah kebiasaan berjanji, kemudian diingkari lagi. Dalam hal ini Jokowi selaku presiden dan kepala negara pimpinan tertinggi pemerintah.

Belum genap sebulan rakyat merayakan HUT kemerdekaan RI ke 77 dengan segala euforianya yang dirayakan dengan jogetan “Ojok Dibandingke” para menteri di hadapan Jokowi di halaman istana Merdeka acara upacara peringatan Proklamasi, rakyat dihantam dengan kenaikan harga BBM.

Belum selesai menghadapi krisis pasca pandemi, kini diperberat lagi dengan melonjaknya harga barang akibat kenaikan harga BBM. Rakyat belum pulih dari luka, pemerintah sudah menghajar lagi.

Tidak berlebihan kalau rezim ini disebut “rezim spesialis nyusahkan rakyat”. Sebab selama dua tahun terakhir ini, rakyat dipersulit dengan berbagai kebijakan. Contoh : kebijakan penanganan Covid yang amburadul. Korupsi bansos dan pembagian cuan dalam bisnis PCR dan Antigen.

Kemudian disusul lagi dengan kebijakan mengenai minyak goreng. Negara penghasil minyak sawit justru mati diladang sawit akibat kebijakan pemerintah yang salah. Hingga terjadi korupsi besar-besaran akibat permainan mafia minyak goreng. Seperti si Apeng

Sulit bagi kita menemukan sisi keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam mengurus negara dan rakyat. Dalam keadaan negara yang tidak baik-baik saja, justru pemerintah menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kaltim.

Kebijakan membangun IKN ini tidak tepat, pemborosan anggaran negara. Begitu pun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang terus mangkrak hingga setiap tahun ada penambahan anggaran, adalah kebijakan yang tidak tepat bagi rakyat.

Semua yang tidak tepat sasaran diteruskan demi ambisi “Bapak Infrastruktur”. Namun kebijakan yang sasarannya untuk dapur dan kantong rakyat di perberat terus menerus, hingga rakyat benar-benar miskin, dimiskin oleh kebijakan pemerintah. Ini Rezim spesialis mensengsarakan rakyat bukan memsejahterakan.

Kenaikan harga BBM menurut Jokowi disebabkan karena subsidi tidak tepat sasaran. Kalau subsidi tidak tepat, seharusnya pemerintah memperbaiki penyaluran subsidi BBM nya supaya tepat.

Solusi dari subsidi tidak tepat ternyata menaikkan harga BBM. Padahal penyaluran subsidi yang tidak tepat tidak ada hubungannya dengan harga BBM.

Jadi kebiasaan mencari kambing hitam dalam kebijakan sudah biasa dilakukan oleh rezim Revolusi Mental ini. Kegagalan demi kegagalan yang dilakukan selalu menyalahkan orang lain, entah itu rakyat atau siapa pun termasuk cuaca dan bencana alam disalahkan.

Mungkin pembaca tidak lupa, saat Covid-19 tiba di Indonesia, kita menghadapi krisis, rakyat menjerit, pemerintah berdalih semua karena covid. Padahal sebelum covid pun negara sudah mulai masuk jurang resesi.

Kenaikan harga BBM di tengah situasi sulit seperti ini justru akan menghasilkan lebih banyak kemiskinan. Dengan naiknya harga BBM maka harga-harga sembako dan harga barang, sandang dan pangan akan meningkat tajam.

Dengan demikian rakyat akan kewalahan menghadapi lonjakan harga. Akibatnya daya beli masyarakat menurun, dan kalau itu terjadi inflasi akan lebih tinggi lagi. Resesi bahkan depresi ekonomi bisa saja terjadi.

Kebijakan pemerintah menaiksn harga BBM ini adalah kebijakan yang dijalankan secara licik, penuh kebohongan, ingkar janji, berwajah sepuluh, disebut sebagai “kebijakan Dasamuka.”

Kebijakan Dasamuka ini sudah menjadi praktik keseharian pemerintah. Disana mengumbar janji disini ingkar janji, hari ini berjanji besok dusta lagi. Dengan muka kebal malu, berpidato dari hari ke hari.

Apabila mengeluarkan kebijakan selalu bertentangan dengan janji, tidak sesuai dengan kata-kata. Lain yang dipidatokan lain yang diputuskan. Kebijakannya sering menyusahkan rakyat. Inilah gambaran kehidupan berbangsa dan bernegara Revolusi Mental.

Namun sayang DPR kita seperti kuburan. Disana hanya kumpulan politisi atau legislator koalisi pemerintah. Cuma F-PKS yang konsisten berpihak kepada rakyat. Ini dibuktikan Selasa 6 Sep kemarin menolak kebijakan pemerintah interupsi saat sidang pleno dan walkout dari gedung bundar DPR-RI.

Rezim ini aneh tapi nyata. Bila rakyat mengkritik pemerintah ditangkap. Apabila rakyat menyampaikan pendapat dimuka umum disebut melanggar UU ITE. Semua serba salah, rakyatlah yang disalahkan.

Jadi kepada siapa rakyat mengadu ? Kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kepada siapa rakyat berharapkan keadilan dan kesejahteraan ? Kepada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini