Oleh: Ace Somantri
IMM, Dosen UM Bandung

Hitungan hari setelah refleksi kelahiran IMM pada 14 Maret 2025, saya sempat menulis catatan kecil tentang romantisme masa-masa keemasan sebagai aktivis mahasiswa. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah organisasi kemahasiswaan yang menjadi tempat menjalin ikatan sosial-emosional dan silaturahmi dalam perjuangan. Romantisme ini selalu menyisakan kenangan, terkadang memunculkan rasa rindu akan masa-masa menjadi aktivis jalanan. Dalam memori, terlintas bagaimana diskusi-diskusi yang penuh perdebatan gagasan dan argumen menjadi ruang penyambung aspirasi, mengkritisi kebijakan penguasa demi keadilan. Itu memang masa lalu, tetapi tetap membekas dan menjadi bagian dari perjalanan hidup yang membanggakan.
Alhamdulillah, atas izin-Nya, tepat pada Selasa, 18 Maret 2025, saya dapat menghadiri forum alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam acara iftar jama’i atau buka bersama. Acara ini menghadirkan tokoh nasional dan internasional, di antaranya Prof. Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, serta Mas Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Mereka adalah kader-kader terbaik Muhammadiyah yang lahir dari rahim IMM. Acara ini berlangsung dengan meriah, khidmat, dan penuh kegembiraan di rumah dinas Mas Prof. Abdul Mu’ti, yang tidak jauh dari Kantor Pusat Muhammadiyah. Jalanan di sekitar lokasi dipenuhi oleh para mantan aktivis mahasiswa yang telah purna dari dinamika gerakan kemahasiswaan.
Saat tiba di lokasi, suasana hati saya dipenuhi kebahagiaan dan kebanggaan. Ini adalah momen berharga untuk bertemu dengan kader-kader terbaik IMM. Saling bertegur sapa, tersenyum, tertawa, dan bertanya kabar menjadi momen yang menyenangkan. Wajah-wajah para mantan aktivis yang dulu aktif di IMM kini terlihat bahagia. Mereka datang tidak hanya dari Jakarta, tetapi juga dari berbagai daerah. Masing-masing berbagi cerita tentang kesibukan mereka saat ini, baik sebagai akademisi, politisi, pengusaha, pekerja sosial, maupun pegawai negeri.
Suasana rumah dinas Menteri begitu ramai dengan hilir mudik para mantan aktivis lintas generasi. Beberapa masih saling mengenal, sementara lainnya bertemu kembali setelah sekian lama. Namun, keakraban tetap terasa. Suasana semakin hangat dengan iringan musik yang menghibur, bahkan beberapa di antara kami ikut menyumbangkan lagu favorit.


Setelah sekian tahun, rasa rindu untuk bertemu sahabat-sahabat immawan dan immawati akhirnya terobati. Namun, ada hal menarik yang patut dikomentari. Pertemuan ini masih sebatas melepas rindu dan nostalgia semata, sementara isu-isu kebangsaan, keumatan, dan persyarikatan kurang dimanfaatkan untuk menjadi bahan diskusi ringan. Meski demikian, momentum ini tetap menjadi ajang mempererat ikatan emosional dan mendorong kader lintas generasi untuk saling mendukung di berbagai bidang dan posisi strategis.
Sebagai tokoh persyarikatan dan kebangsaan, Prof. Abdul Mu’ti layak dijadikan inspirasi dalam upaya mendiaspora kader IMM sesuai kompetensi dan kapasitasnya. Sosoknya yang humble dan egaliter menunjukkan bahwa kader IMM memiliki potensi besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi nyata. Jejaring kader IMM harus terus diperluas dan diperkuat di berbagai sektor kehidupan. Tidak boleh ada generasi yang hilang (lost generation) dari rahim IMM.
Memang tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil jika ada formula yang tepat dalam menyusun model dan skema diaspora kader IMM. Para alumni IMM bukanlah individu biasa dalam hal nalar intelektual. Forum alumni seharusnya tidak hanya menjadi ajang reuni, tetapi juga ruang untuk saling menguatkan dan membangun jejaring kader di berbagai bidang. Forum ini harus mampu membesarkan, menyebarluaskan, serta membuka ruang kreasi dan inovasi bagi para kader IMM.
Pada waktu yang tepat, kader-kader terbaik IMM, dengan komitmen dan integritas yang kuat, dapat menjadi tokoh-tokoh bangsa yang membawa perubahan bagi negara. Dengan kekuatan persyarikatan dan entitas lainnya, kader IMM memiliki potensi besar untuk memberikan pengaruh dalam dinamika kebangsaan, keumatan, dan persyarikatan.
Jika di tingkat daerah saja kader IMM bisa tampil, maka di tingkat nasional dan global pun sangat mungkin mereka berkontribusi secara signifikan. Saat ini, tren masyarakat lebih dekat dengan tokoh yang memiliki karakter peduli, peka, dan penyayang terhadap kaum papa. Ini bukan hal yang salah, justru menjadi teladan dari Nabi Muhammad SAW yang dekat dengan kaum dhuafa, serta KH. Ahmad Dahlan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap umat. Kepemimpinan mereka mampu memberikan dampak besar bagi umat dan dunia.
Wallahu a’lam.
Bandung, Maret 2025