8 April 2025
Surabaya, Indonesia
Opini

Saat Diam Lebih Berarti

Saat Diam Lebih Berarti. (Ilustrasi/Picsora)

Oleh: Fathan Faris Saputro
Anggota Bidang Pustaka dan Literasi Kwarda HW Lamongan

Senja mulai turun di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau. Angin sepoi-sepoi berembus, membawa aroma padi yang mulai menguning. Di beranda rumah panggung sederhana, seorang lelaki tua duduk diam, menatap langit yang perlahan berubah warna. Namanya Pak Rahman, seorang pensiunan guru yang dikenal bijaksana.

Di sebelahnya, duduk seorang pemuda bernama Dani. Ia adalah murid kesayangan Pak Rahman dulu, yang kini telah beranjak dewasa. Sore itu, Dani datang untuk meminta nasihat karena hatinya sedang gusar. Ia baru saja berselisih dengan sahabatnya akibat perbedaan pendapat yang berujung pada pertengkaran hebat. Ia merasa perlu menjelaskan semuanya, tetapi semakin ia berbicara, semakin keadaan menjadi runyam.

Pak Rahman tetap diam, mendengarkan dengan saksama. Dani terus bercerita, kadang suaranya meninggi, terkadang mendesah frustrasi. Setelah beberapa saat, Pak Rahman mengambil secangkir teh, meniupnya pelan, lalu berkata dengan lembut, “Dani, apakah kamu pernah melihat air sungai yang keruh setelah hujan lebat?”

Dani mengerutkan kening. “Tentu, Pak. Airnya akan menjadi cokelat pekat, penuh lumpur dan dedaunan.”

Pak Rahman tersenyum. “Jika kita ingin air itu kembali jernih, apa yang harus kita lakukan?”

Dani berpikir sejenak. “Ya, kita harus menunggu. Lama-kelamaan, lumpurnya akan mengendap sendiri.”

Pak Rahman mengangguk. “Begitulah juga dengan hati dan pikiran kita. Saat kita sedang marah, kecewa, atau emosi, kata-kata yang keluar sering kali seperti air sungai yang keruh. Semakin kita mengaduknya, semakin keruh jadinya. Tapi jika kita diam sejenak, memberi waktu pada hati untuk tenang, kita akan melihat dengan lebih jernih.”

Dani terdiam. Kata-kata Pak Rahman mengena di hatinya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa berbicara adalah satu-satunya cara menyelesaikan masalah. Namun, kini ia menyadari bahwa diam juga memiliki kekuatan tersendiri.

“Jadi, menurut Bapak, saya sebaiknya diam saja?” tanya Dani.

Pak Rahman tersenyum. “Diam bukan berarti menyerah, Nak. Diam adalah jeda untuk berpikir sebelum berbicara. Kata-kata yang lahir dari hati yang tenang akan lebih bermakna daripada kata-kata yang keluar dari amarah. Jika sahabatmu benar-benar berarti bagimu, tunggulah waktu yang tepat. Saat hatimu sudah tenang, bicaralah dengan niat untuk memahami, bukan untuk menang.”

Dani menghela napas panjang. Ia merasa lebih ringan. Kini, ia menyadari bahwa dalam banyak hal, diam lebih berarti daripada berbicara tanpa arah. Sore itu, ia belajar sesuatu yang berharga: tidak semua hal harus dijelaskan segera, dan kadang, diam adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *