Oleh: Dr Zainal Arifin MPdI
KLIKMU.CO
Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia itu makhluk yang diberi oleh Allah hawa nafsu dan hawa nafsu itu selalu punya kecenderungan menyimpang dari fitrah sehingga Allah SWT memberikan rambu-rambu kehidupan (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang sangat dibutuhkan makhluknya.
Dengan begitu, manusia bisa menjadikan rambu-rambu itu sebagai pedoman hidup supaya mampu mengarungi kehidupan dunia ini dengan penuh keseimbangan dan keteraturan.
Keseimbangan dan keteraturan yang dimaksud adalah keseimbangkan urusan dunia dan akhirat. Keduanya selalu diusahakan oleh setiap orang yang berakal. Maka, tidak heran setiap orang selalu meminta keseimbangan dan keteraturan antara kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat dengan doa sapu jagat .
Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk kepada kita agar sering berdoa dengan doa tersebut. Allahumma Robbana atina fi dunya hasanah wa fi alakhiroti hasanah, wa qina adzaba annar. Wahai Ya Allah, Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka [HR Bukhari: (6389].
Dari doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW tersebut, betapa pentingnya kebaikan hidup di dunia dan kebaikan di akhirat. Betapa pentingnya pola asuh pendidikan yang tepat.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menginternalisasikan kepada anak keseimbangan dan keteraturan antara kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat. Untuk merealisasikan harapan itu, tidak lepas dari kurikulum pendidikan atau pola asuh yang mengarahkan kepada penanaman atau internalisasi nilai-nilai akhlak dan karakter kepada anak yang membangun sikap yang baik dalam memandang kehidupan dunia, harta, tahta dan wanita yang menyebabkan kebanyakan orang terjebak dalam kelalaian sikap yang bisa membinasakan.
Konsep dan metode pendidikan menurut Ibnu Khaldun sangat relevan dengan metode dan konsep pendidikan hari ini. Agar tidak terjadi salah asuh pendidikan yang mengakibatkan perilaku tidak baik seperti kasus Mario Dandy Satrio dan David yang saat ini masih menjadi sorotan publik. Pasalnya, perilaku Mario Dandy Satrio yang brutal melakukan penganiyaan kepada David sehingga korban koma beberapa hari (cnnindonesia.com).
Kasus-kasus semacam ini tidak menutup kemungkinan akan terus terulang pada anak-anak di bawah umur, bahkan pada orang dewasa, seperti terjadinya pembunuhan berencana dengan tujuan-tujuan tertentu untuk memenuhi hasrat nafsunya yang jelek dengan memutilasi jasad korban seperti kasus Angela Hindriati (news.detik.com) dan masih banyak contoh kasus lainnya.
Jika internalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak yang baik (kurikulum pendidikan yang fokus menyeimbangkan ilmu kebaikan dunia dan ilmu kebaikan akhirat) tidak menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan anak-anak baik di rumah, sekolah, dan masyarakat, pastinya hanya menghasilkan anak-anak yang berorentasi terhadap capaian-capaian hedonisme kehidupan dunia, yang pada akhirnya merusak tatanan kehidupan individual masyarakat dan bangsa tanpa memikirkan hak-hak orang lain yang harus dijaga bersama-sama.
Itulah gambaran kehidupan di masyarakat kita yang harus selalu diperhatikan, terutama masalah benar dan salah asuh pendidikan yang mempunyai peran vital dalam menjaga diri kita. Anak-anak kita dan generasi berikutnya agar mampu menghadapi berbagai macam disrupsi saat ini yang tidak hanya mengubah tatanan yang sudah mapan, tetapi juga bisa mengubah perilaku-perilaku yang baik menjadi perilaku-perilaku yang merusak.
Maka, konsep pendidikan menurut Ibnu Khaldun masih sangat relevan digunakan saat ini karena konsep pendidikan Ibnu Khaldun tidak hanya menanamkan pendidikan yang bersifat duniawiyah, melainkan juga internalisasi penanaman nilai-nilai keagamaan. Keduanya harus sama-sama diberikan kepada anak didik agar tidak terjadi salah asuh pendidikan yang mengakibatkan perilaku yang merusak.
Paradigma Ibnu Khaldun terhadap pendidikan pada hakikatnya lebih menonjolkan dan mementingkan konsep pendidikannya kepada pembentukan perilaku, akhlak, dan budi pekerti yang baik sehingga menghasilkan manusia yang mampu bersikap tawasut (pertengahan) dalam memandang dan bersikap terhadap kehidupan dunia, harta, tahta, dan wanita. Kesemuanya itu jika tidak didasari ilmu yang terintegrasi antara ilmu dunia dan akhirat akan merusak generasi sebagaimana kasus Mario Dandy Satriyo dengan David. (*)
Dosen tetap Prodi S-2 Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya