Oleh; Fahd Pahdepie, penulis dan intelektual Muhammadiyah
KLIKMU.CO
Setidaknya tiga akun Youtube memfitnah UAH. Akun-akun itu menggunakan desain dan narasi yang senada. Diberi judul bombastis dan provokatif, ‘Dana 30M Digelapkan, Polisi Amankan Ust Adi Hidayat’, bahkan dilengkapi gambar thumbnail yang diedit sedemikian rupa menunjukkan UAH duduk di atas mobil polisi. Isi videonya tidak jelas, lompat-lompat, potong sana-sini. Nama channel Youtube itu lebih provokatif lagi: Suara Inspirasi, Kabar Istana, Suara Istana.
Tentu saja akun-akun itu bukan milik Istana, dalam hal ini Istana Presiden. Bahkan tak ada hubungannya sama sekali. Pembuat akun dan video-video itu dengan sengaja memanfaatkan situasi publik yang terpolarisasi, pro dan anti pemerintah, di mana yang kritis terhadap pemerintah dikategorikan sebagai kelompok Islam kanan dengan segala narasi turunannya. Saban hari akun ini memprovokasi publik dengan konten-konten kental fitnah, dari urusan KPK sampai Palestina, aktor-aktor dibenturkan satu sama lain, termasuk UAH yang kena fitnah tadi.
Tujuannya boleh jadi uang belaka. Kanal-kanal itu dilanggan ratusan ribu orang, puluhan videonya masing-masing ditonton puluhan ribu hingga ratusan ribu orang. Pendapatan iklan Youtubenya besar. Siapapun yang memiliki dan mengelola kanal-kanal itu adalah individu dengan insting jurnalisme yang, punya kepekaan yang tajam terhadap isu-isu yang diperbincangkan publik luas, selalu up to date, sayang pikiran dan hatinya berniat mengadu domba, memecah belah, mengompori kebencian.
Namun, pemilik akun itu, individu ataupun kelompok, bisa jadi tidak mencari uang dari iklan Youtube. Bisa saja dengan sengaja, terstruktur, terukur, dan rapi mengerjakan proyek adu domba untuk menjaga sentimen publik di frekuensi yang sama. Menanamkan wacana dan narasi di benak publik bahwa ada kategorisasi tertentu, ada pihak-pihak yang berlawanan, ada ideologi yang berbeda. Pikiran semacam itu terus dicekokakkan kepada publik, terutama mereka yang awam literasi, untuk dimanipulasi nalar politik keberpihakannya.
Bayangkan ini tidak hanya terjadi di Youtube, tetapi dalam skala yang lebih luas dikerjakan juga di platform media sosial yang lain: Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya. Media sosial diubah menjadi semacam ‘political battleground’ untuk memetakan orang-orang ada di mana, apa kecenderungannya, bagaimana afiliasi politiknya. Di level tertentu ini dikerjakan untuk melacak aktor, pemberi pengaruh, dan seterusnya.
Jika logika ini dipakai, tentu yang sedang dikerjakan bukan semacam ‘buzzing’ atau dengungan. Pendengung atau buzzer adalah instrumen, sifatnya pun instrumental, tidak terlalu strategis sebenarnya. Jika dilihat dari keseragaman narasi, aktor-aktor, waktu kerja, dan pola persebarannya, boleh jadi ada ‘grand design’ yang menjahit semua ini. Meski tentu memerlukan data dan riset yang cukup serius untuk membuktikannya, itupun jika data dan fenomena tidak terus bergerak atau diubah dan di-engineering. Banyak yang ahli di bidang ini, sebenarnya. Mungkin mereka bisa bersuara juga.
Tentu tak semua digerakkan oleh satu tuas atau semacam ‘remote control’ yang sama. Dalam teori sosial ada yang disebut sebagai stimulasi. Publik dengan pikiran dan kesadarannya hanya perlu distimulasi untuk bergerak atau bereaksi, pada gilirannya semua akan bekerja secara organik–tanpa honor, tanpa perintah, tanpa koordinasi. Kita bisa menyebut ini propaganda, firehose of falsehood, social media engineering, dan lainnya.
Fitnah yang menimpa UAH hanyalah fenomena gunung es belaka. Di bawahnya ada fenomena lain yang lebih besar, serangan sistematis terhadap sentimen pro-Palestina, lalu lebih besar lagi upaya membenturkan kelompok Islam dengan yang lain, pengkotak-kotakan politik, dan terus lebih besar lagi. Topik dan segmen itu dikanalisasi dan pada konteks ruang-waktu tertentu dioperasi sesuai dengan rumpun-rumpunnya.
Kesadaran ini harus kita miliki bersama, terutama kita yang saban hari mengakses media sosial, bahwa memang tidak semua fakta dan informasi yang kita terima bebas nilai. Boleh jadi ada partisanship bias di sana. Bahkan untuk tulisan saya sekalipun, meskipun saya terus menerus bersikap objektif. Artinya, kompas kita dalam bersikap sebenarnya bukan ‘kubu’ atau ‘kelompok’, tetapi prinsip kita dalam menjaga nilai-nilai: Demokrasi, persatuan, kebangsaan dan seterusnya.
Boleh jadi kita setuju di satu hal, tapi selalu boleh tidak setuju di hal lain. Itulah demokrasi yang sesungguhnya. Kita tidak menentukan sikap berdasarkan afiliasi kelompok. Dalam bahasa agama, bukan berdasarkan ‘taqlid’ buta. Kita perlu membangun kecerdasan dan literasi bermedia sosial dengan lebih demokratis, bukan memaksakan kehendak dan pilihan satu sama lain.
Alasan terbesar mengapa kelompok buzzer atau apapun kita menyebutnya bukanlah aktor startegis, mereka instrumental, adalah karena mereka sebenarnya tidak sekuat yang kita bayangkan. Mereka tidak kebal hukum, tidak berdiri ‘above the law’, hanya kita perlu mencari cara bagaimana memperkarakannya, bagaimana memposisikan dan mempreteli mereka sebagai instrumen.
Salah satu bukti adalah channel Youtube yang sedang saya bahas di awal tulisan ini, yang memfitnah UAH. Saat santer disuarakan bahwa akan dibawa ke jalur hukum, publik segera mencari tahu ‘jejak-jejak digital’ yang berhubungan dengan akun itu, setidaknya namanya. Muncullah sebuah nama yang dianggap berhubungan dengan akun ini. Dalam dua hari belakangan ini, nama itu sudah membuat klarifikasi terbuka bahwa ia bukan orangnya. Uniknya, nama channel ‘Suara Istana’ berubah menjadi ‘Jalan Pintas’. Video-video fitnah kepada UAH hilang. Ada yang menarik di sini.
Apa yang perlu kita lakukan sekarang? Saya mengusulkan sebuah kerja kolektif di media sosial. Kita sama-sama mencari tahu siapa pemilik akun-akun ini sebenarnya, cari tahu bagaimana pergerakannya, dan seterusnya. Cara ini mungkin tidak menyelesaikan permasalahan atau berhasil membongkar pelakunya. Tapi jika kita melakukan cara ini, setidaknya kita dan publik akan lebih cerdas dalam bermedia sosial. Saya kira kita perlu mengerjakan aksi media sosial ini. Publik yang cerdas adalah musuh semua manipulator demokrasi.
Langkah berikutnya adalah mencoba membawa ke jalur hukum, setidaknya mengangkat atau memperingatkan konsekuensi hukumnya, tidak perlu pihak UAH saja. Pihak UAH secara resmi akan melaporkan akun-akun tertentu yang sudah memenuhi unsur fitnah ke Bareskrim. Tetapi saya kira organisasi, kelompok, atau individu lain yang berhubungan dengan UAH atau pihak-pihak lain yang difitnah bisa menaikkan level kegentingan kasus ini dengan ikut melapor, melayangkan somasi, atau lainnya. Kita perlu menunjukkan kekuatan publik yang masih menginginkan demokrasi yang waras, percakapan publik yang tidak dikeruhi fitnah.
Terakhir, kita perlu terus menyuarakan wacana ini, melawan buzzer dan menolak kategorisasi. Bangsa ini tak boleh terus dibelah-belah, diadu domba, dikotori oleh fitnah dan kebencian. ‘Bring back politics in’, kita kerjakan lagi politik dengan cara yang benar, bukan menuhankan popularitas dan elektabilitas yang menghasilkan budaya propaganda kaum buzzer.
Bagi saya pribadi, ini hikmah terbesar dari kasus UAH. Kita akan membangun gerakan kolektif untuk bangsa ini. Dimulai dari sini. Dimulai dari sekarang. Semoga Anda yang membaca tulisan ini sudah menjadi bagian di dalamnya.
Konon, akun ‘Suara Istana’ sudah berubah nama menjadi ‘Jalan Pintas’, ‘Kabar Istana’ sudah berubah menjadi ‘Garuda News’, ‘Suara Inspirasi’ hilang dan video-video fitnah pada UAH dihapus. Gentar? Boleh. Tapi kami tak menerima materai. (*)