Soekarno-Soeharto dalam Pusaran G30S/PKI: Antara Bukti dan Alibi

0
136
Soekarno-Soeharto dalam Pusaran G30S/PKI: Antara Bukti dan Alibi. (Foto: picture-alliance/dpa)

Oleh: Gus Doel

KLIKMU.CO

Siapa saja yang “tertuduh” terlibat G30S/PKI? selalu menjadi bahan perbincangan menarik. Sampai kini masih menyisakan rasa penasaran yang tak habis-habis. Meski ada silang pendapat, tentu masing-masing memiliki argumentasi, baik yang berprasangka mau pun yang menyangkalnya.

Sudah barang tentu, semua berdasarkan bukti yang tersaji serta informasi yang tersedia. Yang tak kalah penting, juga yang tergambar dalam dialektika pro-kontra pengamatan berbagai pihak.

Di antara diskusi yang menarik, ketika perhatian kita tertuju pada dua tokoh besar, Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto. Tak dapat dimungkiri, dua nama besar itu aktor penting dalam drama berdarah yang menyita perhatian masyarakat luas itu. Terlepas mana yang berada pada peran “protagonis”, atau sebaliknya “antagonis.” Tentu, sangat tergantung dari mana dan bagaimana cara memandangnya.

Bila tidak bisa disebut “tuduhan”, tak sedikit adanya anggapan akan keterlibatan Bung Karno. Pun harus diakui, “keterlibatan” yang dimaksud terdapat perbedaan pendapat, khususnya, mengenai kadar dan kedalaman perannya.

Sebelum masuk dalam diskusi yang lebih dalam, Prof Salim Said menjelaskan terminologi “penculikan”. Istilah yang juga disematkan pada peristiwa yang dialamai para jenderal pada malam horor bulan September 1965. Dijelaskan dengan gamblang penggunaannya, dalam konteks situasi dan serangkaian kejadian, pada masa revolusi dan pergolakan.

Misalnya, “penculikan” terhadap Soekarno-Hatta oleh para pemuda Jakarta. Kedua pemimpin itu digiring dengan “setengah terpaksa” ke Rengasdengklok. Mereka “didaulat” memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin.

Juga dilakukan terhadap Perdana Menteri Syahrir. Penculikan dilakukan elemen pemuda dan tentara yang anti-diplomasi. Tujuannya, mencegah agar penyelesaian secara diplomasi, perundingan Indonesia-Belanda dapat digagalkan.

Diakui Jenderal Nasution dalam memoarnya, praktik culik-menculik akrab sekali dilakukan pada masa revolusi. Ketika belum terciptanya sistem pergantian pemimpin dalam organisasi ketentaraan, tak jarang ditempuh jalan penculikan. Cara itu dalam rangka “mendaulat” calon pimpinan pasukan.

Kerap sekali, “penculikan” dilakukan dalam rangka “daulat-mendaulat”. Artinya, tidak untuk dibunuh, disakiti secara fisik, atau dilenyapkan. Tak dapat dimungkiri, ada kejadian lain yang harus diingat pula.

Misalnya, hilangnya dr Muwardi tanpa berita, kenapa dan di mana? Diduga kuat, pimpinan Barisan Banteng Solo itu korban penculikan. Sampai kini tak ada kejelasan, apakah dibunuh, atau kematiannya akibat sesuatu yang di luar rencana penculiknya. Bisa jadi, perintah Presiden Soekarno kepada Letkol Untung dalam rangka “daulat-mendaulat”. Tentu, bagaimana memaknainya butuh diskusi yang lebih mendalam.

Dikisahkan Kolonel Bambang Widjanarko, tanggal 4 Agustus 1965, Letkol Untung dipanggil presiden untuk nenerima perintah. Tugas yang harus dilaksanakan Komandan Batalion I, Resimen Cakrabirawa itu, supaya menghadapkan Letjen Ahmad Yani kepadanya. Pengakuan itu tercatat jelas dalam buku The Devios Dalang.

Salim Said menjelaskan lebih jauh, presiden merasa sangat perlu adanya pergantian Pangad yang dijabat Ahmad Yani. Dirasakan, hubungan antara Bung Karno dengan Angkatan Darat mengalami banyak persoalan.

Dalam konstelasi politik yang panas, Bung Besar harus melakukannya dengan hati-hati. Pilihannya, sebisa mungkin, berkesan tanpa gejolak. Maka “daulat” sebagai cara yang paling mungkin. Disadari betul, model “penggusaran” yang pernah dilakukan terhadap Jenderal Nasution, dari pucuk pimpinan Angkatan Darat, sudah tidak mungkin dipergunakan lagi.

Upaya presiden itu, sesuai kesaksian Mayor Bowo, bekas ajudan Jaksa Agung Sutardio. Perwira Muda binaan Biro Khusus PKI itu, turut hadir di Istana Tampak Siring, 25 September 1965. Dalam pertemuan rahasia, antara Soekarno dengan orang-orang kepercayaannya, disampaikan akan punya “gawean besar”.

Ahmad Yani hendak dipanggil ke Istana. Di hadapan para Waperdam, akan dituntut tanggung jawabnya berkenaan dengan Dokumen Gilchrist. Jenderal bintang tiga itu harus menjelaskan keberadaan Dewan Jenderal. Kemudian, Pangad itu dituduh sebagai pengkhianat bangsa, maka “diculik” dan dihadapkan pada Mahkamah Militer.

Menarik untuk dicermati, kesaksian Kolonel Bambang Widjanarko, yang disampaikan dalam pemeriksaan di Terpapu. Pada saat Mubes Teknik, yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno, disampaikannya sepucuk surat dari Letkol Untung kepada Bung Karno. Surat rahasia itu dititipkan melalui Sogol Jauhari, dari pasukan Cakrabirawa.

Peristiwa itu terjadi satu jam sebelum Letkol Untung melancarkan operasi, yang mereka sebut “Gerakan Tigapuluh September”. Keterangan Kolonel KKO itu dibenarkan Letkol Mangil, Komandan DKP Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi presiden.

Yang tak kalah menarik, pidato yang disampaikan presiden, setelah membaca surat Letkol Untung. Bung Karno mengutip bagian kisah dari Bagavad Gita. Bagian yang dikutib, dialog antara Krsihna dengan Arjuna. Disampaikan putra Dewaki kepada Arjuna, agar membunuh lawannya di medan perang. Siapa pun itu, meski saudaranya sendiri. Itulah yang harus dilakukan oleh para kesatria. Dalam menjalanan tugas negara, kalua perlu, memilih jalan bertempur.

Lebih lengkap lagi, Bambang Widjanarko memberikan kesaksiannya. Pada tanggal 23 September 1965, Brigjen Saboer, Soenarjo dan Soedirgo, dipanggil presiden. Diperintahkan kepada mereka agar segera menindak jenderal-jenderal yang tidak loyal. (Julius Pour, 103).

Dari serangkaian kesaksian yang lain, dapat ditarik kesimpulan, setidaknya Soekarno mengetahui rencana Gerakan September kelam itu. Ditemukan fakta, Panglima Angkatan Udara Oemar Dani sudah melaporkan kepada presiden pada tanggal 28 dan 29 September 1965.

Dilaporkannya, ada gerakan dari unsur-unsur Perwira Muda Angkatan Darat, hendak menindak Dewan Jenderal. Menanggapi laporan itu, Bung Karno tidak melakukan apa-apa. Fakta itu tergambar jelas dalam buku Peristiwa 1 Oktober 1965, Kesaksian Jenderal Besar AH. Nasution (Narasi: 29). Fakta itu diperkuat dalam wawancara Oemar Dani dengan Team Penyusun Buku Putih AURI. Terekam lengkap dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965. Informasi Gerakan Perwira Muda AD itu diperoleh Pangau dari laporan Kolonel Udara Heroe Atmodjo. (Julius Pour, 96).

Fakta penting yang tak kalah menarik, sebagaimana keterangan Brigjen Soetjipto. Rupanya presiden memiliki banyak informasi, yang terjadi di Lubang Buaya. Bung Besar bercerita lancar, tindakan terhadap para jenderal. Eksekusi dilakukan dengan begitu sopan. Sebelum ditembak, matanya ditutup dengan kain. Para penembak menyampaikan permintaan maaf. Yang mereka lakukan adalah demi revolusi.

Penjelasan presiden itu membuat Brigjen Soetjipto terhenyak. “Dari mana, Yang Mulia mendapat informasi lengkap itu? Pertanyaan itu dijawab Bung Karno, “Pak Tjip tidak usah bersikap terlalu emosional”.

Dugaan akan pengetahuan Soekarno terhadap peristiwa September kelabu semakin kuat. Kolonel Latif menyampaikan pengakuan, selalu menaati dan melaporkan segala sesuatu mengenai persitiwa 1 Oktober 1965. Lebih lagi, sebagaimana dalam surat Sari Dewi Soekarno, 6 Oktober 1965.

Pada faktanya, Bung Karno tidak bersedih dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI. Dengan jelas ditunjkkan Presiden, tidak menghadiri upacara pemakaman Para Jendral, korban peristiwa kelam itu. Demikian juga, di hari meninggalnya Ade Irma Suryan Nasution. Pada tayangan TVRI, Bung Karno terlihat tanpa empati, bergurau tebahak-bahak dengan para wartawan. Presiden, seolah menunjukkan sikap, di Indonesia tidak terjadi apa-apa.

Rangkaian cerita itu menggambarkan, Soekarno mempunyai andil besar dalam perintah “penangkapan” Letjen Ahmad Yani. Persoalan kemungkinan adanya kesalahan dalam pelaksanaan di lapangan, itu perkara lain. Betapa pun, pemberi perintah adalah penanggung jawab dengan segala konsekuensinya.

Bersambung…..

Gus Doel
Mantan Jurnalis, Peminat Politik Militer

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini