Sunan Kalijaga, si Perampok yang Budiman

0
10
Sunan Kalijaga, si Perampok yang Budiman. (Ilustrasi Sunan Kalijaga/Istimewa)

Oleh: H.M. Sun’an Miskan Lc, mantan ketua PWM DKI Jakarta

Sunan Kalijaga yang nama mudanya adalah Raden Said dikenal sebagai “Brandal Lokajaya” (Perampok yang Budiman). Brandal artinya orang yang suka merampok dan lokajaya artinya baik budi.

Raden Said suka merampok hasil bumi, seperti padi dan beras yang ada di lumbung milik orang kaya. Termasuk milik orang tuanya sendiri, Bupati Tuban.

Hasil curiannya itu lalu ia bagikan kepada fakir miskin yang sangat membutuhkan. Ia tidak bisa melihat ketidakadilan yang merajalela di mana-mana. Ia pun diusir oleh ayahnya dari Kadipaten.

Suatu kali saat ia sedang di tengah hutan, ada orang tua yang bertongkat. Tongkatnya itu tampak seperti emas. Raden Said lalu merampoknya. Orang tua itu melarangnya dan menunjukkan buah aren yang berubah jadi emas.

Orang tua itu berkata: “Kalau kamu ingin kaya tanpa kerja, ambil semua emas di pohon aren itu. Perbuatanmu menyantuni fakir miskin dengan cara merampok harta orang kaya itu tidak diterima oleh Allah SWT.”

Orang tua itu menjelaskan bahwa ia adalah Sunan Bonang. Raden Said lalu sadar dan ingin belajar agama dengan beliau.

Sunan Bonang lalu memberi persyaratan, yaitu ia harus menjaga tongkatnya yang ditancapkan di pinggir kali. Raden Said harus menunggu sampai beliau kembali dari perjalanannya.

Hampir tiga tahun Raden Said bersabar menunggu kedatangan Sunan Bonang. Setelah beliau datang, Raden Said dinyatakan lulus untuk pertama kali dari ujian lalu diberi gelar Sunan Kalijaga (Sunan yang sabar menjaga tongkat yang tertancap di pinggir kali).

Sunan Bonang kemudian memberi pelajaran agama Islam lengkap dengan cara-cara mendakwahkannya.

Setelah lulus, Raden Said alias Sunan Kalijaga berdakwah berkeliling sampai ke daerah-daerah yang jauh dari tempat kelahirannya di Tuban. Seperti pergi ke Yogyakarta, Demak, dan Cirebon. Beliau menggunakan seni dan budaya sebagai sarana dakwahnya.

Di antaranya lahirlah seni suara suluk yang terkenal, yaitu lagu Lir ilir.

Tempat dan Tanggal Lahir

Raden Said atau Sunan Kalijaga lahir di Tuban tahun 1450 M, pada zaman Kerajaan Majapahit.

Tempat dan Tanggal Wafat

Raden Said atau Sunan Kalijaga wafat di Kadilangu, Demak, tahun 1592 M, pada zaman Kesultanan Mataram.

Keturunan

Ayah Raden Said atau Sunan Kalijaga ialah Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban. Ibunya Dewi Nawang Arum. 

Di masa kecilnya, Raden Said atau Sunan Kalijaga oleh ayah ibunya didatangkan guru agama untuk membekalinya dengan ajaran Islam dan cara-cara memimpin.

Status Sosial

Raden Said atau Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang istri: Dewi Sarah binti Maulana Ishaq, Dewi Zainab anak putri dari Sunan Gunung Jati, dan Siti Hafsah anak putri dari Sunan Ampel Surabaya.

Pernikahannya dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq mempunyai tiga anak: Sunan Muria, Dewi Ruqoyyah, dan Dewi Sofiyah.

Pernikahannya dengan Dewi Zainab binti Sunan Gunung Jati mempunyai lima anak: Kanjeng Ratu, Pembayun istri Sultan Trenggono, Nyai Ageng Panenggak istri Kiai Ageng Paka, Sunan Hadi pengganti ayahnya Sunan Kalijaga sebagai Kepala Perdikan Kalidangu, Raden Abdurrahman, dan Raden Ayu Penengah.

Sementara itu, pernikahannya dengan Hafsah binti Sunan Ampel kelahiran anaknya tidak tercatat dalam sejarah.

Keahlian

Kesenian:
– Ukir
– Gamelan
– Wayang dengan lakon di antaranya Kalimasodo (Kalimat Syahadat), Petruk Dadi Ratu (Petruk jadi raja)
– Seni suara Suluk di antaranya lagu Lir Ilir
– Desainer baju Takwa
– Sekatenan di alun-alun Lor Ngayogyakarta
– Grebeg Maulud Nabi SAW di alun-alun Lor Ngayogyakarta

Lanskap Tata Kota:

Tata kota yang baik itu ialah kalau Keraton (Istana Raja) harus ada alun-alunnya baik Lor maupun Kidul. Masing-masing ada dua pohon beringin dan ada masjid besarnya. Di samping masjid ada penginapan dan tak jauh dari penginapan ada pasar.

Arsitektur:

Salah satu tiang Masjid Demak yang menyanggah atapnya terbuat dari “tatal” alias pecahan kayu. Namun sangat kokoh, kuat, artistik, dan indah.

Perjuangan dalam Berdakwah dan Medianya

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kesenian dan kebudayaan adalah sebagai sarana dakwahnya.

Raden Said atau Sunan Kalijaga sangat toleran dengan adat dan budaya lokal, tidak dimusuhi. Adat dan budaya lokal itu harus dimasuki, didekati secara bertahap, mengikuti sambil memengaruhi. Adat dan budaya lokal yang tidak Islami, yang sudah turun-temurun itu kalau diserang secara frontal masyarakat akan marah dan menjauh.

Beliau adalah muballigh keliling daerah dengan jangkauan yang luas dari tempat kelahirannya di Tuban sampai ke Yogyakarta, Demak, dan Cirebon.

Waktu saya sekolah SMA di Yogyakarta tahun 1962 oleh ibu Kos saya di Karangkajen, Ibu Syamsuddin Rahimallah ‘anhumaa, saya selalu diajak menonton wayang kulit semalam suntuk di Alun-Alun Lor Keraton Yogyakarta.

Saya wong Gresik Jawa Timur dengan keseniannya rebana atau masyarakat menyebutnya terbangan karena alatnya dari kayu jati melingkar di sebelahnya ditutup dengan kulit sangat menikmati tontonan wayang kulit tersebut. Tontonan itu dihadiri ribuan orang dari seluruh penjuru Yogyakarta dan sekitarnya.

Dalangnya yang sangat piawai, pandai melucu, maka lewat pemain wayang si Punokawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, mereka melucu dengan sindiran-sindiran dan kritik sosialnya membuat penonton jadi ger-geran alias ramai-rawai tertawa terbahak-bahak.

Berikut ini seni suara suluk karya Sunan Kalijaga: lagu Lir Ilir.

Lir Ilir
Lir ilir, lir ilir (bangunlah, bangunlah)
Tandure wis sumilir (tanamannya sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo tak senga kemanten anyar (telah menghijau seperti penganten baru)
Cah angon-cah angon (wahai penggembala-wahai penggembala)
Penekno blimbing kuwi (panjatlah pohon blimbing itu)
Lunyu-lunyu peneken (meski licin panjatlah untuk dapat buahnya)
Kanggo masuh dododiro (buat mencuci pakaian Anda)
Dododiro-dododiro (pakaianmu-pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak bagian pinggir)
Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore (jahitlah, telisiklah dengan benang supaya indah  untuk sujud pada Allah nanti malam)
Mumpung padang rembulane (mumpung terang rembulannya)
Mumpung jembar kalangane (selagi banyak waktu luang)
Yo surako, surak iyo… (ayo bersorak dengan sorakan “Hayo!”)

(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini