Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Jingkrak-jingkrak para politikus kian hari terus semakin ramai. Berbagai slogan dari para kandidat pemimpin bangsa menghiasi media masa maupun media sosial. Tidak dapat dimungkiri, tahun politik hari ini menyita perhatian di kalangan generasi baru.
Pasalnya, lebih kurang 43% pemilih merupakan generasi milenial yang mendominasi wacana dan narasi ekonomi, politik, seni, dan budaya bangsa benarkah? Atau hanya informasi semu semata. Namun faktanya saat Pemilu 2004 menunjukkan swing voters hingga ke angka 27%. Artinya, banyak pemilih yang cukup bingung menentukan sikap pilihannya.
Hal tersebut diakibatkan banyak pemilih yang melihat dan menganalisis setiap calon pemimpin bangsa kecenderungan menawarkan gagasan untuk perubahan bangsa ke depan, dianggap tidak memiliki ide brilian yang taktis-aplikatif maupun strategis-visioner.
Pemilu 2024 juga dari kondisi saat ini, ada kencenderungan akan terjadinya peningkatan swing voters. Lalu kenapa hal tersebut ada peningkatan cukup serius? Permasalahan yang dihadapi banyak faktor, selain gagasan calon pemimpin tidak menarik, namun juga tidak kalah lebih berpengaruh terhadap kondisi swing voters, yaitu beberapa untrust publik pada kepemimpinan yang saat ini berjalan atau kepemimpinan masa lalu yang berdampak pada penurunan kualitas demokrasi.
Khususnya pada partisipasi pemilih dalam memberikan hak suara yang diberikan kepada para calon pemimpin bangsa yang memiliki track record dan gagasan brilian yang rasional dan realistis. Swing voters dan juga ploating mass menjadi ruang yang sering dijadikan komoditas politisi untuk dapat masuk dan diterima, baik disadari atau tidak dengan berbagai cara akan dilakukan oleh politisi pemilik modal dan kapital.
Fenomena pemilu kali ini, fakta dan data banyak calon pemimpin bangsa yang diusung, baik itu legislatif maupun eksekutif mulai marak diambil alih oleh para pebisnis dan artis. Kwik Kian Gie mempertanyakan kapasitas ideologi para pimpinan atau calon pimpinan bangsa yang berlatar belakang aktivis entertainment, sehingga kekhawatiran tersebut dapat dilihat sejauh mana kontribusi mereka dalam pembangunan bangsa.
Namun, sangat perlu dianalisa lebih objektif keterlibatan dan kontribusi mereka dalam hal membangun ideologi bangsa. “Bargaining position” ada di kepentingan bangsa dan negara yang terletak pada kualitas pemimpin dan kepemimpinannya. Debat wacana dan argumentasi dalam membuat regulasi tidak cukup hanya hadir, duduk dikursi empuk dan diam tidak bersuara dalam ruang rapat dan persidangan.
Dari generasi ke generasi pemimpin negeri, tampaknya, cukup sulit mengatakan dan menyampaikan adanya kemajuan dan peningkatan berbangsa dan bernegara. Sangat sederhana untuk mengukurnya, yaitu berkurangnya hutang negara kepada pihak-pihak terentu.
Minimalnya hutang negara ini tidak bertambah, sekalipun suku bunga hutang terus membebani tanpa ampun. Terutama hutang pokok terus ditambah dengan dalil kebutuhan dan penyesuaian sistem imunitas keuangan akibat turbulensi ekonomi makro yang berdampak pada cash flow keuangan negara, hal itu mengakibatkan semakin memperburuk kemampuan dan kapasitas negara dalam penyelesaian utang.
Selain utang negara sebagai indikator maju dan mundurnya negara, sedikit banyak akan memengaruhi indeks pertumbuhan manusia dalam hal ihwal akses pendidikan bermutu dengan varian-variannya, akses kesehatan masyarakat terjangkau yang selain menjamin kesehatan fisik, juga berpengaruh pada kesehatan akal. Termasuk juga akses kesejahteraan masyarakat yang berorientasi pada pembentukan mental pekerja keras, kreatif, inovatif, dan akseleratif.
Saat data dan fakta menunjukan tidak adanya kualitas peningkatan baik akses maupun mutu berbagai jenis dan macam varian indeks pertumbuhan manusia, palagi anggaran meningkat sementara “out put zero”. Hal tersebut menjadi sebuah bentuk sikap pemborosan yang dekat dengan potensi secara kriminologis, sehingga muncul peluang terjadinya penyimpangan dan pelanggaran hak dan wewenang.
Berbagai permasalahan bangsa yang terindikasi tidak ada peningkatan signifikan, bahkan justru sebaliknya jika dilihat dari kualitas rentang masa atau waktu malah ada kemunduran. Maka saat fenomena muncul dipermukaan publik, menjadikan alasan bagi para pemilih saat menghadapi pemilu membuat kondisi kepercayaan melemah dan hilangnya kepercayaan terhadap penyelengara dan pejabat negara, termasuk saat proses pemilihan umum yang diselenggarakan.
Swing voters menjadi ancaman terhadap kualitas demokrasi yang berdampak pada legitimasi publik terhadap pemimpin yang terpilih, karena peluang golput terbuka dan sangat berpotensi meningkatnya jumlah golput. Menjadi catatan sangat penting ketika pemilihan Presiden dan wakilnya kurang memiliki legitimasi sosial dan politik, karena dampaknya akan menimbulkan sikap abai dan penolakan terhadap kebijakan yang dibuat eksekutif.
Apalagi tahun ini sebagai tahun politik menjelang pemilu yang digelar pada tahun 2024 menyita perhatian publik, sosialisasi gagasan untuk perbaikan bangsa mulai gencar dilakukan kandidat bakal calon pemimpin negeri ini. Narasi-narasi kebangsaan muncul mendadak merebak bak jamur dimusim hujan, janji-janji disebar diberbagai media sosial atau platform digital lainnya. Semakin menarik disimak, namun lama-lama jemu juga karena narasi hanya ada dalam kata-kata.
Sementara, di tempat lain, banyak obrolan dan pembicaraan mengeluhkan berbagai hal kebijakan negara yang tidak bepihak pada rakyat, khususnya yang berkenaan dengan kualitas pelayanan dan akses lembaga negara terhadap rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan prima malah justru dijadikan sapi perahan. Mending rakyatnya pada posisi sehat materi dan immateri masih dapat diperah, nyatanya rakyat kondisi lemah, sengsara dan tidak berdaya. Artinya rakyat saat ini sedang posisi sekarat tidak sehat, sangat dzalim dan tiran negara itu jika meminta kekayaan seadanya dengan berbagi cara.
Calon presiden atau kandidat semestinya ungkapan dan pernyataannya berdasarkan kajian genuine yang dapat memberi narasi-narasi dan juga solusi konkrit dan terukur, agar ketika evaluasi ada data yang dapat dipertanggungjawbkan dan tidak banyak membual dalam retorika belaka. Namun juga tidak ada rekayasa data dalam data untuk kepentingan demi sebuah citra. Mata dapat ditipu oleh data, namun fakta pasti bicara sekalipun disembunyikan.
Yang harus diperhatikan jangan sampai membawa malapetaka bagi bangsa dan negara. Apa jadinya saat mimpi dan asa anak bangsa memiliki cita-cita, sementara jalannya diputus dengan cara-cara tidak beretika dan tidak beradab. Bangsa ini besar, potensi untuk maju dan berdaya sangat pasti bisa selama ada niat dan komitmen nyata dengan hati terbuka.
Tidak ada alasan bangsa ini lemah tak berdaya, ketika pemimpin bangsa ini memiliki jati diri dan harga diri berwibawa. Sebaliknya apabila terus ada dalam bayang-bayang negara adidaya, jangankan menjadi negara maju dan bangsa berdaya, justru akan muncul potensi hilangnya dipeta dunia. Wallahu’alam. (*)
Bandung, Juni 2023