21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Berita

Tak Cukup 5W+1H, Jurnalisme Profetik Hadir untuk Memihak Kebenaran dan Kemanusiaan

Editor Budaya Harian Kompas Hilmi Faiq menjadi narasumber talk show “Jurnalisme Profetik, Jurnalisme Berkemajuan” yang diadakan Komunikasi UMM. (Komunikasi UMM/KLIKMU.CO)

Malang, KLIKMU.CO – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Communication Talk Series, Selasa (20/6). Talk show dengan tema “Jurnalisme Profetik, Jurnalisme Berkemajuan” ini diselenggarakan bekerjasama dengan Harian Kompas dan Radio Tidar Sakti.

Dua narasumber talk show adalah editor Budaya Harian Kompas Hilmi Faiq dan dosen Komunikasi UMM Widiya Yutanti. Dipandu dosen Komunikasi sekaligus komika UMM, Sugeng Winarno, acara diikuti lebih 300 mahasiswa dan ditayangkan secara live di channel YouTube.

Dalam paparannya, Faiq sepakat ada muatan jurnalisme profetik dalam kurikulum Ilmu Komunikasi. Jurnalistik harus berpihak kepada kebenaran dan kemanusiaan.

Mengutip filosofi Kompas, ia menyebut jurnalistik menjunjung amanat hati nurani rakyat, menyapa yang kaya membela yang papa, humanisme transedental, dan menemukan kembali Indonesia.

Praktik jurnalisme yang diterapkan Kompas, kata Faiq, tidak hanya berhenti pada 5W+1H. Lebih dari itu, setiap peristiwa harus didudukkan masalahnya dan diberi makna.

Kompas memiliki concern terhadap jurnalisme investigasi untuk mengungkap persoalan yang dipandang sangat urgen diungkap ke publik. Dari situlah Kompas mendudukkan masalah dan memberikan makna di balik berita tersebut,” ungkap wakil desk budaya Kompas yang juga alumnus Psikologi UMM ini.

Senada, Widiya mengutip Parni Hadi bahwa jurnalisme profetik merupakan jurnalisme cinta. Praktik jurnalistik profetik mengedepankan karakteristik kenabian dan menyuarakan permasalahan besar di kalangan orang kecil.

“Jurnalisme yang mendorong sifat-sifat kenabian seperti sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah.  Semangatnya bukan hanya menyampaikan kebenaran, tapi juga edukasi dan membangun optimisme audiens,” urai Widiya seraya menjelaskan makna jurnalisme kebenaran, dapat dipercaya, disebarkan, dan cerdas.

Lebih lanjut, kedua narasumber membeberkan beberapa contoh praktik jurnalisme profetik. Widiya memberikan contoh pernyataan Presiden Jokowi tentang penggunaan anggaran yang kurang tepat di media massa dan media sosial sebagai peristiwa yang memberikan perhatian kepada kaum lemah.

Demikian juga Faiq mengangkat contoh skandal Mario-Rafael sebagai bola salju yang mengungkap berbagai penyelewengan seorang pejabat.

Widiya menyarankan, agar fungsi jurnalisme profetik terwujud, diperlukan syarat kebebasan pers, independensi, menampilkan kebenaran, mewujudkan keadilan, dan demi kesejahteraan dan perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).

Melawan Clickbait dan Hoaks

Sementara itu,  Ketua Prodi Komunikasi UMM Nasrullah menerangkan ada urgensi untuk mengangkat kembali harkat jurnalistik yang mulai ditinggalkan publik. Banjir informasi hoaks dan merebaknya platform media sosial membuat karya-karya jurnalistik tidak dipercaya.

“Pengabaian terhadap etika jurnalistik, etika pers, dan etika bermedia sosial adalah beberapa contoh kemunduran itu. Alih-alih kualitas jurnalistik yang membaik, realitas keliarannya justru semakin tak terkendali. Fenomena clickbait dan maraknya hoaks justru semakin meresahkan,” ungkap Nasrullah.

Di kurikulum lama, jurnalistik profetik sudah ada dalam muatan beberapa mata kuliah. “Mulai kurikulum 2023 ini, nama mata kuliah Jurnalisme Profetik menjadi mata kuliah pilihan,” tambahnya.

Para peserta menyimak paparan editor Budaya Harian Kompas Hilmi Faiq. (Komunikasi UMM/KLIKMU.CO)

Wakil Dekan I FISIP UMM Najamuddin Khairur Rijal menyatakan dukungan atas kurikulum baru dalam Komunikasi UMM untuk mahasiswa baru tahun 2023. Ia berharap dengan talk show ini Komunikasi UMM dapat turut andil untuk menjawab tantangan Muhammadiyah dan bangsa Indonesia pada umumnya yang mulai dilanda kemerosotan kualitas jurnalistik bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi.

Antusiasme peserta tampak ketika sesi tanya jawab berlangsung. Berbagai pertanyaan diajukan kepada kedua narasumber. Mereka yang bertanya memperoleh doorprice dari Harian Kompas yang ikut mendukung acara ini.

Salah seorang peserta, Shalom, mengaku mendapat banyak insight baru tentang jurnalisme profetik.  Konsep jurnalisme kenabian, katanya, bukan hanya untuk media Islam saja.

“Melalui konsep dari jurnalisme profetik ini membuka pandangan saya kalau konsep jurnalisme profetik yang berlandaskan kenabian bukan hanya bisa diimplementasikan pada media yang notabe Islam, namun seluruh media,” ujarnya. (AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *