Tantangan setelah Angka 8-9, Sebuah Refleksi Pendidikan

0
50
Muhammad Syaikhul Islam SHI MHI, Wakil Ketua PP FGM 2018-2023.

Oleh: Muhammad Syaikhul Islam SHI MHI

KLIKMU.CO

Status quo dalam kemapanan acap kali melengahkan suatu entitas, hingga merontokkan keunggulan dan menjungkalkan peradaban.”

Apa yang Anda bayangkan dengan deretan angka 1 hingga 10? Dalam banyak aspek, kita biasa mengaitkannya dengan skor penilaian pada subjek dan kondisi tertentu. Setidaknya dapat kita bagi dalam tiga segmen.

Angka 1, 2, 3, 4, dan 5 sering diidentikkan dengan subjek atau situasi yang relatif berada di level bawah. Bisa dimaknai kurang, buruk, prihatin, dan semakna dengan itu. Angka 6 dan 7 acap kali disematkan pada subjek dan situasi berkecukupan. Ini merupakan level aman dan tengahan.

Bagaimana dengan angka 8 dan 9? Ini bisa dibilang angka favorit dan menjadi simbol capaian yang baik, bagus, mapan, dan di level tinggi. Dalam kehidupan sosial, angka 8 dan 9 (baca: mapan) menjadi angka idaman yang diidentikkan dengan kemapanan. Ada seloroh dalam bahasa Jawa “urip ongko wolu” atau “urip ongko songo” yang dimaksudkan sebagai kondisi hidup dengan taraf kenyamanan dan kemapanan.

Bagaimana dengan angka 10? Hampir kita sepakat angka ini adalah angka sempurna atau identik dengan level tertinggi dan paripurna. Sama halnya ketika seorang murid mendapat nilai 10 atau 100 dalam tesnya, maka sang guru menganggapnya hebat dan layak dapat pujian. Tapi, dalam kehidupan sosial, skor 10 sebagai tolok ukur penilaian suatu subjek dan kondisi amatlah jarang kita jumpai.

Nah, sekarang mari kita tengok ke dalam dan kasih skor pada kondisi sekolah kita. Kira-kira sekolah yang kita bina sepanjang tahun berada di level angka berapa? Apakah di level 1-5, atau di level 6-7, atau di level 8-9?

Kalau di level 10 rasanya tak mungkin kerena tak ada yang sempurna dalam sistem dan kondisi yang melatari manusia. Saya sangat yakin, kita semua mengharapkan dan mungkin masih terus dalam masa perjuangan menuju ke angka 8-9.

Adalah fakta bahwa dari puluhan ribu sekolah yang dimiliki Persyarikatan Muhammadiyah belum semua berada di level angka 8-9. Bahkan, di beberapa daerah, kondisi sekolah-sekolah Muhammadiyah masih berada di level 1-5. Baik ditinjau dari aspek SDM GTK-nya, infrastruktur, tingkat kepercayaan masyarakat, jumlah siswa, maupun prestasinya. Bahkan, masih ada sekolah yang kesulitan memberikan gaji secara berkala kepada GTK di setiap bulan.

Namun, juga menjadi fakta bahwa di awal abad ke-21, banyak sekolah Muhammadiyah yang mulai bangkit dari kesederhanaan atau bahkan dari keterpurukan. Dengan pelbagai ikhtiar strategis –mulai meningkatkan SDM GTK, pembenahan fasilitas, membuat dan menguatkan branding, hingga berbagai langkah pemarketingan– sekolah Muhammadiyah tampil percaya diri dengan secara bertahap kembali merebut kepercayaan masyarakat.

Banyak di antara ikhtiar itu berbuah manis dan mampu mengatrol kondisi sekolah yang lebih baik dan menaikkan ranking-nya pada level 8-9. Kepercayaan publik yang baik berbanding lurus dengan peningkatan jumlah siswa yang diasuh, sekaligus meningkatkan kapasitas kesejahteraan GTK.

Umumnya, pada sekolah level ini, GTK diberi honor melebihi UMR dan UMK setempat serta mendapatkan fasilitas lebih lainnya. Bisa dibilang, di sekolah Muhammadiyah level 8-9 tersebut, kesejahteraan GTK mengalahkan kemakmuran para guru ASN.

Di satu sisi, fenomena itu tentu sangat positif, karena hal itu merupakan salah satu amanat Persyarikatan, yakni bagaimana para profesional di AUM pendidikan juga laik hidup pada taraf yang baik. Namun, sisi negatif yang kemudian menjadi ancaman (treath) juga menganga di depan mata. Mulai muncul beberapa ‘penyakit’ yang jika tidak segera diobati, maka akan menggerogoti kesehatan sekolah yang pada tahap selanjutnya berpotensi mendegradasi level yang ada.

Setidaknya, ada 3 macam penyakit yang muncul. Pertama, status quo di zona nyaman (comfort zone). Kondisi ini tentu berbahaya karena terlena di area kemapanan dapat berpotensi melengahkan para pegiat pendidikan. Beberapa kasus empirik yang patut dijadikan ibrah adalah sekolah Muhammadiyah (juga swasta lainnya) yang awalnya sudah di level tinggi kemudian berangsur meredup dan mengalami degradasi yang fatal.

Kedua, penyakit ‘lemah syahwat’ dalam perjuangan. Kondisi mapan yang ada dengan terpenuhinya banyak kebutuhan hidup dengan mudah dan sikap profesionalisme yang seakan-akan harus selalu dihargai dengan rupiah berpotensi kuat melemahkan ruhul ikhlas dan ruhul jihad.

Penyakit ‘lemah syahwat’ yang ada secara perlahan menggerogoti keikhlasan para pegiat pendidikan tersebut. Demikian juga, spirit lebih untuk berjuang dengan segenap potensi yang dimiliki juga turut memudar karena terlena menikmati kemapanan.

Ketiga, penyakit ‘santai.’ Bersantai tentu diperlukan untuk menjeda diri sementara waktu dari kesibukan dan kepenatan. Namun, penyakit ‘santai’ yang kelewat batas secara perlahan akan menghancurkan entitas itu sendiri. Kondisi ini melalaikan pegiat sekolah hingga tak mau lagi banyak melihat fenomena eksternal. Dunia yang begitu cepat berubah serta tuntutan zaman dan masyarakatnya yang terus meningkat tak mampu ditangkap dan disikapi dengan bijak.

Hal ini pada masa berikutnya cukup membahayakan karena rasa enggan bekerja keras akan memosisikannya tertinggal di belakang. Sementara itu, para kompetitor yang memiliki kesadaran tinggi tak pernah lelah berlari mengejar ketertinggalan dan bahkan sudah melampaui di depan.

Ketiga ‘penyakit’ di atas tentu harus diwaspadai dan jangan sampai menjadi wabah pada sekolah Muhammadiyah. Level kemapanan di angka 8-9 tidak boleh melengahkan para GTK untuk terlalu larut menikmati santai.

Seperti kata pribahasa, meraih itu lebih mudah daripada mempertahankan dan meningkatkannya. Di sinilah tantangan untuk terus berbenah dan beradaptasi terhadap dinamika masa menemukan relevansinya. Di mana kata-kata “cukup” dan “puas” harus dibuang jauh-jauh dari pernyataan pikiran kita.

Sikap bijak yang mesti para pegiat pendidikan punyai adalah bagaimana kemapanan di level 8-9 yang ada dapat meningkatkan kesyukuran sebagai karunia Allah swt yang indah, sekaligus meningkatkan kewaspadaan dengan tidak pernah mengendurkan nilai kejuangan. Sehingga, daya pikir kritis membaca perubahan zaman, mengasah dan meningkatkan kompetensi diri GTK, dan meneguhkan ruhul ikhlas dan ruhul jihad, serta meningkatkan inovasi dan kreativitas menjadi keniscayaan yang tidak pernah boleh diabaikan. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)

Muhammad Syaikhul Islam SHI MHI
Wakil Ketua PP FGM 2018-2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini