Oleh: Muhammad Abidulloh
Praktisi Dakwah; Mantan Jurnalis; Pembimbing Santri Panti Asuhan Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, Kabid Sosial PCM Sawahan
Dalam dunia dakwah, sejatinya kita memiliki peninggalan warisan budaya yang luar biasa. Bukan hanya isi konten, tetapi juga keindahan, keunikan, serta keluhuran budinya.
Bila dilihat tampilannya tampak sederhana. Pinjam istilah musik, bisa dikategorikan “easy listening”, semacam “lagu pop–ringan.
Meski demikian, diyakini bukan hasil upaya sembarangan, melainkan sebagai karya agung. Mahakarya yang dibangun dengan kesungguhan, ketelitian, juga kedalaman batin penuh kebijakan.
Peninggalan adhiluhung itu, “sekar” atau “tembang mocopat”. Puisi Jawa dalam bentuk tembang atau nyanyian. Tutur yang disampaikan lebih dekat dengan bahasa lisan.
Dengan demikian, pesan yang terkandung di dalamnya mudah ditangkap kalangan orang Jawa masa itu. Masyarakat yang belum familier dengan bahasa tulis.
Sering kali menggunakan bahasa simbul atau dalam bahasa Jawa “sanepan”. Kata yang acap kali diperlukan kehadirannya. Seolah ornamentasi untuk menghadirkan keindahan di telinga, juga kenyamanan dalam sanubari.
Meski berbahasa simbol, tetapi terangkai dalam struktur kalimat sederhana dan mudah dipahami. Setidaknya, mudah dirasakan maksud pesannya. Walau demikian, juga tak dapat dihindari kemungkinan timbulnya interpretasi yang beragam.
Tembang mocopat disajikan dalam bentuk sajak dan dapat didendangkan sebagaimana nyanyian. Struktur puisi dan lagunya diikat dengan aturan tertentu. Sederhananya, syair mocopat harus mengikuti kaidah: guru gotro; guru lagu; guru wilangan.
Guru gotro mengatur jumlah baris dalam setiap baitnya. Guru wilangan berkenaan dengan jumlah suku kata dari setiap barisnya. Sedangkan guru lagu mengatur ketentuan bunyi vokal akhir pada setiap barisnya.
Tembang Kinanthi, misalnya: guru gotronya dengan ketentuan, setiap bait terdiri dari enam baris (gotro); guru wilangannya dengan aturan, setiap barisnya berisi delapan suku kata; sedangkan guru lagu pada tembang Kinanthi, secara berurutan dengan tata aturan, dari baris atas ke bawah, bunyi vokal akhirnya dengan u, i, a, i. a, i.
Contoh lain tembang Dandhang Gulo, dengan aturan: guru gotro, setiap bait terdiri dari sepuluh baris; guru wilangan, jumlah suku kata pada tiap baris, berbeda-beda. Dari baris atas secara berurutan terdiri dari 10, 10, 8, 7 ,9, 7, 6, 8, 12, 7 suku kata; ketentuan guru lagutembang Dandang Gulo, jatuhnya vokal akhir pada tiap baris, dari atas ke bawah i, a, e, u, i, a, u, a, i, a.
Tembang mocopat harus dapat dinyanyikan dengan alun melodi yang sama, sesuai jenis namanya. Keserasian antara ketukan notasi dan suku kata tidak boleh berbeda dengan tembang sejenisnya.
Misalnya tembang Mijil, walaupun berbeda syairnya, harus dinyanyikan dengan notasi, birama, serta keserasian antara ketukan not dengan ucapan suku kata, sesuai ketentuan tembang Mijil.
Selayaknya tembang jawa pada umumnya, mocopat dapat dimainkan dalam tangga nada berbeda, “major” juga “minor”. Dalam tembang Jawa dikenal dengan “laras pelog” dan “laras slendro”. Bandingkan dengan musik pengaruh barat, biasanya, setiap lagu dibawakan dalam satu tangga nada saja, major atau minor.
Memang, Gesang pernah menyanyikan lagu “Bengawan Solo” dengan tangga nada yang berbeda, major kemudian minor. Namun dirasa kurang familier di telinga praktisi dan penikmat musik, termasuk keroncong. Yang dilakukan sang maestro dianggap sebagai “eksperimen”.
Setidaknya ada sebelas jenis tembang mocopat. Secara berurutan, konon penamaannya sesuai gambaran siklus kehidupan manusia: Dimulai dengan Maskumambang; Mijil; Sinom; Kinanthi; Asmorondono; Gambuh; Dhandang Gulo; Durmo; Pangkur; Megatruh; dan yang terakhir Pucong.
Berkenaan dengan urutan siklus kehidupan di atas terdapat selisih pendapat. Sebagian menempatkan, Mijil pada urutan pertama. Prof. Darmajati Supajar menempatkan Gambuh pada urutan sesudah Dandang Gulo.
Setiap jenis mocopat memiliki watak-dinamika lagu yang berbeda-beda. Sudah barang tentu, terasa suasana batin dan emosi yang tidak sama pula. Cara mendendangkan mocopat, dengan pendekatan emosi sesuai masing-masing jenisnya.
Ambil contoh Pucung, notasi dan dinamikanya melukiskan suasana egaliter, santai, bahkan menjurus canda-ringan. Maskumambang, berwatak emosional-sentimentil, gambaran dari kesedihan serta keprihatinan. Atau Sinom, menggambarkan keluguan, bersahaja, kesederhanaan dan kesabaran. Masyarakat jawa memilih jenis tembang, sesuai suasana acara yang diselenggarakan.
Ada perbedaan pendapat berkenan dengan, sejak kapan mocopat tumbuh dan berkembang, dalam budaya Jawa. Sebagian berpendapat, sejak zaman Majapahit. Pendapat ini beranggapan, Mocopat tumbuh berdampingan bersama Kidung.
Sementara yang lain berpandangan, Mocopat sebagai kelanjutan dari Kidung. Pandangan ini selaras dengan pendapat lain yang menduga, mocopat ciptaan para wali. Itu berarti pada masa peradaban Islam-Jawa yang mulai tumbuh berkembang.
Sejarawan Sahlan dan Muljono berkeyakinan, mocopat hasil ciptaan para wali, sebagai sarana dakwah melalui seni tutur. Upaya walisongo dalam melakukan pendekatan dakwah kepada masyarakat Jawa, yang gemar budaya Kidung.
Sastrosupadmo berkesimpulan, Mocopat sebagai bentuk baru dari Kidung. Mocopat mengalami penyempurnaan dalam alunan melodi, juga keserasian antara ketukan suku kata dengan tempo notasi. Mocopat menjadi kegemaran baru dan meluas, menggantikan Kidung yang lebih dulu berkembang.
Soewardi melukiskan, mocopat dipergunakan para wali dalam menyampaikan pesan moral-kehidupan. Yang tak kalah penting, secara tersirat terdapat pesan bagaimana berdakwah yang selayaknya dilakukan.
Perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Nama jenis mocopat juga isi pesan syairnya mengkonfirmasi pendapat itu.
Sesuai pendapat Poedjo Soebroto, Mocopat berkaitan denga wawasan dakwah. Sebagaimana nama penyebutanya, “tembang” berdekatan dengan kata “kembang” atau bunga yang menyebarkan keharuman. Dakwah digambarkan laksana menyebarkan bau harum dan menggembirakan. Pesan yang tergambar menunjukkan ujud, kehadiran Islam sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.
Selaras dengan pandangan itu, Josodipoero berkeyakinan betapa wali songo penuh ketelitian dan kehati-hatian, dalam menyebarkan agama Islam. Dengan “sanepan” sederhana dan mudah dimengerti serta penuh kehalusan bahasa. Itulah sebabnya kehadirannya dapat bergaul dan beradaptasi dengan damai terhadap agama dan keyakinan masyarakat sebelumnya.
Dimulai dari penamaan jenis tembang yang melukiskan pesan penting. Mijil misalnya, yang secara harafiah berarti keluar. Tembang hasil karya Sunan Gunung Jati itu, mengandung makna, berdakwah harus dilaksanakan dengan keluar dan mengeluarkan sesuatu.
Pangkur ciptaan Sunan Muria itu menyampaikan pesan, agar dakwah tidak menyimpang dari sumbar ajaran Islam, Alqur’an dan A-sunah. Dalam dakwah harus dijaga agar tetap di jalan yang benar dan lurus. Harus berhati-hati terhadap godaan, agar tidak menyimpang dan tersesat jalan.
Dandhang Gulo tak kalah penting diperhatikan. Mocopat karya Sunan Kalijogo itu mengandung pesan, berdakwah dilakukan secara nyaman dan menghadirkan kebahagiaan. Pesan itu terlukis dalam sifat gula, yang terasa manis dan disukai banyak orang.
Pesan moral-kehidupan yang selayaknya dilakukan ummat manusia, juga tampak sekali dari bahasa simbul penamaan jenis tembang. Maskumambang yang diciptakan Sunan Mojoagung. Tembang yang menyampaikan pesan, dakwah harus dilakukan secara ikhlas dan sungguh-sungguh, agar terasa ringan dan bukan sebagai beban.
Maskumambang juga gambaran dari awal kehidupan manusia, yang digambarkan sebagai embrio yang sedang tumbuh di dalam rahim. Embrio ini masih belum diketahui jati dirinya, serta belum diketahui juga jenis kelaminnya.
Prof Darmajati Supajar menegaskan, penamaan jenis tembang mocopat, sebagai bagian penting yang tak terpisahkan, dari upaya dan strategi dakwah yang dilakukan para wali. Seluruh tembang mocopat mengandung pesan yang dalam dan penuh makna. Hal itu dimulai dari penamaan, isi syair serta bagaimana cara penyajiannya.
Sudah barang tentu, tembang mocopat salah satu peninggalan berharga. Bagaimana pengelolaan dan cara menyikapinya, tentu sangat tergantung kebutuhan dan perkembangan zaman. Tidak ada salahnya bila dilakukan upaya reaktualisasi, sesuai situasi dan kondisi. Setidaknya sebagai modal kekayaan budaya dakwah yang terus menerus dilakukan.
Tanpa disadari, kadang secara alami terjadi “perputaran balik”, khususnya dalam seni budaya. Tidak saja pada budaya lama dan kuno, produk budaya modern pun kerap kali demikian. Kita lihat mode pakaian, trend lagu populer, tarian.
Seringkali berkesan perulangan pada zaman tertentu yang sudah lama terjadi. Sejauh bermanfaat dan bernilai dalam pengkayaan dunia dakwah, tentu diperlukan upaya apapun. Dakwah berdamai dengan situasi dan kondisi, tanpa harus larut di simpang jalan yang menyesatkan
Wallahu a’lam. (*)