Surabaya, KLIKMU.CO – Para guru dan karyawan SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Surabaya memanfaatkan momen menunggu waktu berbuka dengan kajian, Selasa (28/3) lalu. Kajian yang digelar di Masjid Nurul Ilmi Smamda tersebut mengundang Dr Zainuddin MZ Lc MA sebagai pemateri dengan tema “Ramadan dalam Perspektif Sunnah”.

Selain guru dan karyawan, sejumlah siswa yang tergabung dalam Pengurus Ranting Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PR IPM) Surabaya juga turut serta dalam kajian tersebut. Moch Hendy Bayu, guru bahasa Indonesia, ditugaskan sebagai moderator.
Zainuddin mengawali kajian dengan menerangkan betapa besar kemuliaan Ramadhan yang diberikan Allah kepada umat Islam. “Biasanya ketika bulan Ramadhan, ibadah kita yang sebelumnya biasa-biasa saja, di bulan ini menjadi meningkat,” papar Zainuddin.
Ulama yang bermukim di Madinah tersebut mengatakan, ada kekuatan yang menjadikan Ramadhan adalah bulan yang istimewa. “Allah memberikan Ramadhan supaya hamba-Nya lebih dekat kepada-Nya,” katanya.
11 Rakaat atau 23 Rakaat?


Zainuddin melanjutkan kajiannya dengan membahas sunah shalat malam di bulan Ramadhan. Ia menyinggung soal jumlah rakaat dalam shalat malam.
“Dalam banyak sanad hadits, mulai dari yang dirujuk oleh Imam Malik, Imam Syafii, sampai Imam Ahmad bin Hambal, menyebutkan Rasulullah mengerjakan shalat malam Ramadan sebanyak 11 rakaat,” terangnya.
Bahkan, menurutnya, riwayat yang mengatakan bahwa Umar bin Khattab mengawali shalat malam Ramadhan dengan 23 rakaat itu mursal, karena penyampainya, yaitu Zaid bin Ruman, lahir setelah Umar bin Khattab wafat.
Meski begitu, Zainuddin tidak serta-merta menyalahkan orang yang melakukan lebih dari 11 rakaat. “Kita kembalikan ke riwayat hadits yang lain, di mana Nabi saw memerintahkan kita untuk shalat malam sebanyak-banyaknya. Jadi berapa rakaat pun boleh sebenarnya,” lanjutnya.
Alumnus Pondok Pesantren Darussalam Gontor tersebut meluruskan, awal mula umat muslim melaksanakan shalat malam Ramadhan dengan 23 rakaat bukan karena kebijakan Umar bin Khattab, tetapi karena ‘cemburunya’ umat muslim di Madinah dengan umat muslim di Makkah.
“Orang Islam di Makkah bisa thawaf, yang pahalanya setara dengan shalat tapi tidak sekaku ibadah shalat. Biasanya, di antara jeda shalat malam, orang Makkah beristirahat dengan berthawaf. Orang Madinah tidak ingin kalah, tapi karena tidak bisa berthawaf sebab posisi mereka di Madinah, maka cara mereka adalah menambah rakaat shalat malam menjadi 23,” ujarnya.
Dari Mana Istilah Tarawih?
Zainuddin juga menyinggung soal istilah tarawih. Sambil menunjukkan aplikasi haditsnya di layar, Zainuddin menunjukkan satu per satu bab hadits tentang shalat tarawih.
“Ternyata bapak ibu, istilah tarawih tidak muncul satu kalipun di dalam hadits, melainkan hanya muncul di bab hadits sebagai nama bab dan keterangan catatan kaki,” imbuhnya.
Direktur Turats Pusat Studi Hadits tersebut menjelaskan, istilah tarawih pertama kali muncul pada kitab shahih Bukhari. Itu pun sebagai nama bab. Kata tarawih muncul sebagai kekaguman Imam Bukhari terhadap shalat malamnya orang Makkah.
“Muslim di Uzbekistan, tempat asalnya Imam Bukhari, shalat malam dengan waktu yang cepat. Ketika beliau ke Makkah, beliau kagum dengan shalat malamnya orang Makkah. Lama dan khusyuk bahkan bisa sampai menjelang shubuh. Di antara jeda shalat pasti ada istirahatnya. Di situlah Imam Bukhari memberi nama shalat Tarawih, yang secara bahasa artinya beristirahat,” jelasnya.
Zainuddin lantas membandingkan dengan beberapa kejadian di tanah air, ada beberapa jamaah tarawih yang dilakukan dengan cepat.
“Kalau 23 rakaat ditempuh hanya 5 menit, ya tidak bisa disebut tarawih. Sebut saja shalat malam. Karena kalau tarawih, ya harus seperti shalat malam yang dilakukan di Makkah,” pungkasnya. (Muhammmad Zarkasi/AS)