Tuntunan Islam dalam Menyejahterakan Buruh

0
35
Dian Jayadi Arifin, Santri LKSA Muhammadiyah PCM Kenjeran. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Dian Jayadi Arifin, Santri LKSA Muhammadiyah PCM Kenjeran

Dalam struktur sosial dan ekonomi, buruh menjadi elemen terpenting yang memiliki peran signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarkat. Salah satu permasalahan yang kerap mucul adalah tindakan sewenang-wenang pengusaha terhadap pekerjanya, termasuk pemberian upah yang tidak layak dan pemutusan hubungan kerja (PHK)  secara sepihak.

Definisi buruh sering kali melibatkan perdebatan apakah istilah tersebut dapat dipertukarkan dengan pekerja atau karyawan. Pada dasarnya, buruh mengacu pada individu yang melakukan pekerjaan manual atau fisik untuk memperoleh penghasilan.

Namun, perbedaan antara buruh, pekerja, dan karyawan dapat bervariasi tergantung pada aspek hukum dan sosial di berbagai negara atau organisasi. Beberapa orang mungkin menganggap istilah buruh mencakup semua kategori pekerja, sementara yang lain lebih suka menggunakan istilah pekerja atau karyawan untuk menyoroti perbedaan dalam kontrak kerja atau status pekerjaan yang lebih spesifik.

Kajian ini mencerminkan kompleksitas dalam memahami makna dan nuansa istilah tersebut dalam konteks lapangan kerja dan hubungan ketenagakerjaan.

Dalam hal ini, Islam menyediakan pedoman yang jelas terkait hubungan antara majikan dan buruh serta memberikan tuntunan mengenai hak dan kewajiban. Artikel ini akan membahas tentang tuntunan Islam yang mendukung upaya menyejahterahkan buruh.

Tanggung Jawab Majikan terhadap Buruh

Di dalam QS Azzukhruf ayat 32 disebutkan:

هُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ 

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Di dalam tafsir Al-Azhar, ayat tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab seorang majikan terhadap buruhnya adalah hak dan kewenangan yang ditetapkan oleh Allah. Allah menunjukkan bahwa Dia-lah yang berhak mengatur kehidupan hamba di dunia ini, termasuk dalam hal kesejahteraan, kekayaan, kebijaksanaan, dan kemajuan.

Menyamakan kondisi semua hamba dapat menyebabkan persaingan dan ketidakseimbangan, sedangkan Allah, sebagai Pencipta, mengetahui dengan lebih baik bagaimana menyusun kehidupan agar terjaga keseimbangan dan saling bantu-membantu di antara umat-Nya.

Ayat ini meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa orang yang mukmin. Bahwa iman kepada Allah, bukanlah soal hidup mewah. Kalau sekiranya tujuan hidup telah beralih kepada kemewahan, dunia fanalah yang akan memesona manusia, dan setanlah kelaknya yang akan jadi teman mereka (Amrullah, A.M.A.K, 2001, hlm 6549-6550).

Dalam konteks hubungan majikan dan buruh memiliki peran masing-masing. Majikan mempunyai tanggung jawab atas kepemimpinan dalam mengambil keputusan dan mengelola perusahaan serta bertanggung jawab untuk memanfaatkan potensi dan keterampilan pekerja dengan adil dan bijaksana.

Di sisi lain, parah buruh atau para pekerja diingatkan untuk memanfaatkan peluang dan bakat yang telah diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Mereka harus bekerja dengan tekun, jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas mereka Semua itu sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang keadilan, intergritas, dan penghargaan terhadap usaha yang baik.

Nabi pun Pernah Menjadi Pekerja

Sejak kecil Rasulullah pernah mengalami masa menjadi seorang buruh pada zaman itu keadaan sosial, ekonomi, dan politik di Makkah yang sangat kacau balau dan kondisi tersebut sedang krisis ekonomi membuat perbudakan adalah hal yang lazim di zamannya.

Hal itu membuat Rasulullah terbiasa untuk bekerja. Rasulullah saat masih diasuh oleh Halimah turut membantunya untuk mengembala kambing. Saat dewasa Nabi Muhammad bekerja dengaan pamannya, Abu Thalib, kemudian dengan Khadijah, seorang perempuan mandiri dan pedagang sukses.

Rasulullah dikenal sebagai pekerja yang giat, amanah, dan jujur sehingga memperoleh kepercayaan penuh dari Khadijah dan Abdul Thalib (Heriyansyah, 2018, hlm 193-196)

Tuntunan Nabi untuk Menyejahterakan Buruh

Rasulullah sangat membenci penindasan terhadap pekerja dan menuntut upah para pekerja dibayar dengan sesuai dengan hak mereka. Nabi juga secara langsung menjamin hak-hak buruh, saat kita memperkerjakan mereka belaku sewenang-wenang dan zalim kepada mereka.

Hal ini diungkapkan Nabi dari Abu Hurairah, salah satu pesan Nabi pada saat itu adalah:

وَمَنْ ظَلَمَ أَجِيرًا أُجْرَةً حَبِطَ عَمَلُهُ ، وَحُرِّمَ عَلَيْهِ رِيحُ الْجَنَّةِ

Artinya: “Siapa yang berlaku zalim terhadap upah seorang pekerja/buruh, maka haram baginya bau surga (haram baginya surga).”

Nabi memerintahkan agar upah buruh diberikan secara langsung tanpa ditunda-tunda terlalu lama. Sebagaimana pernyataan Nabi dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ رَشْحُهُ.

Artinya: “Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya kering.”

Perlindungan hak buruh sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami al-A’msy dari al-Ma’rur bin Suwaid dari Abu Zar dia berkata:”Rasulullah saw bersabda “saudara-saudara kalian Allah jadikan berada di bawah tangan kalian, maka berilah mereka makan seperti apa yang telah kalian makan, berilah mereka pakaian seperti apa yang telah kalian pakai, dan janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang dapat memberatkan mereka. jika kalian membebankan sesuatu kepada mereka, maka bantulah mereka”.

Disebutkan di dalam Shahih Bukhari pada kitab AlItqu bab sabda Nabi saw mengenai hadis di atas: “Budak adalah saudara-saudara kamu, maka berilah mereka makan dari apa yang kamu makan” (Ahmad. 2000, hlm 174)

Hadis ini mengisahkan pertemuan antara Abu Dzar dan Al Ma’rur bin Suwaid di Rabdzah. Abu Dzar dan budaknya mengenakan pakaian yang sama.

Al Ma’rur bertanya mengapa demikian, lalu Abu Dzar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah menegurnya karena membeda-bedakan antara dirinya dan budaknya. Rasulullah mengingatkan bahwa semua orang adalah saudara dan harus diperlakukan secara setara.

Hadis ini menekankan nilai persaudaraan, persamaan perlakuan, dan kemanusiaan. Meskipun isu perbudakan sudah tidak relevan, pesan ini tetap relevan dalam mengatasi eksploitasi manusia dan mendorong kesetaraan sosial.

Dalam hal ini Islam menegaskan bahwa tanggung jawab majikan terhadap buruh merupakan hak dan kewenangan yang ditetapkan oleh Allah. Hal ini menyoroti perlunya perlakuan adil dan bijaksana terhadap buruh, sambil memotivasi para pekerja untuk memanfaatkan bakat dan peluang yang diberikan Allah dengan baik.

Selain itu, contoh Rasulullah sebagai pekerja yang rajin, amanah, dan jujur menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai ini dalam mendorong kesejahteraan buruh. Nabi Muhammad sangat memperhatikan hak-hak buruh, menuntut agar mereka dibayar sesuai dengan hak mereka dan agar upah diberikan secara tepat waktu.

Tuntunan Nabi Muhammad juga menekankan pentingnya melindungi hak-hak buruh. Beliau membenci penindasan terhadap pekerja dan memerintahkan agar upah buruh diberikan secara langsung tanpa penundaan.

Pesan ini mencerminkan nilai-nilai persaudaraan, persamaan perlakuan, dan kemanusiaan yang tetap relevan dalam konteks upaya mengatasi eksploitasi manusia dan mempromosikan kesetaraan sosial.

Secara keseluruhan, Islam memberikan landasan yang kuat bagi upaya meningkatkan kesejahteraan buruh, baik melalui aspek hukum maupun nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan memahami dan mengimplementasikan tuntunan ini, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil, berkeadilan, dan sejahtera bagi semua pihak. (*)

Referensi

Amrullah, Abdul Malik (2001) Tafsir Al-Azhar (Juzu’ 25) jilid 9. Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd

Heriyansyah (2018) “Perjalanan Bisnis Naabi Muhammad saw.”Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam. Hal: 193-196

Ahmad. (2000) , Fath al-Bari Syarh S}ahih al-Bukhari, Juz.V, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1379), hal. 174. Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini