15 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Umrah Pertama, Menjalankan Umrah Semoga Ikhlas (6)

Penulis bersama rombongan saat menjalani umrah. (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Berharap dan berkeinginan untuk memenuhi panggilan Allah SWT untuk berhaji dan berumrah adalah keinginan semua umat muslim tanpa kecuali. Hanya yang akan membedakan dalam perjalanan ibadah haji dan umrahnya dan juga menjadi satu kesatuan dalam sikap dan perbuatannya setelah haji dan umrah.

Karena hakikatnya, berhaji atau berumrah adalah ibadah untuk mencapai derajat orang taqwa (muttaqien), dan hanya itu ujung dan akhir predikat yang akan menyelamatkan setiap mahluk yang berakal sehat. Panggilan umrah kali pertama ini, semoga menjadi amal sholeh yang mampu meningkatkan kualitas mutu hidup. Baik untuk kepentingan dan kebermanfaatan diri maupun kebermanfataan orang lain. Kita tidak ada yang lebih selain yang dapat kita mampu untuk menjalankan atau mengamalkan segala titah al Qur’an dan As Sunnah menjadi sebuah produk amalan sholeh yang lebih baik dan produktif.

Sejak niat ihram di mana saat miqat di Bir Ali, berusaha memantapkan hati sanubari ibadah lillahita’ala. Menyerahkan diri jiwa dan raga, simbol yang sama dihadapan Allah SWT kami ikuti sebagai ketentuan syari’at hanya memakai dua helai kain putih tanpa jahitan sama sekali. Pemyerahan bukan hanya sebatas peneyerahan, segala hal ihwal yang terjadi berusaha tidak memperolok-olokan atau guyonan selama prosesi ibadah umrah sejak saat di Bir Ali hingga perjalanan menuju masjid haram untuk selanjutnya menunaikan Thawaf selama 7 kali keliling mulai dari titik pojok hajar aswad atau segaris dengannya.

Dalam ucapan lafadz Bismillahi wallahuakbar berniat dalam hati memulai thawaf. Suasana bahagia, haru dan kagum masuk dalam masjid Haram melihat wujud nyata bangunan ka’bah yang tak terbayangkan sebelumnya. Selama ini hanya melihat dalam gambar, baik dalam dinding rumah dan sejadah tempat sujud manakala shalat. Keliling demi keliling sambil berdo’a dan saling berdesakan yang tak terhindari. Penuh khusu’ dan khidmat tidak peduli berdesakan, mereka semua sama memanjatkan do’a-do’a.

Thawaf saat umrah menjadi rukun kedua yang harus dikerjakan, hal tersebut jauh sebelum kenabian Muhammad SAW sudah menjadi syari’at yang diajarkan sejak nabiyullah Adam a.s dan diikuti oleh nabi-nabi berikutnya sebagai bentuk penghormatan dan penghambaan kepada Sang Pencipta. Kemudian disempurnakan berbagai rangakaian ibadah di masa rosulullah Muhammad SAW.

Kekhidmatan saat beribadah setiap individiu seseorang sangat mungkin tidak sama, karena setiap individu orang memiliki pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Namun, efek atau dampak ibadah seharusnya sama yaitu ada peningkatan kualitas sikap dan prilaku. Hal yang sama seharusnya, saat setelah beribadah penuh sempurna berbanding lurus dengan dampak atau efek yang muncul dan nampak dalam perbuatan sehari-hari dalam kehidupan dimanapun berada dan kapanpun waktunya tetap berusaha lebih baik dan lebih baik.

Kekhidmatan beribadah Thawaf, bukan hanya kekhusu’an dengan do’a-do’a yang dipanjatkan melainkan juga saat yang sama dengan kondisi desak-desakan saling dorong tak terkendali, bahkan kaki terinjak sangat yakin pasti itu hampir semua merasakan diantara hal tersebut, sehingga menjadi ibroh dalam catatan saat beribadah untuk tetap bertahan menahan hawa nafsu tidak terpancing amarah. Tujuh kali putaran berthawaf bukan waktu sebentar manakala kondisi jamaah super sangat padat tanpa ada aturan jarak sama sekali, sebagian ada yang secara tidak langsung seolah berlomba adu cepat untuk menggapai Hajar Aswad dan hijir Ismail alaihi salam serta berusaha mendekati makom Ibrahim alaihi salam.

Bahkan, bagi seorang akhwat yang tidak bersama muhrimnya banyak yang mengalami kesulitan menggapainya karena kondisi berdesak-desakan antar jamaah yang saat bersamaan berthawaf atau sekedar hanya ingin mendekati dan mencium Hajar Aswad dan lainnya yang dianggap berkaromah, begitulah menurut beberapa penuturan jamaah. Malahan ada akhwat yang sempat terlihat menangis saking tidak kuat menahan desakan jamaah dan berharap segera keluar dari kerumunan jamaah yang sedang thawaf.

Sehabis Thawaf, pada kelilingan terakhir para jamaah bersujud shalat sunah 2 (dua) rakaat disertai do’a yang dipanjatkan sesuai permohonan masing-masing jamaah. Kondisi fisik berkeringat karena terkuras tenaga, kebetulan kegiatan ibadah thawafnya tengah malam sesaat jamaah meminum air zamzam yang tersedia. Kesegarannya dapat menyiram rasa haus dahaga dalam tenggorokan para jamaah.

Setelah itu beranjak pindah menuju lokasi untuk rangkaian ibadah umrah berikutnya menuju tempat untuk melaksanakan ibadah Sa’i yaitu rangkaian ibadah ketiga rukun umrah yang dilakukan dengan cara jalan sedikit cepat atau lari-lari kecil dimulai dari titik lokasi bukit shafa hingga bukit marwah, dan begitu sebaliknya dari bukit Marwah hingga menuju bukit Shafa. Hitungan angka jumlah bersa’i sama seperti Thawaf sebanyak 7 (tujuh) kali, hanya saja untuk bersa’i dihitung satu kali jalan antara Shafa hingga Marwah dan begitupun sebaliknya dihitung satu kali. Jarak tempuh lumayan jauh, jarak satu kali kurang lebih 400 meter dan total tujuh kali balik sekitar 3 km jarak yang ditempuh selama 7 (tujuh) kali jalan.

Ibadah Sa’i selain berniat ibadah ritual, menjadikan momentum untuk merefleksi sejarah masa kenabian Ibrahim alaihi salam dan ketika Ismail alaihi salam saat masih bayi baru lahir dari kandungan ibundanya. Saat bersamaan lahirnya bayi tersebut, Siti Hajar mengalami kebingungan karena tidak ada air untuk minum, sementara bayi Ismail alaihi salam membutuhkan ASI, ketika lari-lari kecil Siti Hajar mencari air antara bukit shafa dan bukit marwa. Begitulah perjuangan seorang ibu yang ikhlas kepada anaknya, apalagi anak simata wayang yang sangat diidam-idamkan kehadirannya oleh nabi Ibrahim alaihi salam.

Maka setiap perjuangan penuh ikhlas untuk kebaikan adalah bernilai ibadah. Suasana ibadah Sa’i pun sangat padat, namun relatif lebih berjarak dibanding saat ibadah Thawaf. Kehusu’an dan khidmat tetap menjadi usaha para jamaah, bacaan do’a takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih pun tidak ketinggalan dibacakan dengan khusu’ , baik yang dijaharkan maupun di sirkan atau dipelankan.

Akhirnya sampai juga tujuh kali balikan antara Shafa dan Marwa, dan sebaliknya Marwa ke Shafa. Dipenghujung yang ketujuh kalinya, langsung keluar dari bukit Shafa menuju aktifitas ibadah penutup yaitu Tahalul, dimana jamaah baik wanita maupun laki-laki harus memotong rambut dikepala minimal 3 (tiga) helai oleh seorang jamaah yang sudah menyelesaikan ibadah umrah secara sempurna syarat dan rukunnya. Alhamdulillah wasyukurillah walahaula walaquwwata illa billah, sudah terpenuhi rangkaian ibadah umrah syarat dan rukunnya terpenuhi, semoga mulai dari Ihrom Miqot di Bir Ali dan ditutup Tahalul menambah catatan kebaikan kita sebagai muslim yang sempurna. Aamiin Allahumma aamiin yaa Allah yaa rabbalaalamiin. Semoga ibadah umrah kita benar-benar ikhlas tanpa ada ganjalan apapun yang tersangkut dalam jiwa dan raga ini, keikhlasan menjadi penanda awal kemabruran umrah kita semua. Wallahu’alam. (*)

Makkah, April 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *