Undang Belasan Pakar, Maarif Institute Kaji Arah Kebijakan Kurikulum Merdeka

0
9
Moh. Shofan (kanan) memimpin diskusi Maarif House edisi kedua. (Maarif Institute/KLIKMU.CO).

KLIKMU.CO – Program Maarif House memasuki edisi kedua. Dalam edisi kali ini, Maarif Institute mengangkat tema “Quo Vadis Pendidikan di Indonesia: Pendidikan Merdeka atau Pendidikan (Punya) Mereka?”.

Acara berlangsung pada Kamis (15/8/2024) di kantor Maarif Institute, Jakarta.

Tema itu dipilih untuk mengeksplorasi dan mendiskusikan secara mendalam mengenai arah dan masa depan pendidikan di Indonesia.

Selain itu, menelaah sejauh mana konsep Pendidikan Merdeka yang digagas oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, telah diimplementasikan dan memberikan dampak positif bagi peserta didik.

Maarif House edisi kedua ini dihadiri oleh 13 narasumber dari berbagai lembaga yang mewakili trisektor: sektor publik, sektor swasta, dan civil society.

Sejumlah narasumber yang hadir, antara lain Amich Alhumami (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas), Clara Joewono (CSIS Foundation), Gogot Suharwoto (Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek), dan Ma’mun Murod (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta/Sekretaris Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah).

Ada pula M. Adlin Sila (Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat), Romo Odemus Bei Witono (Direktur Perkumpulan Strada), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) RI), dan masih banyak yang lain.

Dalam paparannya, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Amich Al-Humami menyatakan bahwa mendiskusikan masalah pendidikan harus berangkat dari isu besar yang ada di lingkungan pendidikan. Yaitu, pemerataan pendidikan dan kualitas pendidikan.

Dia menekankan pentingnya memastikan akses pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Juga menjaga kualitas pendidikan yang dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.

“Problem pendidikan di Indonesia ya soal pelayanan pendidikan. Di Indonesia ada kesenjangan lulusan pendidikan yang ekstrem. Contohnya, pada level SD/MI/MTs, peserta didik banyak yang lulus dari jenjang pendidikan tersebut 93 persen. Namun, yang sangat berat yaitu pendidikan SMA, yakni hanya sekitar 86,7 persen saja yang berhasil lulus,” urai Amich.

Lebih lanjut, Amich memaparkan tentang masih rendahnya kualitas guru dan belum adanya standar yang jelas dalam perekrutan guru. Sekolah atau dinas tidak memiliki standar yang jelas dalam hal melakukan rekrutmen guru.

Sementara itu, Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat Adlin Sila menyoroti pentingnya peran guru dalam dunia pendidikan.

Dia menegaskan bahwa guru harus berperan sebagai “coach” (guru penggerak) agar mampu mengembangkan potensi anak didiknya.

“Pusat pendidikan tidak hanya bertumpu pada guru, namun juga harus mempertimbangkan aspek keaktifan dari peserta didik,” tegas Adlin.

Lebih lanjut, Adlin mengatakan bahwa diversifikasi pembelajaran juga tidak kalah penting. Orientasi pendidikan tidak semestinya terpaku pada target-target yang dicanangkan di awal secara kaku.

Logika seperti itu adalah penyebab kenapa banyak kelas akselerasi dibubarkan. Sebab, konsep “drilling” (fokus pada target secara kaku) tidak sejalan dengan konsep Sekolah Merdeka.

Di sisi lain, Wakil Rektor Bidang Akademik UIII Syafiq Hasyim menyoroti tentang program internasionalisasi pendidikan negeri yang sampai saat ini hasilnya masih kurang membahagiakan.

Dia menekankan perlunya evaluasi dan perbaikan terhadap program-program tersebut agar dapat memberikan dampak yang lebih signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Maarif Institute, menambahkan, sistem pendidikan seperti di  Prancis memberikan ruang bagi peserta didik untuk memiliki higher order level of thinking (HOTS).

HOTS diajarkan melalui pelajaran filsafat. Di tingkat SMA, mata pelajaran filsafat diujikan di level nasional.

“Selain filsafat, dua hal lain yang diajarkan dan diujikan di Prancis adalah bahasa Prancis dan matematika,” kata Andar yang pernah mengenyam pendidikan di Prancis.

Melalui Maarif House edisi kedua ini, Maarif Institute berharap dapat menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan, akademisi, praktisi, dan masyarakat luas untuk berdiskusi, bertukar gagasan, dan mencari solusi terbaik bagi permasalahan pendidikan di Indonesia.

Acara ini juga diharapkan dapat memberikan perspektif baru dan rekomendasi konkret untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar merdeka dan berpihak pada kepentingan peserta didik.

(*/AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini