Utamakan Perspektif Korban, Tim Hukum Aremania Juga Temukan Bantuan Biaya Pengobatan Macet

0
101
Suasana RBC Talkshow bertajuk “Bisakah Korban Tragedi Kanjuruhan Melakukan Class Action pada Pemerintah & Polisi?” yang digelar Senin (17/10). (Azhar Syahida/KLIKMU.CO)

KLIKMU.CO – Sudah lebih dari dua pekan tragedi yang menewaskan 133 suporter di Stadion Kanjuruhan terjadi (1 Oktober 2022). Upaya-upaya investigasi terus dilakukan baik oleh Tim Hukum Gabungan Aremania maupun Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) bentukan pemerintah.

Meski begitu, diperlukan perspektif yang menyeluruh untuk melihat tragedi Kanjuruhan agar proses penyelesaian tragedi yang dilakukan tidak sebatas upaya jangka pendek, tetapi juga langkah jangka panjang yang sistematis untuk memperbaiki manajemen persepakbolaan nasional.   

Tragedi Kanjuruhan tentu saja adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan dalam sejarah Indonesia. Apalagi, meninggalnya para korban justru terjadi ketika para suporter bersukacita ingin menikmati pertandingan sepak bola bersama keluarga, teman, dan kerabat. Rencana mencari hiburan justru berbalik, menjadi kepiluan yang terus terkenang dalam benak keluarga yang ditinggalkan.  

“Setelah kejadian itu, saya tidak bisa makan selama tiga hari,” kata Deni Pangestu, Senin (17/10), pada acara RBC Talkshow bertajuk “Bisakah Korban Tragedi Kanjuruhan Melakukan Class Action pada Pemerintah & Polisi?” yang diselenggarakan RBC Institute A. Malik Fadjar bekerja sama dengan Fantasista.

Kesaksian Korban

Deni menuturkan bahwa ia hari itu masuk melalui gate 13 sekitar menit 80. Tetapi karena penuh sesak, ia memutuskan keluar dan masuk melalui gate 12 di tribun penonton yang berdiri. Ketika masuk, ia melihat para pemain Arema sudah berdiri melingkar di tengah lapangan. Tidak berselang lama, kepulan asap gas air mata membumbung.

“Rasanya, di mata perih, kalau terkena hidung langsung sesak. Baunya seperti belerang,” terangnya.  

Deni, yang hari itu datang ke stadion sendirian, mengaku tidak bisa tidur berhari-hari. “(Saya) terbayang-bayang suara anak-anak kecil menjerit,” imbuhnya. 

Trauma psikologis ini tidak hanya dialami oleh Deni, tentu saja. Tapi juga mayoritas Aremania yang ketika itu berada di stadion, lebih-lebih mereka yang bersama keluarga, anak-anak, dan teman sejawat.

Dalam konteks ini, kita perlu fokus pada penanganan korban. “Perspektif korban harus diutamakan,” sebagaimana disampaikan oleh Agus Muin, salah satu anggota Tim Gabungan Hukum Aremania di RBC Talkshow.    

Agus juga menyebut bahwa perspektif korban ini perlu diutamakan untuk melihat sebetulnya chaos yang terjadi antara Aremania dan aparat keamanan itu adalah bentuk provokasi atau reaksi? “Untuk itu, kita perlu melihat kejadian ini secara menyeluruh, harus dilakukan investigasi secara mendalam,” tegasnya.  

Sebab, jangan sampai kejadian ini menjadi konflik yang berkelanjutan karena dibawa ke mana-mana. Maka dari itu, ruang-ruang dialog, kerja sama, kejujuran, dan keterbukaan mesti dibangun untuk membantu memulihkan luka psikologis dan upaya menuntut keadilan oleh keluarga korban atas tragedi ini.   

“Pemerintah perlu melihat kejadian ini dalam perspektif jangka panjang. Apakah tragedi ini membawa dampak negatif secara psikologis pada kelompok masyarakat yang lebih luas? Apakah ada kemungkinan keluarga korban akan mengalami gangguan psikis akibat kejadian ini, dan merusak masa depannya? Hal-hal semacam ini perlu dipikirkan oleh pemerintah,” paparnya.  

Termasuk, efek-efek kesehatan fisik. Misalnya, Agus menyebut bahwa beberapa korban yang ia dampingi berpotensi mengalami kebutaan permanen akibat iritasi mata yang disebabkan oleh gas air mata.   

Perlindungan Korban 

Di lapangan, menurut anggota Tim Gabungan Hukum Aremania itu, ada persoalan tambahan yang dialami korban. Misalnya, soal pembiayaan di rumah sakit. Agus menuturkan bahwa per 11 Oktober Pemkab Malang sudah tidak lagi menanggung biaya pengobatan korban sehingga para korban yang ingin berobat harus mengeluarkan biaya sendiri.

“Padahal, di rekomendasi TGIPF ada rekomendasi untuk menjamin kesehatan fisik dan psikis korban,” sebutnya.   

Selain itu, Wahyudi Kurniawan, pengajar di Universitas Muhammadiyah Malang, yang juga menjadi salah satu narasumber di RBC Talkshow, mempertanyakan soal bantuan bagi keluarga korban. “Santunan-santunan ke keluarga korban apa sudah sampai? Ini janji, lho, dari pemerintah. Kalau belum sampai, kapan?” ucapnya.  

Sebagai informasi, pemerintah pusat, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyampaikan (3/10) bahwa akan memberikan santunan sebesar Rp 50 juta rupiah untuk keluarga korban meninggal dunia. Sementara Pemerintah Provinsi Jawa Timur berjanji memberikan Rp 10 juta rupiah untuk keluarga korban yang meninggal dan Rp 5 juta untuk korban luka berat.  

Reformasi Struktural dan Urgensi Regulasi

Untuk melakukan perbaikan jangka panjang, tentu upaya perbaikan manajemen sepakbola di Indonesia perlu dilakukan secara struktural. Secara etis, misalnya, rekomendasi TGIPF menyebutkan bahwa PSSI harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini. Maka dari itu, perlu perubahan struktural ditubuh penyelenggara kegiatan untuk menyusun sistem-sistem yang mapan agar tragedi memilukan ini tidak terjadi lagi.  

Dalam konteks penyelenggaraan kegiatan, apakah kita memiliki SOP pengaturan sebuah event yang melibatkan massa dalam jumlah besar? Wahyudi menyebutkan, misalnya, untuk Stadion Kanjuruhan, “Apakah ada SOP-nya? Bagaimana kalau terjadi chaos?” 

M. Ilham Butsiyanto, jurnalis bola, yang hari itu menjadi host kegiatan RBC Talkshow menyebut bahwa kita tidak memiliki konsep hukum secara sistematis untuk menanggulangi agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Menurutnya, Undang-Undang ini menjadi penting, misalnya, jika stadion tidak layak.

“Lalu, Undang-Undangnya mana?” ucap pria yang punya nama populer Ilham Zada itu.     

Lebih lanjut, menurutnya, jika melihat apa yang dilakukan pemerintah Inggris atas tragedi Hillsborough di Inggris pada 15 April 1989, Indonesia perlu memiliki regulasi yang menyeluruh mengenai stadion, suporter, federasi, dan penyelenggara pertandingan.   

Undang-undang mengenai persepakbolaan ini menjadi sangat penting untuk membangun persepakbolaan Indonesia menjadi lebih baik. Tentu saja, juga untuk menghindari tragedi memilukan Kanjuruhan, yang tidak hanya menjadi catatan kelam bagi sepakbola di Indonesia, tapi juga dunia. 

“Kalau tidak diselesaikan secara sistemis, kejadian seperti ini bisa terjadi lagi. Pun juga harus ada political will dari pemerintah,” tandas Ainur Rohman, jurnalis bola yang juga menjadi host pada RBC Talkshow itu (17/10). (Azhar Syahida/AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini