22 Oktober 2024
Chicago 12, Melborne City, USA
Opini

Zuhud Politik dan Syahwat Kekuasaan

Nardi SThI MPd, Pemuda Muhammadiyah & anggota MPS Kenjeran. (dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Nardi SThI MPd

Politik sering identik dengan kekuasaan. Artinya, politik dan kekuasaan bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bicara soal politik seorang pakar politik Barat Harold Lasswell memberikan definisi konseptual. Ia mengatakan “politik adalah kegiatan masyarakat yang berkisar pada “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana” (who gets what, when, and  how).” (Amin Rais, Suksesi & Keajaiban Kekuasaan: 1997).

Konsep politik ala Lasswell di atas dalam konteks diskursus tidak sepenuhnya salah,  karena memang dalam realitasnya politik selalu berkisar pada siapa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya walau harus melakukan cara-cara di luar landasan etik. Peristiwa politik memang sarat dengan hal-hal seperti di atas. Siapa yang ingin menjadi anggota parlemen, gubernur, bupati, presiden dan seterusnya senantiasa menarik untuk dianalisis. Kemudian kelompok-kelompok mana saja yang mendukung siapa tersebut. Hal ini menjadi bagian yang menyertainya dalam proses politik.  

Definisi politik di atas pada akhirnya justru melahirkan politisi yang opurtunis, pragmatis, dan hedonis. Karena ghirah politiknya tidak lagi didasarkan pada niat yang tulus namun justru pada perebutan kekuasaan dengan berbagai macam cara. Implikasinya penerjemahan definisi politik tersebut memunculkan legitimasi perilaku yang menafikan nilai-nilai etis.

Akibatnya, elite politik yang berkuasa leluasa melakukan tindakan tak bermoral seperti korupsi dan semacamnya karena bangunan filosofi politiknya tidak ditegakkan di atas fondasi politik moral. Ada sesuatu yang hilang dalam makna politik tersebut yaitu mengapa dan untuk apa mereka berpolitik. Tujuan mengapa mereka berpolitik itulah sebenarnya yang wajib dijadikan pedoman dalam berpolitik.

Oleh sebab itu, ruh ini harus dikembalikan ke dalam jiwa para elite politik supaya nantinya lahir para politisi yang berhati malaikat bukan berhati iblis. Maka dalam perspektif inilah perlu yang namanya kezuhudan dalam politik. Zuhud dalam berpolitik adalah variabel terpenting untuk menciptakan kondisi psikologis elite yang melahirkan konsep ideal dan menjauhkan dari sifat kerakusan diri.

Dalam perspektif zuhud politik para elite diharapkan memiliki jiwa kesederhanaan. Diskursus sederhana dalam politik artinya para elite benar-benar menjalankan amanah konstitusi dengan mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, golongan, dan partainya. Zuhud dalam berpolitik akan mampu meredam angka korupsi karena para elite tidak lagi tertarik untuk melakukan tindakan melawan hukum seperti korupsi dan tindakan lainnya yang dapat merugikan rakyat dan negara.

Seseorang yang memiliki jiwa asketisme akan mampu menempatkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Terutama rakyat yang seharusnya diperjuangkan kesejahterannya sehingga tidak ada lagi yang namanya kemiskinan di republik ini.

Kita mafhumi, bahwa dalam teori-teori sosial banyak disebutkan bahwa kelangsungan sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh kondisi dan moralitas lapisan elite-nya. Jika lapisan elite itu baik, dalam arti memiliki integritas moral, visi dan kompetensi dalam melaksanakan tugas serta memiliki empati sehingga dipercaya rakyatnya, maka besarlah harapan masa depan bangsa tersebut. Sebaliknya akan hilang harapan membangun masa depan yang lebih baik lantaran elite politik dan penguasanya bermoral hazard, mementingkan diri sendiri, serta bersikap partisan (Zainuddian maliki, “Politikus Busuk”, Yokyakarta: 2004).

Jika teori ini benar, maka tentu saja harapan kita untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik sangat minim mengingat saat ini para elite politik berteman akrab dengan budaya penyimpangan. Maka dengan adanya sifat-sifat kezuhudan dalam diri elite politik akan menjadi control diri (self control) dalam menjalankan amanah konstitusi sehingga benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat bukan memperkaya diri sendiri, kelompok, dan partainya.

Arogansi Kekuasaan

Kondisi bangsa sekarang sedang tidak baik-baik saja. Saat ini kita menyaksikan adanya persebaran rasa tidak percaya yang terus meluas kepada para pemimpin yang ditandai dengan semakin maraknya berbagai gerakan protes. Persoalannya bukan terletak pada masyarakat, tetapi pada perilaku elite penguasa. Saat ini kita tidak memiliki apa yang disebut Fukuyama dengan the trusted leader tokoh yang bisa dipercaya karena integritas moral, visi dan kompetensinya dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepundak mereka. Ketiadaan the trusted leader dalam komposisi elite politik dan penguasa di negeri ini, menjadikan masyarakat bagaikan anak ayam kehilangan induknya.

Di tengah para pemimpin bergulat memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, masyarakat mencoba sendiri dalam usaha mencari pemecahan setiap persoalan. Kehidupan masyarakat yang saat ini kian sulit justru para elite penguasa menari di atas penderitaan ini. Pada saat yang sama, para penguasa mencoba berlomba-lomba untuk memanipulasi publik.

Kondisi saat ini masyarakat sedang berjuang mempertahakan hidup di tengah situasi sosial ekonomi yang carut marut. Ancaman resesi global menjadi hantu bagi masyarakat karena tentu saja akan berimplikasi pada kehidupan masyarakat. Ancaman PHK terbayang di pelupuk mata. Belum lagi persoalan kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin meroket harganya.

Semua harga bahan pokok naik, tidak hanya berhenti sampai disitu, selain harganya yang cenderung naik kelangkaan sering terjadi. Sehingga banyak emak-emak yang mengantri membeli sembako seperti deretan semut. Bangsa ini yang terkenal sebagai negara agraris justru seringkali terjadi kelangkaan bahan pangan. Bangsa yang menjadi urutan nomer satu penghasil sawit kelangkaan minyak terjadi di berbagai tempat. Di tengah situasi yang tak menentu seperti ini para pejabat dan politikus justru sibuk melakukan pencitraan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Hilangnya kepekaan moral para elite telah mengarah pada kecenderungan apa yang disebut oleh C. Wright Mills dengan the higher immorality yaitu terjadinya konspirasi immoralitas tingkat lanjut yang diyakini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi.  Sementara itu, memanipulasi opini publik, kekerasan antitrust dan hukum yang berhubungan dengan korupsi politik, juga dikategorikan Mills sebagai tindakan amoral. Juga perilaku power elite yang sengaja menciptakan krisis politik dan atau ekonomi.

Jadi, immoralitas  yang dalam kamus berarti tindakan a-susila atau kemesuman yang dilihat Mills sudah pada tingkat lanjut itu tidak hanya digambarkan dalam bentuk prostitusi yang dilakukan power elite Amerika, tetapi lebih luas lagi dalam wujud tindakan tanpa landasan etik, korupsi dan kadang-kadang melakukan praktik-praktik ilegal secara sistematik dan terlembaga yang kemudian menodai demokrasi.

Konsep higher immorality-nya Mills seperti itu diungkapkan di sini, dimaksud untuk menyatakan sebuah harapan, jangan sampai opini bangsa ini dimanipulasi para elite pemegang kekuasaan negeri ini. Mereka menyatakan prodemokrasi, menegakkan pemerintahan yang baik dan bersih-good governence and clean government, mengutamakan ideologi pluralisme dan toleransi, tetapi dalam praktik mereka membangun tradisi KKN model baru, mudah tersinggung dengan perbedaan pendapat, dan tidak mengenal etika toleransi.

Mari kita kawal bangsa ini menjadi bangsa yang beradab, bermartabat, taat konstitusi dengan menjalankan undang-undang yang berlaku. Bukan sebaliknya memanipulasi konstitusi hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan memperpanjang jabatan. Demokrasi harus tetap dijaga agar perjalanan bangsa ini menjadi lebih baik ke depan. Wallahu a’lam bish showab. Fastabiqul khairat. (*)

Pemuda Muhammadiyah & anggota MPS Kenjeran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *