Antara Politik Tidak Mendidik dan Politik Tengik

0
27
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Hiruk pikuk demokrasi di Indonesia dari generasi ke generasi selalu ada hal yang unik, bahkan yang tingkah tengik pun tak ketinggalan. Wajar saja awal kemerdekaan bangsa Indonesia jikalau ada peristiwa politik yang melanggar kaidah dan etika politik karena masyarakat dan rakyatnya belum paham. Sekalipun pasca kemerdekaan saat Orde Lama diganti Oleh Baru belum dikatakan ideal, apalagi sempurna.

Berbagai formula tata negara, termasuk sistem pemilihan kepemimpinan bangsa dan negara, terus diujicobakan berdasarkan tuntutan dan kebutuhan politik saat di mana era dan zaman setiap generasi. Politik bagian dari proses perjuangan untuk kekuasaan, dengan berharap dari kekuasaan tiada lain untuk membangun peradaban bangsa dan negara adil, makmur, dan sejahtera. Untuk menuju cita-cita tersebut, banyak langkah yang harus ditempuh secara politik.

Kita hormat, bangga, dan sangat menghargai para pejuang kemerdekaan yang tulus dan ikhlas mempertaruhkan jiwa, raga, dan harta. Membela segala hal yang dimiliki rela dikorbankan untuk sebuah cita-cita bangsa dan negara. Pertanyaannya, apakah kala itu ada para pejuang yang berperilaku menyimpang dari kaidah dan etika moral?

Pasti ada, karena hal itu menjadi salah satu sifat kemanusiaan yang menjadi indikator bahwa manusia makhluk rusak, baik rusak jasadiyah maupun ruhaniyah. Sehingga ada yang dikenal dalam peperangan ada spionase atau mata-mata. Dalam praktiknya, spionase ini salah satu strategi intelijen dalam dunia peperangan dalam rangka mengetahui kondisi dan situasi kekuatan dan kelemahan musuh. Namun, dalam praktiknya, kadang disalahgunakan untuk menemukan sebongkah harta material melalui proses spionase yang melanggar janji komitmen untuk perjuangan.

Pun sama, dalam kekuasaan politik dari perjalanan sejarah bangsa-bangsa bahwa hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan tak ubahnya seperti peperangan untuk merebut sebuah kemenangan yang bertujuan mengambil kekuasaan wilayah teritori. Politik, ilmu dasar praktiknya ada dalam pengalaman skema peperangan, di mana saat berperang baik yang menyerang maupun yang diserang pada akhirnya terjebak untuk saling mengambil hak kekuasaan yang diharapkan lebih luas wilayah kekuasaannya.

Politik kekusaan di abad modern pun tidak jauh beda substansi tujuan rilnya, bahkan politik faktanya sebagai instrumen utama untuk mencapai tujuan kekuaasaan karena politik dalam praktiknya mengambil hak kekuasaan untuk menambah teritorial yang dikuasai. Hal itu untuk menambah kekuatan modal material.

Saat Orde Lama diambil alih Orde Baru, intrik dan manuver politik sangat memilukan, menyedihkan, dan menyayat hati. Korban jiwa dan raga ribuan rakyat, pejabat, teknokrat, dan elemen masyarakat elit bangsa pun harus mati jiwa dan raga melayang menjadi tumbal keganasan politik kekuasaan. Tidak peduli saudara kandung satu darah pun, saat berbeda platform ideologi untuk politik kekuasaan sering terjadi saling bunuh tanpa ada belas kasih.

Begitupun saat Orde Baru diambil oleh gerakan sosial politik yang menamakan gerakan reformasi, tidak luput dari intrik dan manuver politik kekuasaan elit-elit. Korban harta benda, jiwa, dan raga tidak peduli. Justru yang ada bagaimana semaksimal mungkin mengambil bagian dari peristiwa untuk keuntungan dari situasi yang dihasilkan dari rekayasa kekuasaan politik yang dibangun. Hal itu tergantung kecerdasan dan kecerdikan politisi. Ada yang mengambil untuk sebuah perjungan hakiki kepentingan bangsa, namun juga tidak sedikit mengambil situasi dan kondisi untuk pundi-pundi materi.

Reformasi menjadi era penuh euphoria. Namun dalam saat waktu bersamaan tidak diantisipasi hal-hal yang tidak terduga akan muncul di kemudian hari yang menghancurkan bangsa dan negara. Sejak era Jokowi pun sempat membuat rakyat Indonesia terkesima dengan inovasi-inovasi kepemimpinannya saat wali kota Solo, branding personal menyerang dan menyerbu ke seluruh ruang-ruang publik dengan media mainstream dan media sosial. Para influencer bayaran yang unlimited, diperkuat oleh narasi-narasi yang cantik dan ciamik oleh jurnalis-jurnalis berkelas.

Hampir tidak ada yang merasa tertipu. Semua tergoda hingga menembus pada dinding indra anak-anak usia belia. Fenomenal sekali, dalam waktu singkat mampu merebut orang nomor satu di provinsi ibu kota negara Indonesia. Dan saat itu, influencer semakin mengganas hingga menembus bawa alam sadar masyarakat. Hebat luar biasa semua orang terbius dengan narasi dan diksi yang buat influencer, entah dar imana biaya itu semua? Tanya pada rumput yang bergoyang.

Tidak satupun pemimpin berlatar belakang sipil mampu melampaui dua periode kepemimpinan nasional, kecuali Presiden Jokowi, padahal dia tidak memiliki partai politik. Siapakah dia, padahal hanya seorang manusia biasa. Kemudian pertanyaan berikutnya, kenapa itu bisa terjadi dan tidak dapat dimungkiri selama menguasai negeri ini tidak ada satupun yang lolos dari perangkapnya, memang hebat tiada tandingannya.

Soekarno pemimpin bangsa yang mendunia di eranya, untuk melahirkan generasi darah dagingnya membutuhkan puluhan tahun. Itu pun hanya kuat sisa periode kepemimpinan sebelumnya, setelah itu tak berdaya hingga kini. Soeharto selama 32 tahun lamanya, tidak ada satupun melahirkan generasi darah dagingnya mengikuti jejak langkah untuk sebuah kekuasaan dinasti. Apalagi Gusdur dan BJ Habibie, satu periode pun kandas dalam perjalanan. Termasuk Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode tidak ada di antara anak-anaknya yang tembus dalam kontestasi politik nomor satu di daerah.

Beda dengan yang satu ini, berlatar belakang sipil dan tidak memiliki partai juga bukan konglomerat. Tiba-tiba muncul secara cepat bak kilat yang memancar, terlebih di luar dugaan siapapun para aktivis dan politisi di negeri ini berkerut dahi, apalagi yang lemah narasi politik dan tidak peduli pada negeri melongo seperti “kebo bego”. Lebih hebat lagi, bukan hanya menjadikan anak-anaknya menjadi pemimpin negeri di daerah, melainkan menantunya pun langsung menduduki kursi nomor satu di salah satu daerah. Ditambah dalam hitungan hari, salah satu anaknya baru dua hari jadi anggota partai, kemudian hari ketiga entah dari mana aturan partainya tiba-tiba jadi ketua umum partai.

Dahsyat sekali bapak ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya semua diambil alih tanpa hambatan yang berarti. Belum hilang narasi dan diksi terkait hal ihwal politik dinasti, tok suara palu persidangan Mahkamah Konstusi yang tiba-tiba menjadi Mahkamah Keluarga. “Ha..ha…ha..aba kadabra”, apa yang bapak mau semua jadi itu barang, semua kena prank tanpa kecuali.

Di mana wajah bangsa ini, para akademisi diam tak bersuara satu kata pun. Ribuan pengamat sosial dan politik dibuat diam tak bicara sepatah katapun, apalagi para mahasiswa nyaris tak berdaya. Teriak sana sini pejuang yang sudah tua renta, suaranya pun mulai parau kadang terbata-bata, namun sepak terjangnya tetap berani tidak takut siapapun. Sepertinya urat takut yang dimiliki sudah putus.

Segelintir yang tetap fatsun, namun semakin hari semakin berkurang tak ada yang ikut dan peduli. Virus politik materi membuat wabah yang makin sulit dicegah, abad digital melahirkan pemimpin karbitan dengan modal influencer dan buzzer. Kompetensi dan ahli tidak menjadi syarat dalam memimpin, apalagi shidiq, amanah, fathonah, dan tabligh sudah hilang dalam ruang wacana. Apalagi dalam tempat nyata, yang ada saling menjilati satu sama lainnya selama saling memberi materi, bahkan lebih ngeri virus tersebut sudah masuk mewabah ke ranah instusi pendidikan dan sosial kemasyarakatan.

Fenomena Mahkamah Keluarga, eh Mahkamah Konstitusi di negeri ini telah meruntuhkan wibawa demokrasi. Fakta menjadi ketua partai dalam hitungan hari merupakan narasi politik tidak mendidik, sikap para politisi karbitan menjadi simbol politik tengik. Jangankan mencerdaskan anak bangsa, yang ada akan membuat sikap dan perbuatan anak bangsa ke depan berperilaku politik tengik. Hal itu akan tercium bau amis demokrasi yang sudah membangkai tak bernilai.

Namun, dikarenakan dalam kondisi sikap dan perilaku politik yang seolah dalam kelaparan, bau amis pun tetap dimakan sekalipun tidak enak. Baginya bukan soal bau atau harum sedap, yang paling penting perut terpenuhi. Akan terbentuk stigma buruk yang tidak mendidik di kalangan anak muda, bahwa gampang dan mudah menjadi pejabat dan pemimpin selama dapat mampu membelinya, baik dengan cara transsksi atau karena dekat dengan dewa pemegang kekuasaan.

Hal ini bukan mengada-ada dan juga bukan hanya dalam politik kekuasaan partai politik, melainkan dalam skala kecil ruang lingkup jabatan pada sebuah institusi pun marak terjadi. Apalagi di institusi pendidikan, lebih mengerikan lagi. Wallahu’alam…

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini